LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
KESEHATAN
DI BALI
Oleh
:
Adelia
Hardini (1201412045)
Noor
Salamah (1201412046)
PENDIDIKAN
LUAR SEKOLAH
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERRSITAS
NEGERI SEMARANG 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Dampak
gobalisasi terhadap kesehatan sangat kompleks. Dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Efek langsung misalnya adalah harga obat-obatan yang
semakin melambung disesuaikan dengan dolar Amerika, yang pada akhirnya
terjadilah kesenjangan pelayanan kesehatan. Dampak tidak langsung dapat melalui
perkembangan ekonomi negara masing-masig. Globalisasi diharapkan dapat
meningkatkan sosial-ekonomi suatu negara yang pada akhirnya diharapkan akan
memberi dampak positif berupa peningkatan derajat kesehatan. Namun, tidak
terjadi di Indonesia menurut kami. Karena penghasilan dari pabrik rokok dengan
anggaran untuk kesehatan seluruh negeri sangat tidak wajar. Setengah dari
pengahasilan rokokpun tidak ada.
Dengan
adanya globalisasi kini berbagai negara juga memasukkan kebijakan kesehatan
kedalam kesehatan luar negeri, misalnya SARS dan flu burung. Dengan kata lainm
masalah kesehatan menjadi mainstream kebijakan luar negeri setiap negara.
Menghadapi masalah global semacam ini, yakni penyebaran penyakit berbahaya
secara global, Martin (2005) dalam buku Kesehatan
Masyarakat Indonesia, mengemukakan bahwa penyebaran penyakit diperkirakan
justru akan memberikan dampak sebaliknya dalam proses globalisasi.
Sejarah
perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan
Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai
dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera sangat ditakuti masyarakat
pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937, terjadi wabah
kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia.
Melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berasal dari
wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan
upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun
demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu
pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun banyi dalam
praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian
bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama,
karena langkanya tenaga pelatih kebinanan, kemudian baru pada tahun 1930
dimulai lagi dengan didafaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan
perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan
pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Kesehatan masyarakat adalah sama
dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupakan
kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan
diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit den beberapa jenis imunisasi,
kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam
masyarakat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit Melalui
imunisasi.
Dari pengalaman-pengalaman praktik
kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow
(1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih
relevan, yakni: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni:
mencegah penyakit memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui
Usaha-usaha Pengorganisasi Masyarakat.
Dari perkembangan batasan kesehatan
masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas
dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu
kedokteran pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu
kesehatan masyarakat.
Program Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) merupakan program jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang wajib
diikuti minimal dua kali dalam satu masa kuliah sebagai sarat mengambil
skripsi. Pada tahun 2014, KKL diikuti oleh mahasiswa semester tiga, semester
lima, dan enam orang dosen. Kota yang dipilih adalah Surabaya dan Bali, dengan
objek kunjungan Pemkot Surabaya dan Kemenpora Provinsi Bali bagian PNFI.
Sedangkan objek wisata yang dipilih adalah Tanah Lot, Joger, Pasar Seni
Sukowati, Cahayu, Dewata, Pantai Sanur, Pantai Pandawa, dan Tanjung Benua. KKL
itu sendiri dilaksanakan mulai Senin, 08 September 2014 hingga 13 September
2014.
Laporan KKL ini
membicarakan tentang kesehatan Kota Denpasar, Bali. Karena adanya kegiatan dari
pemerintah yang intensif dan adanya transparansi biaya operasional kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam rangka melaksanakan amanah UU
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun
2012 Pemerintah Kota Denpasar pada awalnya telah menerbitkan Peraturan Walikota
Denpasar Nomor 25A Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, kemudian disempurnakan
dengan terbitnya Perda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR). Agar Perda KTR ini diketahui oleh masyarakat terutama oleh para
pimpinan KTR maupun ketua organisasi profesi dan organisasi masyarakat maka
perlu dilakukan sosialisasi baik dalam bentuk pertemuan/tatap muka maupun
kunjungan ke lokasi KTR. Dalam pelaksanaanya sangat dibutuhkan kerjasama dari
berbagai pihak dalam rangka penerapan sekaligus mempercepat
tersosialisasikannyaPerda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR).
Kegiatan sosialisasi tersebut
bertujuan untuk: 1) Mensosialisasikan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013
Tentang Kawasan Tanpa Rokok kepada seluruh kawasan dan masyarakat di Kota
Denpasar; 2) Mensosialisasikan tentang penegakkan Perda Kota Denpasar Nomor 7
Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dengan melihat gambaran pada penegakkan
Perda Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011. Sasarannya adalah Para Pimpinan
Kawasan Tanpa Rokok sesuai pada 8 (delapan) kawasan dan Organisasi Profesi serta
Organisasi Masyarakat dengan jumlah sasaran sebanyak 850 orang yang dibagi
dalam 7 kali kegiatan.
Sasaran tersebut meliputi, yaitu:
·
Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
yaitu: Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Laboratorium se-Kota Denpasar,
kemudian IDI Kota Denpasar (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI Kota Denpasar
(Persatuan Dopkter Gigi Indonesia), IAI Kota Denpasar (Ikatan Apoteker
Indonesia), IBI Kota Denpasar (Ikatan Bidan Indonesia), PPNI Kota Denpasar
(Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAKMI Kota Denpasar (Ikatan ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia), HAKLI Kota Denpasar (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia) serta PMI (PALANG MERAH INDONESIA) Kota Denpasar.
·
Tempat Proses Belajar Mengajar,
terdiri dari: Akademi/Sekolah Tinggi/Universitas, SMA, SMP dan SD se-Kota
Denpasar.
·
Tempat Anak Bermain, yaitu TK di
Kota Denpasar.
·
Tempat Ibadah, terdiri dari Kantor
Depag Kota Denpasar, Majelis Agama Kota Denpasar dan Tempat Ibadah di Kota
Denpasar.
·
Angkutan Umum, terdiri dari Organda
(Organisasi Angkutan darat) Kota Denpasar dan Perusahaan Angkutan Umum.
·
Tempat Kerja, terdiri dari SKPD,
Camat dan Lurah/Kepala Desa se-Kota Denpasar.
·
Tempat Umum, terdiri dari Pasar
Modern dan Tradisional, Tempat hiburan, Tempat Wisata, Terminal, Hotel &
Restaurant di Kota Denpasar.
·
Tempat lain yang ditetapkan, yaitu
lapangan, taman kota dan pedestarian.
A. Memelihara
Kesehatan
Pengertian sehat
menurut UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang
meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan
hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian sehat
tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari
segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan
tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang
terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik,
mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992,
kesehatan mencakup 4 aspek, yakni
: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi.
Sedangkan konsep sehat-sakit menurut budaya Bali adalah apabila semua sistem
dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan
aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada
dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh
dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga
unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta =unsur api,
dan kapha = unsur air).
Perwujudan dari
masing-masing aspek (Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992) tersebut dalam kesehatan
seseorang antara lain sebagai berikut:
1.
Kesehatan
fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau
tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua
organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2.
Kesehatan
mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan
spiritual.
ü Pikiran sehat
tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
ü Emosional sehat
tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya,
misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
ü Spiritual sehat
tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,
kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan
Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat
dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual
adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan
agama yang dianutnya.
3.
Kesehatan
sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau
kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan,
status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan
menghargai.
4.
Kesehatan dari
aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong
terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang
belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan
sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut,
yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang
berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau
mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan
lainnya bagi usia lanjut.
B. Makanan
yang sehat
Makanan berasal dari kata makan yg berarti mengasup bahan. Makanan adalah asupan utama yang mempengaruhi kesehatan dan kondisi badan. Makanan adalah bahan, biasanya berasal
dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dana nutrisi. Cairan dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata 'makanan' juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang
dipakai dengan kiasan, seperti "makanan untuk pemikiran". Kecukupan
makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri.
Makanan yang
dibutuh manusia biasanya dibuat melalui bertani atau berkebun yang meliputi
sumber hewan dan tumbuhan. Beberapa orang menolak untuk memakan makanan dari
hewan seperti, daging, telur dan lain-lain. Mereka yang tidak suka memakan
daging dan sejenisnya disebut vegetarian yaitu orang yang hanya memakan
sayuran sebagai makanan pokok mereka.
Bali
menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang kami pandang unik dan
menarik, karena mungkin selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya,
khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar
Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali
yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan
gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan
prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat
wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, kami
memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih
lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan
tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi
daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.
C.
Konsep Hidup Sehat Masyarakat Bali
Dhanikah strotriyo raajaa
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.
(Canakya Nitisastra I,9)
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.
(Canakya Nitisastra I,9)
Artinya:
Apabila tidak ada lima unsur seperti orang kaya (dhanikah),
orang suci (strotria) yang ahli Veda, pemimpin (Raja), orang yang ahli dalam
pengobatan (vaidya) dan sungai (nadi), di tempat tersebut, maka hendaknya
janganlah bermukim di tempat itu.
Hidup bersama di dunia
ini membutuhkan berbagai unsur yang mampu bersinergis untuk menciptakan
fasilitas hidup yang dapat dijadikan unsur mendorong manusia menjadi semakin
sejahtera lahir batin. Untuk itu dibutuhkan modal. Orang kaya dalam Sloka
Canakya Nitisastra tersebut di atas adalah orang yang mau mendayagunakan
dananya untuk dikembangkan menjadi unit-unit usaha yang mampu mendaya gunakan
berbagai produk masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara adil.
Usaha itu juga dapat menampung tenaga kerja dan pajak untuk negara.
Dewasa ini orang kaya
sudah dijelmakan dalam bentuk usaha keuangan seperti bank. Bank bisa dijadikan
media meningkatkan kemakmuran ekonomi. Begitu juga, srotria sebagai orang suci
untuk dapat menuntun manusia yang bermukim di lingkungan itu. Orang suci itu
dapat dijadikan tempat oleh umat untuk mengembangkan keluhuran moral dan daya
tahan mental dalam menghadapi hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia sebagai anggota
masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah pemukiman juga membutuhkan
pemimpin.
Pemimpin sangat
dibutuhkan untuk mengkoordinasikan berbagai hal agar semua unsur dapat
disinergikan menjadi sumber pendorong umat memajukan kehidupan. Tanpa pemimpin
tidak ada yang mengkoordinasikan berbagai potensi dalam masyarakat tersebut.
Unsur yang lain yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah air atau
sungai. Dalam sloka Canakya Nitisastra disebut Nadi. Betapapun majunya suatu ekonomi
masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa berdasarkan ekonomi agraris. Ekonomi
industri dan jasa tidak mungkin lepas dari ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu
membutuhkan air.
Fungsi sungai di
samping untuk tujuan agraris juga menampung air hujan yang tidak dapat diresap
seketika oleh tanah. Demikianlah pentingnya Nadi dalam konsep pemukiman menurut
perspektif Sastra Hindu. Unsur selanjutnya waidya yaitu ahli pengobatan. Apa
pun upaya manusia untuk mencegah munculnya penyakit, sakit itu pasti pernah muncul
pada dirinya. Dalam konsep memelihara hidup sehat dan istilah yang sangat
populer yaitu: ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk mencegah agar
kita jarang sakit, dalam kitab Ayur Veda ada diajarkan untuk mengelola hidup
dengan tiga cara yaitu Ahara, Vihara dan Ausada.
Ahara selalu
mengkonsumsi makanan yang sehat. Makanan yang sehat dalam Bhagawad Gita disebut
satvika ahara. Vihara adalah mengembangkan gaya hidup yang benar dan wajar.
Artinya, gaya hidup sesuai dengan tuntutan Sastra Agama. Di samping itu jangan
lupa menjaga kesehatan fisik dengan memakan makanan yang alami. Demikian juga
bahan obat-obatan sesungguhnya sudah tersedia di lingkungan alam sekitar kita
bermukim.
Dalam Upa Veda ada yang
disebut Ayur Veda sebagai ilmu yang mengajarkan tentang memelihara kesehatan.
Di kalangan umat Hindu di Bali dikenal kelompok Pustaka Lontar yang disebut
usada. Dalam usada tersebut juga diajarkan tentang ilmu pengetahuan untuk
memelihara kesehatan jasmani maupun rohani.
Dalam usada juga
diajarkan mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan bahan obat-obatan. Di
India, Ayur Veda sudah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga telah menjadi
sebuah cara memelihara kesehatan yang sudah memasyarakat. Di fakultas
kedokteran di India sudah ada jurusan kedokteran Ayur Veda, di samping
kedokteran Barat. Lama belajar antara kedokteran Ayur Veda dan kedokteran Barat
sama. Setelah tamat mereka dapat membuka praktik di masyarakat. Dengan demikian
masyarakat bebas memilihnya.
Sistem kedokteran Ayur
Veda dapat berkembang demikian, karena melalui proses yang panjang. Demikian
juga usada di Bali memang sudah dijadikan dasar dalam sistem pengobatan
tradisional. Ke depan, pengobatan dengan bahan tumbuh-tumbuhan ini tentu dapat
dikembangkan secara modern melalui berbagai penelitian, seminar, lokakarya dan
berbagai percobaan. Dalam hal ini, berbagai disiplin ilmu lainnya patut
didayagunakan dalam membantu mengembangkan ilmu usada ini agar dapat
berkembang.
Ilmu kimia, ilmu
biologi, ilmu botani, ilmu farmasi, dll. patut dijadikan ilmu yang dapat
membantu pengembangan ilmu usada itu agar dapat diaplikasikan dalam sistem
kehidupan modern. Para ilmuwan Hindu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan
dapat terpanggil untuk ikut serta memajukan ilmu usada ini, agar ilmu warisan
nenek moyang kita lebih dapat didayagunakan untuk kesejahteraan hidup umat
manusia di kolong langit ini. Di samping itu, berbagai isi flora dan fauna
sebagai bahan obat-obatan dapat lebih dipahami maknanya dalam hidup ini.
D.
Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau
asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “
wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha
berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan
secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan
pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal
1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
1.
Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata
dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama
dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan
tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha)
adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti
resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk
menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis,
ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan
manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang
pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh
hukum Negara, Agama dan Adat.
Menurut I Made
Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga”
disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal
yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara
bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan
kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah
aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu
melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada
leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak
akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada
Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat
menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama)
yang tidak bertentangan dan berlandaskan
Dharma.
Lebih jauh
lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa
perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga)
yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam
kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung
sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha
nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002:
553).
Berdasarkan
kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya
perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan
terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan
tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra
III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam”
“Pada keluarga
dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap
suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Pasangan suami istri umumnya lebih
mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut
terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan mempunyai anak laki-laki
tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak laki-laki yang begitu
penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan anak laki-laki tersebut,
antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali, anak, khususnya anak
laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya di dunia, akan tetapi
juga setelah di akhirat.
Pasangan suami istri yang tidak
mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa puas. Dalam hal
seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara mengangkat anak
laki-laki (meras sentana) dari
keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang
diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang dimaksud nilai anak dalam
tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua.
Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal, peranan yang seharusnya dan
peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang tua. Peranan tersebut
mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih hidup maupun setelah
orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain dari
segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Berdasarkan sistem
kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah menikah
itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak laki-laki
tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan tri-wangsa), dan
anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak yang
menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat (
misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan
kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya
berkedudukan sebagai pengemon, dengan
kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan
kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda
itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama
banjar atas namanya sendiri.
E.
Cara
Hidup yang Teratur
·
Kebiasaan
Mencuci Tangan
·
Menggunakan
jamban di sekolah
·
Jajan
di warung/ kantin sekolah
·
Mengikuti
kegiatan olahraga dan aktifitas fisik
·
Pemberantasan
Jentik Nyamuk
·
Kebiasaan
Merokok
·
Menimbang
Berat Badan dan Tinggi Badan
·
Membuang
Sampah Pada Tempatnya
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dan sistem
kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan
orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Dalam
aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak laki-laki) dapat dilihat antara
lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah leluhur untuk mencapai surga,
dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk lahir kembali ke dunia
(reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat dilihat dari peranannya
sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan serta meneruskan
kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat. Dalam kedua aspek
tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat dan agama dominan.
Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari peranannya dalam memberi
bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa
tenaga kerja dan materi. Dan dari segi psikologi, ternyata anak mempunyai nilai
yang positif dan negatif bagi orang tua.
Namun dalam kehidupan berkeluarga
jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun perempuan terimalah dengan
setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga semuanya memiliki nilai yang
tersendiri dari masing-masing sifatnya atau tingkah lakunya untuk membahagiakan
kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia akhirat.
LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
KESEHATAN
DI BALI
Oleh
:
Adelia
Hardini (1201412045)
Noor
Salamah (1201412046)
PENDIDIKAN
LUAR SEKOLAH
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERRSITAS
NEGERI SEMARANG 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Dampak
gobalisasi terhadap kesehatan sangat kompleks. Dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Efek langsung misalnya adalah harga obat-obatan yang
semakin melambung disesuaikan dengan dolar Amerika, yang pada akhirnya
terjadilah kesenjangan pelayanan kesehatan. Dampak tidak langsung dapat melalui
perkembangan ekonomi negara masing-masig. Globalisasi diharapkan dapat
meningkatkan sosial-ekonomi suatu negara yang pada akhirnya diharapkan akan
memberi dampak positif berupa peningkatan derajat kesehatan. Namun, tidak
terjadi di Indonesia menurut kami. Karena penghasilan dari pabrik rokok dengan
anggaran untuk kesehatan seluruh negeri sangat tidak wajar. Setengah dari
pengahasilan rokokpun tidak ada.
Dengan
adanya globalisasi kini berbagai negara juga memasukkan kebijakan kesehatan
kedalam kesehatan luar negeri, misalnya SARS dan flu burung. Dengan kata lainm
masalah kesehatan menjadi mainstream kebijakan luar negeri setiap negara.
Menghadapi masalah global semacam ini, yakni penyebaran penyakit berbahaya
secara global, Martin (2005) dalam buku Kesehatan
Masyarakat Indonesia, mengemukakan bahwa penyebaran penyakit diperkirakan
justru akan memberikan dampak sebaliknya dalam proses globalisasi.
Sejarah
perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan
Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai
dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera sangat ditakuti masyarakat
pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937, terjadi wabah
kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia.
Melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berasal dari
wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan
upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun
demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu
pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun banyi dalam
praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian
bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama,
karena langkanya tenaga pelatih kebinanan, kemudian baru pada tahun 1930
dimulai lagi dengan didafaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan
perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan
pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Kesehatan masyarakat adalah sama
dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupakan
kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan
diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit den beberapa jenis imunisasi,
kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam
masyarakat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit Melalui
imunisasi.
Dari pengalaman-pengalaman praktik
kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow
(1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih
relevan, yakni: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni:
mencegah penyakit memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui
Usaha-usaha Pengorganisasi Masyarakat.
Dari perkembangan batasan kesehatan
masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas
dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu
kedokteran pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu
kesehatan masyarakat.
Program Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) merupakan program jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang wajib
diikuti minimal dua kali dalam satu masa kuliah sebagai sarat mengambil
skripsi. Pada tahun 2014, KKL diikuti oleh mahasiswa semester tiga, semester
lima, dan enam orang dosen. Kota yang dipilih adalah Surabaya dan Bali, dengan
objek kunjungan Pemkot Surabaya dan Kemenpora Provinsi Bali bagian PNFI.
Sedangkan objek wisata yang dipilih adalah Tanah Lot, Joger, Pasar Seni
Sukowati, Cahayu, Dewata, Pantai Sanur, Pantai Pandawa, dan Tanjung Benua. KKL
itu sendiri dilaksanakan mulai Senin, 08 September 2014 hingga 13 September
2014.
Laporan KKL ini
membicarakan tentang kesehatan Kota Denpasar, Bali. Karena adanya kegiatan dari
pemerintah yang intensif dan adanya transparansi biaya operasional kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam rangka melaksanakan amanah UU
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun
2012 Pemerintah Kota Denpasar pada awalnya telah menerbitkan Peraturan Walikota
Denpasar Nomor 25A Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, kemudian disempurnakan
dengan terbitnya Perda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR). Agar Perda KTR ini diketahui oleh masyarakat terutama oleh para
pimpinan KTR maupun ketua organisasi profesi dan organisasi masyarakat maka
perlu dilakukan sosialisasi baik dalam bentuk pertemuan/tatap muka maupun
kunjungan ke lokasi KTR. Dalam pelaksanaanya sangat dibutuhkan kerjasama dari
berbagai pihak dalam rangka penerapan sekaligus mempercepat
tersosialisasikannyaPerda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR).
Kegiatan sosialisasi tersebut
bertujuan untuk: 1) Mensosialisasikan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013
Tentang Kawasan Tanpa Rokok kepada seluruh kawasan dan masyarakat di Kota
Denpasar; 2) Mensosialisasikan tentang penegakkan Perda Kota Denpasar Nomor 7
Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dengan melihat gambaran pada penegakkan
Perda Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011. Sasarannya adalah Para Pimpinan
Kawasan Tanpa Rokok sesuai pada 8 (delapan) kawasan dan Organisasi Profesi serta
Organisasi Masyarakat dengan jumlah sasaran sebanyak 850 orang yang dibagi
dalam 7 kali kegiatan.
Sasaran tersebut meliputi, yaitu:
·
Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
yaitu: Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Laboratorium se-Kota Denpasar,
kemudian IDI Kota Denpasar (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI Kota Denpasar
(Persatuan Dopkter Gigi Indonesia), IAI Kota Denpasar (Ikatan Apoteker
Indonesia), IBI Kota Denpasar (Ikatan Bidan Indonesia), PPNI Kota Denpasar
(Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAKMI Kota Denpasar (Ikatan ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia), HAKLI Kota Denpasar (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia) serta PMI (PALANG MERAH INDONESIA) Kota Denpasar.
·
Tempat Proses Belajar Mengajar,
terdiri dari: Akademi/Sekolah Tinggi/Universitas, SMA, SMP dan SD se-Kota
Denpasar.
·
Tempat Anak Bermain, yaitu TK di
Kota Denpasar.
·
Tempat Ibadah, terdiri dari Kantor
Depag Kota Denpasar, Majelis Agama Kota Denpasar dan Tempat Ibadah di Kota
Denpasar.
·
Angkutan Umum, terdiri dari Organda
(Organisasi Angkutan darat) Kota Denpasar dan Perusahaan Angkutan Umum.
·
Tempat Kerja, terdiri dari SKPD,
Camat dan Lurah/Kepala Desa se-Kota Denpasar.
·
Tempat Umum, terdiri dari Pasar
Modern dan Tradisional, Tempat hiburan, Tempat Wisata, Terminal, Hotel &
Restaurant di Kota Denpasar.
·
Tempat lain yang ditetapkan, yaitu
lapangan, taman kota dan pedestarian.
A. Memelihara
Kesehatan
Pengertian sehat
menurut UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang
meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan
hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian sehat
tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari
segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan
tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang
terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik,
mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992,
kesehatan mencakup 4 aspek, yakni
: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi.
Sedangkan konsep sehat-sakit menurut budaya Bali adalah apabila semua sistem
dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan
aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada
dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh
dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga
unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta =unsur api,
dan kapha = unsur air).
Perwujudan dari
masing-masing aspek (Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992) tersebut dalam kesehatan
seseorang antara lain sebagai berikut:
1.
Kesehatan
fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau
tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua
organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2.
Kesehatan
mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan
spiritual.
ü Pikiran sehat
tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
ü Emosional sehat
tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya,
misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
ü Spiritual sehat
tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,
kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan
Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat
dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual
adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan
agama yang dianutnya.
3.
Kesehatan
sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau
kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan,
status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan
menghargai.
4.
Kesehatan dari
aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong
terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang
belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan
sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut,
yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang
berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau
mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan
lainnya bagi usia lanjut.
B. Makanan
yang sehat
Makanan berasal dari kata makan yg berarti mengasup bahan. Makanan adalah asupan utama yang mempengaruhi kesehatan dan kondisi badan. Makanan adalah bahan, biasanya berasal
dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dana nutrisi. Cairan dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata 'makanan' juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang
dipakai dengan kiasan, seperti "makanan untuk pemikiran". Kecukupan
makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri.
Makanan yang
dibutuh manusia biasanya dibuat melalui bertani atau berkebun yang meliputi
sumber hewan dan tumbuhan. Beberapa orang menolak untuk memakan makanan dari
hewan seperti, daging, telur dan lain-lain. Mereka yang tidak suka memakan
daging dan sejenisnya disebut vegetarian yaitu orang yang hanya memakan
sayuran sebagai makanan pokok mereka.
Bali
menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang kami pandang unik dan
menarik, karena mungkin selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya,
khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar
Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali
yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan
gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan
prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat
wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, kami
memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih
lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan
tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi
daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.
C.
Konsep Hidup Sehat Masyarakat Bali
Dhanikah strotriyo raajaa
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.
(Canakya Nitisastra I,9)
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.
(Canakya Nitisastra I,9)
Artinya:
Apabila tidak ada lima unsur seperti orang kaya (dhanikah),
orang suci (strotria) yang ahli Veda, pemimpin (Raja), orang yang ahli dalam
pengobatan (vaidya) dan sungai (nadi), di tempat tersebut, maka hendaknya
janganlah bermukim di tempat itu.
Hidup bersama di dunia
ini membutuhkan berbagai unsur yang mampu bersinergis untuk menciptakan
fasilitas hidup yang dapat dijadikan unsur mendorong manusia menjadi semakin
sejahtera lahir batin. Untuk itu dibutuhkan modal. Orang kaya dalam Sloka
Canakya Nitisastra tersebut di atas adalah orang yang mau mendayagunakan
dananya untuk dikembangkan menjadi unit-unit usaha yang mampu mendaya gunakan
berbagai produk masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara adil.
Usaha itu juga dapat menampung tenaga kerja dan pajak untuk negara.
Dewasa ini orang kaya
sudah dijelmakan dalam bentuk usaha keuangan seperti bank. Bank bisa dijadikan
media meningkatkan kemakmuran ekonomi. Begitu juga, srotria sebagai orang suci
untuk dapat menuntun manusia yang bermukim di lingkungan itu. Orang suci itu
dapat dijadikan tempat oleh umat untuk mengembangkan keluhuran moral dan daya
tahan mental dalam menghadapi hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia sebagai anggota
masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah pemukiman juga membutuhkan
pemimpin.
Pemimpin sangat
dibutuhkan untuk mengkoordinasikan berbagai hal agar semua unsur dapat
disinergikan menjadi sumber pendorong umat memajukan kehidupan. Tanpa pemimpin
tidak ada yang mengkoordinasikan berbagai potensi dalam masyarakat tersebut.
Unsur yang lain yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah air atau
sungai. Dalam sloka Canakya Nitisastra disebut Nadi. Betapapun majunya suatu ekonomi
masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa berdasarkan ekonomi agraris. Ekonomi
industri dan jasa tidak mungkin lepas dari ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu
membutuhkan air.
Fungsi sungai di
samping untuk tujuan agraris juga menampung air hujan yang tidak dapat diresap
seketika oleh tanah. Demikianlah pentingnya Nadi dalam konsep pemukiman menurut
perspektif Sastra Hindu. Unsur selanjutnya waidya yaitu ahli pengobatan. Apa
pun upaya manusia untuk mencegah munculnya penyakit, sakit itu pasti pernah muncul
pada dirinya. Dalam konsep memelihara hidup sehat dan istilah yang sangat
populer yaitu: ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk mencegah agar
kita jarang sakit, dalam kitab Ayur Veda ada diajarkan untuk mengelola hidup
dengan tiga cara yaitu Ahara, Vihara dan Ausada.
Ahara selalu
mengkonsumsi makanan yang sehat. Makanan yang sehat dalam Bhagawad Gita disebut
satvika ahara. Vihara adalah mengembangkan gaya hidup yang benar dan wajar.
Artinya, gaya hidup sesuai dengan tuntutan Sastra Agama. Di samping itu jangan
lupa menjaga kesehatan fisik dengan memakan makanan yang alami. Demikian juga
bahan obat-obatan sesungguhnya sudah tersedia di lingkungan alam sekitar kita
bermukim.
Dalam Upa Veda ada yang
disebut Ayur Veda sebagai ilmu yang mengajarkan tentang memelihara kesehatan.
Di kalangan umat Hindu di Bali dikenal kelompok Pustaka Lontar yang disebut
usada. Dalam usada tersebut juga diajarkan tentang ilmu pengetahuan untuk
memelihara kesehatan jasmani maupun rohani.
Dalam usada juga
diajarkan mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan bahan obat-obatan. Di
India, Ayur Veda sudah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga telah menjadi
sebuah cara memelihara kesehatan yang sudah memasyarakat. Di fakultas
kedokteran di India sudah ada jurusan kedokteran Ayur Veda, di samping
kedokteran Barat. Lama belajar antara kedokteran Ayur Veda dan kedokteran Barat
sama. Setelah tamat mereka dapat membuka praktik di masyarakat. Dengan demikian
masyarakat bebas memilihnya.
Sistem kedokteran Ayur
Veda dapat berkembang demikian, karena melalui proses yang panjang. Demikian
juga usada di Bali memang sudah dijadikan dasar dalam sistem pengobatan
tradisional. Ke depan, pengobatan dengan bahan tumbuh-tumbuhan ini tentu dapat
dikembangkan secara modern melalui berbagai penelitian, seminar, lokakarya dan
berbagai percobaan. Dalam hal ini, berbagai disiplin ilmu lainnya patut
didayagunakan dalam membantu mengembangkan ilmu usada ini agar dapat
berkembang.
Ilmu kimia, ilmu
biologi, ilmu botani, ilmu farmasi, dll. patut dijadikan ilmu yang dapat
membantu pengembangan ilmu usada itu agar dapat diaplikasikan dalam sistem
kehidupan modern. Para ilmuwan Hindu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan
dapat terpanggil untuk ikut serta memajukan ilmu usada ini, agar ilmu warisan
nenek moyang kita lebih dapat didayagunakan untuk kesejahteraan hidup umat
manusia di kolong langit ini. Di samping itu, berbagai isi flora dan fauna
sebagai bahan obat-obatan dapat lebih dipahami maknanya dalam hidup ini.
D.
Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau
asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “
wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha
berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan
secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan
pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal
1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
1.
Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata
dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama
dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan
tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha)
adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti
resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk
menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis,
ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan
manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang
pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh
hukum Negara, Agama dan Adat.
Menurut I Made
Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga”
disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal
yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara
bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan
kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah
aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu
melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada
leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak
akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada
Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat
menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama)
yang tidak bertentangan dan berlandaskan
Dharma.
Lebih jauh
lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa
perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga)
yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam
kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung
sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha
nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002:
553).
Berdasarkan
kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya
perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan
terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan
tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra
III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam”
“Pada keluarga
dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap
suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Pasangan suami istri umumnya lebih
mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut
terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan mempunyai anak laki-laki
tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak laki-laki yang begitu
penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan anak laki-laki tersebut,
antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali, anak, khususnya anak
laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya di dunia, akan tetapi
juga setelah di akhirat.
Pasangan suami istri yang tidak
mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa puas. Dalam hal
seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara mengangkat anak
laki-laki (meras sentana) dari
keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang
diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang dimaksud nilai anak dalam
tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua.
Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal, peranan yang seharusnya dan
peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang tua. Peranan tersebut
mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih hidup maupun setelah
orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain dari
segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Berdasarkan sistem
kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah menikah
itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak laki-laki
tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan tri-wangsa), dan
anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak yang
menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat (
misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan
kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya
berkedudukan sebagai pengemon, dengan
kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan
kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda
itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama
banjar atas namanya sendiri.
E.
Cara
Hidup yang Teratur
·
Kebiasaan
Mencuci Tangan
·
Menggunakan
jamban di sekolah
·
Jajan
di warung/ kantin sekolah
·
Mengikuti
kegiatan olahraga dan aktifitas fisik
·
Pemberantasan
Jentik Nyamuk
·
Kebiasaan
Merokok
·
Menimbang
Berat Badan dan Tinggi Badan
·
Membuang
Sampah Pada Tempatnya
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dan sistem
kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan
orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Dalam
aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak laki-laki) dapat dilihat antara
lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah leluhur untuk mencapai surga,
dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk lahir kembali ke dunia
(reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat dilihat dari peranannya
sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan serta meneruskan
kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat. Dalam kedua aspek
tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat dan agama dominan.
Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari peranannya dalam memberi
bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa
tenaga kerja dan materi. Dan dari segi psikologi, ternyata anak mempunyai nilai
yang positif dan negatif bagi orang tua.
Namun dalam kehidupan berkeluarga
jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun perempuan terimalah dengan
setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga semuanya memiliki nilai yang
tersendiri dari masing-masing sifatnya atau tingkah lakunya untuk membahagiakan
kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia akhirat.
halo salam kenal.
BalasHapusmohon ijin sharing artikel menarik mengenai kredit dengan agunan. salam sehat selalu.
Did you know there is a 12 word sentence you can say to your crush... that will induce intense emotions of love and instinctual attraction to you deep within his chest?
BalasHapusBecause hidden in these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's instinct to love, please and guard you with his entire heart...
12 Words That Trigger A Man's Desire Instinct
This instinct is so built-in to a man's mind that it will drive him to work harder than ever before to take care of you.
Matter of fact, fueling this powerful instinct is so mandatory to having the best ever relationship with your man that the instance you send your man one of the "Secret Signals"...
...You'll soon find him open his heart and soul to you in a way he's never experienced before and he'll recognize you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly understood him.