This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Unduh PPt fromSlide Share PLS Bersinergi

Selasa, 17 Februari 2015

Kartu Kuzimang (Kuartet Gizi Seimbang)

Kartu kuzimang adalah singkatan dari Kartu Kuartet Gizi Seimbang yang merupakan salah satu modifikasi dari kartu kuartet. Pada kartu-kartu tersebut tertera keterangan berupa tulisan yang menerangkan berbagai gambar tentang gizi seimbang. Pengenalan jenis kartu kuartet ini merupakan salah satu inovasi pengembangan media pengetahuan tentang gizi seimbang. Tujuan jangka pendek dari jenis permainan ini yaitu mengedukasi anak anak tentang gizi seimbang dengan cara yang menyenangkan sedangkan jangka panjang diharapkan dapat mencegah adanya kekurangan dan kelebihan gizi.

Teman2, kami Salma Van Licht, Diyan Sitimawaddah, Apri Ningsih, Isti Khasanah, lagi ikut lomba cipta media gizi seimbang yang diselenggarakan PERGIZI PANGAN Indonesia
klik link ini https://t.co/mkC6MyiOdf, lalu bantu ngeshare, like & comment di link youtube-nya ya...
terimakasih :)


Kamis, 12 Februari 2015

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN KESEHATAN DI BALI

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN
KESEHATAN DI BALI



Oleh :
Adelia Hardini (1201412045)
Noor Salamah (1201412046)





PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERRSITAS NEGERI SEMARANG 2014


BAB I
PENDAHULUAN
Dampak gobalisasi terhadap kesehatan sangat kompleks. Dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung misalnya adalah harga obat-obatan yang semakin melambung disesuaikan dengan dolar Amerika, yang pada akhirnya terjadilah kesenjangan pelayanan kesehatan. Dampak tidak langsung dapat melalui perkembangan ekonomi negara masing-masig. Globalisasi diharapkan dapat meningkatkan sosial-ekonomi suatu negara yang pada akhirnya diharapkan akan memberi dampak positif berupa peningkatan derajat kesehatan. Namun, tidak terjadi di Indonesia menurut kami. Karena penghasilan dari pabrik rokok dengan anggaran untuk kesehatan seluruh negeri sangat tidak wajar. Setengah dari pengahasilan rokokpun tidak ada.
Dengan adanya globalisasi kini berbagai negara juga memasukkan kebijakan kesehatan kedalam kesehatan luar negeri, misalnya SARS dan flu burung. Dengan kata lainm masalah kesehatan menjadi mainstream kebijakan luar negeri setiap negara. Menghadapi masalah global semacam ini, yakni penyebaran penyakit berbahaya secara global, Martin (2005) dalam buku Kesehatan Masyarakat Indonesia, mengemukakan bahwa penyebaran penyakit diperkirakan justru akan memberikan dampak sebaliknya dalam proses globalisasi.
Sejarah perkembangan kesehatan masyarakat di Indone­sia dimulai sejak pemerintahan Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937, terjadi wabah kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia. Melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berasal dari wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun banyi dalam praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama, karena langkanya tenaga pelatih kebinanan, kemudian baru pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didafaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupa­kan kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit den beberapa jenis imunisasi, kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit Melalui imunisasi.
Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masya­rakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan, yakni: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni: mencegah penyakit memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui Usaha-usaha Pengorganisasi Masyarakat.
Dari perkembangan batasan kesehatan masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.
Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan program jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang wajib diikuti minimal dua kali dalam satu masa kuliah sebagai sarat mengambil skripsi. Pada tahun 2014, KKL diikuti oleh mahasiswa semester tiga, semester lima, dan enam orang dosen. Kota yang dipilih adalah Surabaya dan Bali, dengan objek kunjungan Pemkot Surabaya dan Kemenpora Provinsi Bali bagian PNFI. Sedangkan objek wisata yang dipilih adalah Tanah Lot, Joger, Pasar Seni Sukowati, Cahayu, Dewata, Pantai Sanur, Pantai Pandawa, dan Tanjung Benua. KKL itu sendiri dilaksanakan mulai Senin, 08 September 2014 hingga 13 September 2014.
Laporan KKL ini membicarakan tentang kesehatan Kota Denpasar, Bali. Karena adanya kegiatan dari pemerintah yang intensif dan adanya transparansi biaya operasional kesehatan.









BAB II
PEMBAHASAN
Dalam rangka melaksanakan amanah UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 Pemerintah Kota Denpasar pada awalnya telah menerbitkan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25A Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, kemudian disempurnakan dengan terbitnya Perda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Agar Perda KTR ini diketahui oleh masyarakat terutama oleh para pimpinan KTR maupun ketua organisasi profesi dan organisasi masyarakat maka perlu dilakukan sosialisasi baik dalam bentuk pertemuan/tatap muka maupun kunjungan ke lokasi KTR. Dalam pelaksanaanya sangat dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dalam rangka penerapan sekaligus mempercepat tersosialisasikannyaPerda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kegiatan sosialisasi tersebut bertujuan untuk: 1) Mensosialisasikan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok kepada seluruh kawasan dan masyarakat di Kota Denpasar; 2) Mensosialisasikan tentang penegakkan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dengan melihat gambaran pada penegakkan Perda Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011. Sasarannya adalah Para Pimpinan Kawasan Tanpa Rokok sesuai pada 8 (delapan) kawasan dan Organisasi Profesi serta Organisasi Masyarakat dengan jumlah sasaran sebanyak 850 orang yang dibagi dalam 7 kali kegiatan.
Sasaran tersebut meliputi, yaitu:
·         Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yaitu: Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Laboratorium se-Kota Denpasar, kemudian IDI Kota Denpasar (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI Kota Denpasar (Persatuan Dopkter Gigi Indonesia), IAI Kota Denpasar (Ikatan Apoteker Indonesia), IBI Kota Denpasar (Ikatan Bidan Indonesia), PPNI Kota Denpasar (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAKMI Kota Denpasar (Ikatan ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), HAKLI Kota Denpasar (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) serta PMI (PALANG MERAH INDONESIA) Kota Denpasar.
·         Tempat Proses Belajar Mengajar, terdiri dari: Akademi/Sekolah Tinggi/Universitas, SMA, SMP dan SD se-Kota Denpasar.
·         Tempat Anak Bermain, yaitu TK di Kota Denpasar.
·         Tempat Ibadah, terdiri dari Kantor Depag Kota Denpasar, Majelis Agama Kota Denpasar dan Tempat Ibadah di Kota Denpasar.
·         Angkutan Umum, terdiri dari Organda (Organisasi Angkutan darat) Kota Denpasar dan Perusahaan Angkutan Umum.
·         Tempat Kerja, terdiri dari SKPD, Camat dan Lurah/Kepala Desa se-Kota Denpasar.
·         Tempat Umum, terdiri dari Pasar Modern dan Tradisional, Tempat hiburan, Tempat Wisata, Terminal, Hotel & Restaurant di Kota Denpasar.
·         Tempat lain yang ditetapkan, yaitu lapangan, taman kota dan pedestarian.

A.      Memelihara Kesehatan
Pengertian sehat menurut UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian sehat tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992, kesehatan mencakup 4 aspek,  yakni : fisik (badan), mental (jiwa),  sosial, dan ekonomi. Sedangkan konsep sehat-sakit menurut budaya Bali adalah apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta =unsur api, dan kapha = unsur air).
Perwujudan dari masing-masing aspek (Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992) tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut:
1.                 Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau  tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2.                 Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.
ü  Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
ü  Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
ü  Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
3.                 Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
4.                 Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti  mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.

B.       Makanan yang sehat
Makanan berasal dari kata makan yg berarti mengasup bahan. Makanan adalah asupan utama yang mempengaruhi kesehatan dan kondisi badan. Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dana nutrisi. Cairan dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata 'makanan' juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang dipakai dengan kiasan, seperti "makanan untuk pemikiran". Kecukupan makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri.
Makanan yang dibutuh manusia biasanya dibuat melalui bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan. Beberapa orang menolak untuk memakan makanan dari hewan seperti, daging, telur dan lain-lain. Mereka yang tidak suka memakan daging dan sejenisnya disebut vegetarian yaitu orang yang hanya memakan sayuran sebagai makanan pokok mereka.
Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang kami pandang unik dan menarik, karena mungkin selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, kami memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.

C.       Konsep Hidup Sehat Masyarakat Bali
Dhanikah strotriyo raajaa
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.

(Canakya Nitisastra I,9)
Artinya:
Apabila tidak ada lima unsur seperti orang kaya (dhanikah), orang suci (strotria) yang ahli Veda, pemimpin (Raja), orang yang ahli dalam pengobatan (vaidya) dan sungai (nadi), di tempat tersebut, maka hendaknya janganlah bermukim di tempat itu.
Hidup bersama di dunia ini membutuhkan berbagai unsur yang mampu bersinergis untuk menciptakan fasilitas hidup yang dapat dijadikan unsur mendorong manusia menjadi semakin sejahtera lahir batin. Untuk itu dibutuhkan modal. Orang kaya dalam Sloka Canakya Nitisastra tersebut di atas adalah orang yang mau mendayagunakan dananya untuk dikembangkan menjadi unit-unit usaha yang mampu mendaya gunakan berbagai produk masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara adil. Usaha itu juga dapat menampung tenaga kerja dan pajak untuk negara.
Dewasa ini orang kaya sudah dijelmakan dalam bentuk usaha keuangan seperti bank. Bank bisa dijadikan media meningkatkan kemakmuran ekonomi. Begitu juga, srotria sebagai orang suci untuk dapat menuntun manusia yang bermukim di lingkungan itu. Orang suci itu dapat dijadikan tempat oleh umat untuk mengembangkan keluhuran moral dan daya tahan mental dalam menghadapi hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia sebagai anggota masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah pemukiman juga membutuhkan pemimpin.
Pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinasikan berbagai hal agar semua unsur dapat disinergikan menjadi sumber pendorong umat memajukan kehidupan. Tanpa pemimpin tidak ada yang mengkoordinasikan berbagai potensi dalam masyarakat tersebut. Unsur yang lain yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah air atau sungai. Dalam sloka Canakya Nitisastra disebut Nadi. Betapapun majunya suatu ekonomi masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa berdasarkan ekonomi agraris. Ekonomi industri dan jasa tidak mungkin lepas dari ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu membutuhkan air.
Fungsi sungai di samping untuk tujuan agraris juga menampung air hujan yang tidak dapat diresap seketika oleh tanah. Demikianlah pentingnya Nadi dalam konsep pemukiman menurut perspektif Sastra Hindu. Unsur selanjutnya waidya yaitu ahli pengobatan. Apa pun upaya manusia untuk mencegah munculnya penyakit, sakit itu pasti pernah muncul pada dirinya. Dalam konsep memelihara hidup sehat dan istilah yang sangat populer yaitu: ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk mencegah agar kita jarang sakit, dalam kitab Ayur Veda ada diajarkan untuk mengelola hidup dengan tiga cara yaitu Ahara, Vihara dan Ausada.
Ahara selalu mengkonsumsi makanan yang sehat. Makanan yang sehat dalam Bhagawad Gita disebut satvika ahara. Vihara adalah mengembangkan gaya hidup yang benar dan wajar. Artinya, gaya hidup sesuai dengan tuntutan Sastra Agama. Di samping itu jangan lupa menjaga kesehatan fisik dengan memakan makanan yang alami. Demikian juga bahan obat-obatan sesungguhnya sudah tersedia di lingkungan alam sekitar kita bermukim.
Dalam Upa Veda ada yang disebut Ayur Veda sebagai ilmu yang mengajarkan tentang memelihara kesehatan. Di kalangan umat Hindu di Bali dikenal kelompok Pustaka Lontar yang disebut usada. Dalam usada tersebut juga diajarkan tentang ilmu pengetahuan untuk memelihara kesehatan jasmani maupun rohani.
Dalam usada juga diajarkan mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan bahan obat-obatan. Di India, Ayur Veda sudah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga telah menjadi sebuah cara memelihara kesehatan yang sudah memasyarakat. Di fakultas kedokteran di India sudah ada jurusan kedokteran Ayur Veda, di samping kedokteran Barat. Lama belajar antara kedokteran Ayur Veda dan kedokteran Barat sama. Setelah tamat mereka dapat membuka praktik di masyarakat. Dengan demikian masyarakat bebas memilihnya.
Sistem kedokteran Ayur Veda dapat berkembang demikian, karena melalui proses yang panjang. Demikian juga usada di Bali memang sudah dijadikan dasar dalam sistem pengobatan tradisional. Ke depan, pengobatan dengan bahan tumbuh-tumbuhan ini tentu dapat dikembangkan secara modern melalui berbagai penelitian, seminar, lokakarya dan berbagai percobaan. Dalam hal ini, berbagai disiplin ilmu lainnya patut didayagunakan dalam membantu mengembangkan ilmu usada ini agar dapat berkembang.
Ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu botani, ilmu farmasi, dll. patut dijadikan ilmu yang dapat membantu pengembangan ilmu usada itu agar dapat diaplikasikan dalam sistem kehidupan modern. Para ilmuwan Hindu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan dapat terpanggil untuk ikut serta memajukan ilmu usada ini, agar ilmu warisan nenek moyang kita lebih dapat didayagunakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia di kolong langit ini. Di samping itu, berbagai isi flora dan fauna sebagai bahan obat-obatan dapat lebih dipahami maknanya dalam hidup ini.

D.       Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain:
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
1.      Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
  1. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).    
  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:  pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
  1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
  2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
  3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.      
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Pasangan suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan mempunyai anak laki-laki tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak laki-laki yang begitu penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan anak laki-laki tersebut, antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali, anak, khususnya anak laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya di dunia, akan tetapi juga setelah di akhirat.
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa puas. Dalam hal seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara mengangkat anak laki-laki (meras sentana) dari keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang dimaksud nilai anak dalam tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua. Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang tua. Peranan tersebut mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih hidup maupun setelah orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain dari segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah menikah itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak laki-laki tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan tri-wangsa), dan anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak yang menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat ( misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya berkedudukan sebagai pengemon, dengan kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama banjar atas namanya sendiri.
E.       Cara Hidup yang Teratur
·         Kebiasaan Mencuci Tangan
·         Menggunakan jamban di sekolah
·         Jajan di warung/ kantin sekolah
·         Mengikuti kegiatan olahraga dan aktifitas fisik
·         Pemberantasan Jentik Nyamuk
·         Kebiasaan Merokok
·         Menimbang Berat Badan dan Tinggi Badan
·         Membuang Sampah Pada Tempatnya


















BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dan sistem kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Dalam aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak laki-laki) dapat dilihat antara lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah leluhur untuk mencapai surga, dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk lahir kembali ke dunia (reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat dilihat dari peranannya sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan serta meneruskan kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat. Dalam kedua aspek tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat dan agama dominan. Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari peranannya dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa tenaga kerja dan materi. Dan dari segi psikologi, ternyata anak mempunyai nilai yang positif dan negatif bagi orang tua.
Namun dalam kehidupan berkeluarga jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun perempuan terimalah dengan setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga semuanya memiliki nilai yang tersendiri dari masing-masing sifatnya atau tingkah lakunya untuk membahagiakan kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia akhirat.


 LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN
KESEHATAN DI BALI


Oleh :
Adelia Hardini (1201412045)
Noor Salamah (1201412046)





PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERRSITAS NEGERI SEMARANG 2014


BAB I
PENDAHULUAN
Dampak gobalisasi terhadap kesehatan sangat kompleks. Dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung misalnya adalah harga obat-obatan yang semakin melambung disesuaikan dengan dolar Amerika, yang pada akhirnya terjadilah kesenjangan pelayanan kesehatan. Dampak tidak langsung dapat melalui perkembangan ekonomi negara masing-masig. Globalisasi diharapkan dapat meningkatkan sosial-ekonomi suatu negara yang pada akhirnya diharapkan akan memberi dampak positif berupa peningkatan derajat kesehatan. Namun, tidak terjadi di Indonesia menurut kami. Karena penghasilan dari pabrik rokok dengan anggaran untuk kesehatan seluruh negeri sangat tidak wajar. Setengah dari pengahasilan rokokpun tidak ada.
Dengan adanya globalisasi kini berbagai negara juga memasukkan kebijakan kesehatan kedalam kesehatan luar negeri, misalnya SARS dan flu burung. Dengan kata lainm masalah kesehatan menjadi mainstream kebijakan luar negeri setiap negara. Menghadapi masalah global semacam ini, yakni penyebaran penyakit berbahaya secara global, Martin (2005) dalam buku Kesehatan Masyarakat Indonesia, mengemukakan bahwa penyebaran penyakit diperkirakan justru akan memberikan dampak sebaliknya dalam proses globalisasi.
Sejarah perkembangan kesehatan masyarakat di Indone­sia dimulai sejak pemerintahan Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937, terjadi wabah kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia. Melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berasal dari wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun banyi dalam praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama, karena langkanya tenaga pelatih kebinanan, kemudian baru pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didafaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupa­kan kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit den beberapa jenis imunisasi, kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit Melalui imunisasi.
Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masya­rakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan, yakni: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni: mencegah penyakit memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui Usaha-usaha Pengorganisasi Masyarakat.
Dari perkembangan batasan kesehatan masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.
Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan program jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang wajib diikuti minimal dua kali dalam satu masa kuliah sebagai sarat mengambil skripsi. Pada tahun 2014, KKL diikuti oleh mahasiswa semester tiga, semester lima, dan enam orang dosen. Kota yang dipilih adalah Surabaya dan Bali, dengan objek kunjungan Pemkot Surabaya dan Kemenpora Provinsi Bali bagian PNFI. Sedangkan objek wisata yang dipilih adalah Tanah Lot, Joger, Pasar Seni Sukowati, Cahayu, Dewata, Pantai Sanur, Pantai Pandawa, dan Tanjung Benua. KKL itu sendiri dilaksanakan mulai Senin, 08 September 2014 hingga 13 September 2014.
Laporan KKL ini membicarakan tentang kesehatan Kota Denpasar, Bali. Karena adanya kegiatan dari pemerintah yang intensif dan adanya transparansi biaya operasional kesehatan.









BAB II
PEMBAHASAN
Dalam rangka melaksanakan amanah UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 Pemerintah Kota Denpasar pada awalnya telah menerbitkan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25A Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, kemudian disempurnakan dengan terbitnya Perda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Agar Perda KTR ini diketahui oleh masyarakat terutama oleh para pimpinan KTR maupun ketua organisasi profesi dan organisasi masyarakat maka perlu dilakukan sosialisasi baik dalam bentuk pertemuan/tatap muka maupun kunjungan ke lokasi KTR. Dalam pelaksanaanya sangat dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dalam rangka penerapan sekaligus mempercepat tersosialisasikannyaPerda Kota Denpasar No. 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kegiatan sosialisasi tersebut bertujuan untuk: 1) Mensosialisasikan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok kepada seluruh kawasan dan masyarakat di Kota Denpasar; 2) Mensosialisasikan tentang penegakkan Perda Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dengan melihat gambaran pada penegakkan Perda Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011. Sasarannya adalah Para Pimpinan Kawasan Tanpa Rokok sesuai pada 8 (delapan) kawasan dan Organisasi Profesi serta Organisasi Masyarakat dengan jumlah sasaran sebanyak 850 orang yang dibagi dalam 7 kali kegiatan.
Sasaran tersebut meliputi, yaitu:
·         Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yaitu: Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Laboratorium se-Kota Denpasar, kemudian IDI Kota Denpasar (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI Kota Denpasar (Persatuan Dopkter Gigi Indonesia), IAI Kota Denpasar (Ikatan Apoteker Indonesia), IBI Kota Denpasar (Ikatan Bidan Indonesia), PPNI Kota Denpasar (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAKMI Kota Denpasar (Ikatan ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), HAKLI Kota Denpasar (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) serta PMI (PALANG MERAH INDONESIA) Kota Denpasar.
·         Tempat Proses Belajar Mengajar, terdiri dari: Akademi/Sekolah Tinggi/Universitas, SMA, SMP dan SD se-Kota Denpasar.
·         Tempat Anak Bermain, yaitu TK di Kota Denpasar.
·         Tempat Ibadah, terdiri dari Kantor Depag Kota Denpasar, Majelis Agama Kota Denpasar dan Tempat Ibadah di Kota Denpasar.
·         Angkutan Umum, terdiri dari Organda (Organisasi Angkutan darat) Kota Denpasar dan Perusahaan Angkutan Umum.
·         Tempat Kerja, terdiri dari SKPD, Camat dan Lurah/Kepala Desa se-Kota Denpasar.
·         Tempat Umum, terdiri dari Pasar Modern dan Tradisional, Tempat hiburan, Tempat Wisata, Terminal, Hotel & Restaurant di Kota Denpasar.
·         Tempat lain yang ditetapkan, yaitu lapangan, taman kota dan pedestarian.

A.      Memelihara Kesehatan
Pengertian sehat menurut UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian sehat tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992, kesehatan mencakup 4 aspek,  yakni : fisik (badan), mental (jiwa),  sosial, dan ekonomi. Sedangkan konsep sehat-sakit menurut budaya Bali adalah apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta =unsur api, dan kapha = unsur air).
Perwujudan dari masing-masing aspek (Undang-Undang N0. 23 Tahun 1992) tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut:
1.                 Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau  tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2.                 Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.
ü  Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
ü  Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
ü  Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
3.                 Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
4.                 Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti  mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.

B.       Makanan yang sehat
Makanan berasal dari kata makan yg berarti mengasup bahan. Makanan adalah asupan utama yang mempengaruhi kesehatan dan kondisi badan. Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dana nutrisi. Cairan dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata 'makanan' juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang dipakai dengan kiasan, seperti "makanan untuk pemikiran". Kecukupan makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri.
Makanan yang dibutuh manusia biasanya dibuat melalui bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan. Beberapa orang menolak untuk memakan makanan dari hewan seperti, daging, telur dan lain-lain. Mereka yang tidak suka memakan daging dan sejenisnya disebut vegetarian yaitu orang yang hanya memakan sayuran sebagai makanan pokok mereka.
Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang kami pandang unik dan menarik, karena mungkin selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, kami memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.

C.       Konsep Hidup Sehat Masyarakat Bali
Dhanikah strotriyo raajaa
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.

(Canakya Nitisastra I,9)
Artinya:
Apabila tidak ada lima unsur seperti orang kaya (dhanikah), orang suci (strotria) yang ahli Veda, pemimpin (Raja), orang yang ahli dalam pengobatan (vaidya) dan sungai (nadi), di tempat tersebut, maka hendaknya janganlah bermukim di tempat itu.
Hidup bersama di dunia ini membutuhkan berbagai unsur yang mampu bersinergis untuk menciptakan fasilitas hidup yang dapat dijadikan unsur mendorong manusia menjadi semakin sejahtera lahir batin. Untuk itu dibutuhkan modal. Orang kaya dalam Sloka Canakya Nitisastra tersebut di atas adalah orang yang mau mendayagunakan dananya untuk dikembangkan menjadi unit-unit usaha yang mampu mendaya gunakan berbagai produk masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara adil. Usaha itu juga dapat menampung tenaga kerja dan pajak untuk negara.
Dewasa ini orang kaya sudah dijelmakan dalam bentuk usaha keuangan seperti bank. Bank bisa dijadikan media meningkatkan kemakmuran ekonomi. Begitu juga, srotria sebagai orang suci untuk dapat menuntun manusia yang bermukim di lingkungan itu. Orang suci itu dapat dijadikan tempat oleh umat untuk mengembangkan keluhuran moral dan daya tahan mental dalam menghadapi hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia sebagai anggota masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah pemukiman juga membutuhkan pemimpin.
Pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinasikan berbagai hal agar semua unsur dapat disinergikan menjadi sumber pendorong umat memajukan kehidupan. Tanpa pemimpin tidak ada yang mengkoordinasikan berbagai potensi dalam masyarakat tersebut. Unsur yang lain yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah air atau sungai. Dalam sloka Canakya Nitisastra disebut Nadi. Betapapun majunya suatu ekonomi masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa berdasarkan ekonomi agraris. Ekonomi industri dan jasa tidak mungkin lepas dari ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu membutuhkan air.
Fungsi sungai di samping untuk tujuan agraris juga menampung air hujan yang tidak dapat diresap seketika oleh tanah. Demikianlah pentingnya Nadi dalam konsep pemukiman menurut perspektif Sastra Hindu. Unsur selanjutnya waidya yaitu ahli pengobatan. Apa pun upaya manusia untuk mencegah munculnya penyakit, sakit itu pasti pernah muncul pada dirinya. Dalam konsep memelihara hidup sehat dan istilah yang sangat populer yaitu: ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk mencegah agar kita jarang sakit, dalam kitab Ayur Veda ada diajarkan untuk mengelola hidup dengan tiga cara yaitu Ahara, Vihara dan Ausada.
Ahara selalu mengkonsumsi makanan yang sehat. Makanan yang sehat dalam Bhagawad Gita disebut satvika ahara. Vihara adalah mengembangkan gaya hidup yang benar dan wajar. Artinya, gaya hidup sesuai dengan tuntutan Sastra Agama. Di samping itu jangan lupa menjaga kesehatan fisik dengan memakan makanan yang alami. Demikian juga bahan obat-obatan sesungguhnya sudah tersedia di lingkungan alam sekitar kita bermukim.
Dalam Upa Veda ada yang disebut Ayur Veda sebagai ilmu yang mengajarkan tentang memelihara kesehatan. Di kalangan umat Hindu di Bali dikenal kelompok Pustaka Lontar yang disebut usada. Dalam usada tersebut juga diajarkan tentang ilmu pengetahuan untuk memelihara kesehatan jasmani maupun rohani.
Dalam usada juga diajarkan mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan bahan obat-obatan. Di India, Ayur Veda sudah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga telah menjadi sebuah cara memelihara kesehatan yang sudah memasyarakat. Di fakultas kedokteran di India sudah ada jurusan kedokteran Ayur Veda, di samping kedokteran Barat. Lama belajar antara kedokteran Ayur Veda dan kedokteran Barat sama. Setelah tamat mereka dapat membuka praktik di masyarakat. Dengan demikian masyarakat bebas memilihnya.
Sistem kedokteran Ayur Veda dapat berkembang demikian, karena melalui proses yang panjang. Demikian juga usada di Bali memang sudah dijadikan dasar dalam sistem pengobatan tradisional. Ke depan, pengobatan dengan bahan tumbuh-tumbuhan ini tentu dapat dikembangkan secara modern melalui berbagai penelitian, seminar, lokakarya dan berbagai percobaan. Dalam hal ini, berbagai disiplin ilmu lainnya patut didayagunakan dalam membantu mengembangkan ilmu usada ini agar dapat berkembang.
Ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu botani, ilmu farmasi, dll. patut dijadikan ilmu yang dapat membantu pengembangan ilmu usada itu agar dapat diaplikasikan dalam sistem kehidupan modern. Para ilmuwan Hindu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan dapat terpanggil untuk ikut serta memajukan ilmu usada ini, agar ilmu warisan nenek moyang kita lebih dapat didayagunakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia di kolong langit ini. Di samping itu, berbagai isi flora dan fauna sebagai bahan obat-obatan dapat lebih dipahami maknanya dalam hidup ini.

D.       Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain:
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
1.      Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
  1. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).    
  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:  pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
  1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
  2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
  3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.      
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Pasangan suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan mempunyai anak laki-laki tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak laki-laki yang begitu penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan anak laki-laki tersebut, antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali, anak, khususnya anak laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya di dunia, akan tetapi juga setelah di akhirat.
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa puas. Dalam hal seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara mengangkat anak laki-laki (meras sentana) dari keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang dimaksud nilai anak dalam tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua. Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang tua. Peranan tersebut mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih hidup maupun setelah orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain dari segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah menikah itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak laki-laki tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan tri-wangsa), dan anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak yang menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat ( misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya berkedudukan sebagai pengemon, dengan kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama banjar atas namanya sendiri.
E.       Cara Hidup yang Teratur
·         Kebiasaan Mencuci Tangan
·         Menggunakan jamban di sekolah
·         Jajan di warung/ kantin sekolah
·         Mengikuti kegiatan olahraga dan aktifitas fisik
·         Pemberantasan Jentik Nyamuk
·         Kebiasaan Merokok
·         Menimbang Berat Badan dan Tinggi Badan
·         Membuang Sampah Pada Tempatnya


















BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dan sistem kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Dalam aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak laki-laki) dapat dilihat antara lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah leluhur untuk mencapai surga, dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk lahir kembali ke dunia (reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat dilihat dari peranannya sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan serta meneruskan kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat. Dalam kedua aspek tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat dan agama dominan. Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari peranannya dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa tenaga kerja dan materi. Dan dari segi psikologi, ternyata anak mempunyai nilai yang positif dan negatif bagi orang tua.
Namun dalam kehidupan berkeluarga jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun perempuan terimalah dengan setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga semuanya memiliki nilai yang tersendiri dari masing-masing sifatnya atau tingkah lakunya untuk membahagiakan kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia akhirat.