Unduh PPt fromSlide Share PLS Bersinergi

Kamis, 13 Desember 2012

PSH Bab III. Konsep Dasar PSH


KONSEP DASAR PSH

APA YANG DIMAKSUD PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Laporan tahun 1972 komisi internasional melakukan pengembangan pendidikan dan dipublikasikan oleh UNESCO dan sekarang dikenal dengan istilah “Laporan Faure” (Faure 1972) dan memuat rekomendasi pertama untuk merancang pendidikan, proposal yang dibuat berjudul “ Pendidikan seumur hidup”, proposal dibuat untuk inovasi pendidikan di masa mendatang. Rekomendasi ditunjukan pada negara maju dan negara berkembang, sekarang gagasan diterima dan menjadi sangat terkenal di mana-mana.
Di Eropa pendidikan seumur hidup belum di mengerti sepenuhnya lebih jahu pendidikan seumur hidup kurang begitu terkenal dalam lingkungan pendidikan Eropa. Dalam sub bab ini, di maksudkan adalah untuk menyajikan gagsan pemikiran dasar, dan untuk menetapakan pengertian istilah pendidikan seumur hidup.
Eksitensi perbaikan tidak hanya untuk meningkatkan fasilitas pendidikan orang dewasa, tidak berarti bahwa pendidikan seumur hidup sudah tercapai. Contohnya terdapat problem bahwa pendidikan orang dewasa sangat selektif. Mereka sudah mendapatkan pendidikan sebelumnya dan bermaksud untuk memperoleh pendidikan orang dewasa, dan bukan orang yang diduga betul-betul membutuhkannya. Sekarang pendidikan orang dewasa masih dikonsepsikan sebagai rekereasi.
Pendidikan orang dewasa dinodai dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang luks atau usaha perbaikan, bukan dijadikan bagian proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan seumur hidup diperlengkapai tenaga yang bagus dan berkulitas.Bagaimanapun, tujuan pendidikan seumur hidup dapat dipandang lebih luas dari meningkatkan produktivitas pekerja seperti yang ditekankan pada pendidikan orang dewasa.

PERANAN TRADISIONAL SEKOLAH

Sekolah secara tradisional berkenaan dengan kelompok usia tertentu, biasanya antara sekitar 6 tahun sampai 18 tahun, meskipun sekarang diakui tidak ada bukti bahwa belajar lebih efisien atau lebih diinginkan pada usia ini. Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Mahmud, 1990). Pelajar dikonsepsikan sebagai wadah semata-mata atau stockpot pengetahuan. Tranmisi informasi dipandang sebagai ringkasan hal-hal dasar yang diketahui oleh pelajar dalam kehidupannya nanti. Pengetahuan biasanya tidak dengan sengaja direncanakan agar sesuai dengan kebutuhan. Sekarang kehidupan hari demi hari pelajar, meskipun aplikasi praktek langsung terjadi namun hanya sebagai peristiwa keberuntungan saja. Kegunaan sesuatu yang dipelajari sekarang tidak jelas dalam kehidupan masa dewasa mendatang. Misalnya, Anak yang menamatkan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi pendidikan makin besar harapannya memperoleh pekerjaan yang layak dan memiliki prestise tinggi. Dengan ijasah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai pekerjaan kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya (Akhirman, 2012). Salah satu efek konsepsi tradisional peranan  tidak hanya memisahkan sekolah dengan kehidupan nyata pelajar sehari-hari, tetapi juga belajar di sekolah terpisah dari sumber-sumber belajar lainnya seperti, perpustakaan, museum, rumah, pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya.

PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Dasar filisofi pendidikan seumur hidup  mempertanyakan konsepsi tradisional sekolah yang telah dideskripsikan. Seperti yang telah dikemukakan oleh,  Dave (1973), pertumbuhan kejiwaan, perkembangan kepribadian, pertumbuhan sosial ekonomi dan kebudayaan, seluruhnya berlangsung terus-menerus seumur hidup. Pendidikan seumur hidup bertumpu pada kepercayaan bahwa belajar  juga terjadi seumur hidup,walaupun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Masalah yang terakhir telah di diskusikan secara ekstensif oleh ahli-ahli Ilmu jiwa perkembangan seperti Bruner.
Roqib (2009) belajar mengajar adalah peristiwa wajar yang terjadi pada manusia secara terus-menerus dan terkadang dengan cara yang spontan. Bahkan tanpa disadari, manuasia selalu belajar dari segala hal yang dialaminya. Oleh karena itu, disarankan bahwa belajar harus didukung dan dibantu dari anak-anak sampai dewasa. Pokok dalam pendidikan seumur hidup adalah seluruh individu memiliki kesempatan yang sistematik, terorganisir untuk instruction, studi dan learning di setiap kesempatan sepanjang hidup mereka. Semua itu bertujuan untuk memperbaiki kemunduran pendidikan sebelumnya, untuk memperoleh ketrampilan baru, meningkatkan keahlian mereka dan meningkatkan pengetahuan tentang dunia yang ditempatinya.

Dalam kerangka ini pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai pelayanan untuk membantu pengembangan personal sepanjang  hidup dalam istilah yang lebih luas “development”. (Lengland, 1970). Pendidikan seumur hidup berkenaan dengan prinsip pengorganisasian yang akhirnya memungkinkan pendidikan untuk melakukanfungsinya. Fungsinya adalah “proses perubahan yang menuntun perkembangan individu”. (Silva, 1973, hal 41).
Pendidikan  seumur hidup sebagai model pendidikan memang tidak seluruhnya baru. Konseptualisasi pendidikan seumur hidup merupakan alat untuk mengembangkan individu-individu yang akan belajar seumur hidup agar lebih bernilai bagi masyarakat. Rizki (2012).
Sama baiknya dengan penulis pendidikan pada zaman purbakala. Dewey (1916) mengemukakan pandangan lebih 60 tahun yang lalu bahwa pendidikan dan belajar adalah proses seumur hidup. Lapor­an terhadap pemerintah Inggris pada akhirnya perang dunia perta­ma (Kementerian Komite Rekonstruksi Pendidikan Orang Dewasa, 1919)  secara khusus memberikan rekomendasi bahwa pendidikan harus"seumur hidup" sebagai persoalan penting nasional. Bagai­manapun juga, gagasan ini sudah muncul 60 tahun yang lalu atau lebih sejak Dewey merekomendasikan kepada pemerintah Amerika Serikat dan rekomendasi Kementerian Rekonstruksi terhadap pemerintah Inggris, namun kenyataannya sistem pendidikan  yang berorientasi seumur hidup belum dikembangkan.

MENGAPA PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP
Para penganjur pendidikan seumur hidup mengembangkan sejumlah argumentasi yang berbeda – beda. Mereka mengemukakan bahwa pendidikan seumur hidup akan meningkatkan persamaan distribusi pelayanan pendidikan,memiliki implikasi ekonomi yang menyenangkan serta esensial dalam menghadapi struktur – struktur social yang berubah dan terdapat alas an – alas an kejuruan untuk menetapkan akan menghantarkan peningkatan kualitas hidupnya,dll.
Keadilan
            Lengrand ( 1970) misalnya, telah menunjukkan adanya desakan social yang kuat dalam kerja sekarang yang mendorong seluruh masyarakat dan strata setiap masyarakat agar memiliki kesempatan sepenuhnya untuk merealisasikan potensi mereka dan persamaan jalab untuk memperoleh keuntungan social, ekonomi, dan politik. Tekanan terhadap persamaan kesempatan kerja bukanlah hal baru,tetapi diterapkan dengan kekuatan yang diperbarui dalam masyarakat yang sangat maju contohnya Amerika Serikat (Coleman,1966). Lebih jauhnya lagi,tekanan juga dirasakan di Negara yang sedang berkembang yang dinyatakan bahwa system pendidikan tradisional yang diwarisi oleh pemerintah colonial dulu akan membatasi perkembangan nasional untuk mencapai tingkat persamaan internasional (Parkyn,1973).
            Diakui Paulo Freire, sekolah memang merupakan alat kontrol sosial yang
efesien bagi upaya menjaga status qua. Pelajar dididik untuk menyesuaikan diri dengan posisi social tertentu dan melestarikan tatanan yang sudah ada. Menurut argumentasi ini,pengetahuan diberikan di sekolah tradisional yang tidak berubah seperti menyampaikan komodite kepada consumer (Weaver 1972) dan ketidaksamaan yang dipertahankan oleh pengaruh control “establishment” pendidikan yang ingin menyampaikan pengetahuan dengan cara yang cepat. Sistem pendidikan merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi hubungan-hubungan sosial suatu “relasi produksi” kalyanamitra (2012). Tetapi berbeda dengan pendidikan seumur hidup yang pada prinsipnya adalah untuk meleminir peranan sekolah sebagai alat untuk melestarikan ketidakadilan.
Pertimbangan ekonomi
            Biaya pendidikan tampaknya mendekati titik puncak dimana masyarakat tidak mampu lagi membiayainya lebih jauh lagi. Dimana untuk Negara – Negara sedang berkembang problem ini telah mencapai tarf akut,sebagai contoh Negara Upper Volta. Negara tersebut telah menggunakn 18% dari pendapatannya untuk membiayai pendidikan dan anggaran belanja ini sangat besar dibandingkan pemasukan keseluruhan,karena hanya untuk membiayai 10% dari penduduk usia sekolah. Sedangkan pembiayaan untuk 100% usia  sekolah diperlukan dana 1,8 kali dari budget keseluruhan nasional. Bahkan di Negara – Negara yang berteknologi maju,beberapa system sekolah telah diancam kebangrutan (Coste 1973). Dala waktu yang sama pila,terdapat kebutuhan yang semakin meningkat untuk memperbesar pelayanan pendidikan,memperluas daya serap sekolah dan lebih meragamkan jenis – jenis pendidikan. Kebijakan yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis financial seperti mempersingkat penyelenggaraan,memperkenalkan system hutang serta meningkatkan pendayagunaan teknologi pendidikan,dll (Cropley 1973).
            Bagaimanapun juga,seluruh usaha yang dilakukan termasuk memperbesar anggaran belanja telah gagal melaksanakan program melek huruf semesta di Negara – negar berkembang,gagal menghapus buta huruf di Negara maju serta gagl untuk memenuhi kebutuhan di seluruh masyarakat. Contohnya,meskipun jumlah anak – anak yang bersekolsh di seluruh dunia meningkat dari 325 juta menjadi 460 juta sejak tahun 1960 – 1968 dan jumlah anak – anak usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah meningkat 17 juta dalam periode sekarang ini (Faure 1972). Dalam situasi yang sama pula dialami para orang dewasa. Menurut Biyin(1975),akhir – akhir ini jumlah orang dewasa yang mengalami buta huruf meningkat melebihi 80 juta(jumlah peningkatan yang pasti tergantung pada penggunaan definisi buta huruf). Ini sesuatu peristiwa yang menyedihkan bahkan mengecewakan jika dilihat dalam konteks ekonomi tersebut.Selama periode berlangsung,anak – anak yang tidak mampu bersekolah meningkat,proporsi GNP yang digunakan untuk membiayai pendidikan meningkat dari 3,02 menjadi 4,24% (Faure,1972),serta peningkatan ini mencerminkan usaha yang sangat besar khususnya di bagian Negara yang sedang berkembang.
            Seringakali muncul pertanyaa,apakah kebikajakan yang telah diusulkan memilki potensi untuk menanggulangi issu – issu ekonomi yang sekarang ini terjadi pada system pendidikan. Beberapa alternative yang telah dikemukakan seakan – akan tidak berdaya untuk menanggulangi issu – issu ekonomi,tetapi hanya sekedar modifiksi cara – cara penyampaian  atau pembiayaan dengan produk yang sama dengan pendidikan tradisional. Tidak seperti pada kebijakan yang telah disebutkan,tetapi pendidikan seumur hidup secara radikal mengandung model baru proses pendidikan. Kebijakan seperti itu jelas memiliki implikasi ekonomi yang sangat besar. Meskipun, Costa (1973) telah mengemukakan kesimpulan yang memperingatkan bahwa modifikasi usia yang telah terjadi dalam system pendidikan formal tidak memungkinkan untuk menghemat biaya pendidikan. Sebenarnya sukar untuk mengatakan bahwa penataan kembali pendidikan tidak akan meningkatkan pembiayaan.
            Contoh satu kasus ekonomi untuk mengadopsi system pendidikan seumur hidup telah dikemukakan oleh Zhamin dan Konstanian (1972). Meskipun dapat,tetapi sangat sulit memperhitungkan uang kembali ke suatu Negara yang berasal dari peningkatan kebijakan pendidikan ,mereka berdua mengemukakan contoh nyata dengan perhitungan statistic yaitu pekerja – pekerja yang memiliki pendidikan sangat tinggi akan menampilkan kerja yang lebih baik dan estimasi antara tahun 1960 – 1968 “ekonomi yang kembali” ke Uni Soviet dengan mengeluarkan satu roubel untuk membiayai pendidikan yang menghasilkan 4 roubel GNP. Mereka melihat pembentukan system pendidikan yang berfungsi sebagai basis untuk memperoleh ketrampilan tipe baru yang secara ekonomi berharga untuk masyarakat. Disini juga perlu ditekankan bahwa para pendukung system pendidikan seumur hidup tidak membela pendapatnya dengan mengemukakan bahwa pendidikan dengan menerima pendidikan seumur hidup akan dapat meningkatkan produktivitas pekerja serta meningkaatkan keuntungan. Pendekatan peningakatan produktivitas dan keuntungan telah ditolak banyak penuis seperti Vinokur (1976). Persoalan yang lebih penting adalah meningkatkan kualitas hidup,memperbesar pemenuhan diri,melepaskan dari kebodohan serta kemiskina dan eksploitasi. Meskipun jelas terdapat pengakuan yang semakin meningkat,khususnya di Negara berkembang menyatakan bahwa pendidikan berperan sebagai basis untuk ekonomi modern. Lebih jauh lagi,kemakmuran ekonomi akan meningkatkan standar kehidupan dengan segenap keuntungan yang diperoleh karena meningkatnya harapan untuk berumur panjang,memiliki kesehatan fisik yang lebih baik serta kebahagiaan yang lebih baik. Pangkuan adanya hubungan antara hubungan antara dan pertumbuhan ekonomi,kemajuan personal dan kehidupan social yang berurutan ,serta akan memperlengkapi argumentasi ekonomi lebih jauh lagi untuk mengadakan perubahan radikal organisasi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup berhubungan sangat intim sekali.
Faktor – factor social (peranan keluarga yang sedang berubah)
            Menurut Coleman (1972), keluarga mempunyai fungsi sebagai sentral sumber pendidikan pada waktu silam. Dia mengemukakan bahwa situasi ini telah berubah sehingga keluarga sedikit demi sedikit berkurang peranannya dalam mendidik anak – anak. Ini dapat dilihat dalam bidang moral, afektif dan pendidikan social. Serta,pengikisan peranan keluarga bisa diramalkan sebagai hasil meningkatnya pertumbuhan teknologi, urbanisasi dan kekomplekan  hidup. Aujaleu meramalkan “lumpuhnya nilai – nilai” adalah konsekuensi dari pengurangan peranan keluarga sebagai salah satu factor yang mempengaruhi perkembangan anak. Khususnya,perubahan ini memerlukan suatu jalan yang dapat menutupi gap yang ditinggalkan oleh keluarganya. Pendidikan seumur hidup dapat memperlengkapi kerangka organisasi yang memungkinkan pendidikan mengambil alih tugas yang dulunya ditangani oleh keluarga. Dalam masalah tersebut harus diperhatikan bahwa penekanan peranan pendidikan seumur hidup sebagai pembantu keluarga dan berarti akan memperluas system pendidikan agar dapat menjangkau anak – anak awal dan orang dewasa. Dengan harapan,pengakuan pentingnya pendidikan moral dan social serta desakan terhadap sekolah untuk melakukan peranan pendidikan yang dilakukan keluarga,agar memperkuat dan menghidupkan kembali pengaruh rumah dalam proses interaksi antar beberapa factor yang mempengaruhi anak,
Faktor – factor social (peranan social yang sedang berubah)
Perangkat kedua perubahan social berbeda dengan perubahan peranan keluarga yang telah dibicarakan di atas,meskipun diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat,contohnya perubahan peranan adolescent dalam masyarakat modern,perubahan hubungan pekerja dengan pekerjaan dan bosnya,meningkatnya waktu luang ,dan meningkatnya partisipasi warga terhadap kehidupan politik. Garis antara orang dewasa dengan anak secara tradisional sangat jelas dalam kehidupan masyarakat yang tidak maju.. Tiket maju kedunia dewasa sering ditandai dengan umur tertentu dan beberapa upacara resmi.Serta perkembangan yang kompleks dalam penggunaan teknologi di masyarakat maju,bagaimanapun juga ini akan menyebabkan pentingnya perluasan konsep anak – anak. Pada mulanya,sekolah telah menciptakan perbedaan umum antara orang dewasa dengan anak – anak. Perbedaan sekarang ini semakin kabur. Pemuda yang kawin pada umumnya meningkat,hak – hak istimewa yang dulunya dimiliki orang dewasa sedikit demi sedikit pindak ke anak – anak,ketika orang dewasa semakin meningkat yang kembali kebangku sekolah. Pemuda umur 18 tahun yang sudah menikah dan bekerja sedangkan yang berumur 30 tahun sedang menjadi pelajar. Anak – anak secara tradisional harus disekolahkan,sedangkan orang dewasa tidak dan sekarang sangat sulit memisahkan itu,oleh karena itu diperlukan konsep pendidikan an perluasaan rentangan usia yang ditampung dalam pendidikan.
Dalam situasi yang agak mirip dengan kenyataan yang diatas adalah hubungan social yang tepat diatara pekerja yang menjadi tidak jelas. Contohnya pekerja bawahan di masa yang akan datang barangkali harus mengadopsi peranan social sekarang ini yang dianggap sangat tepat untuk boss. Peranan social lainnya juga berubah,seperti dalam bidang stereotype seks. Seperti contoh berubahnya konsepsi peranan laki – laki sebagai pencari nafkah juga bias dilakukan oleh kaum wanita karena adanya emansipasi wanita . dengan demikian,pendidikan harus berisi elemen training yang kuat dan memainkan peranan social yang sangat beragam agar mempermudah individu melakukan penyesuaian terrhadap perubahan hubungan antara mereka dengan orang lain.
Peranan teknologi
            Dekat sekali hubungannya dengan perubahan yang telah dibicarakan di atas,dan seringakali dikemukakan oleh pendukung pendidikan seumur hidup sebagai argumentasi umum dalam rangka menopang konsep pendidikan seumur hidup yaitu gejala perubahan teknologi yang berlangsung dengan cepat. Pertumbuhan teknologi juga menyebabkan meningkatnya persediaan informasi,merubah sifat – sifat pekerjaan,meningkatkan urbanisasi dan waktu luang,keberhasilan pengobatan seperti bertambah panjangnya usia,menurunnya kematian dan meningkatnya waktu luang serta banyaknya tersedia kekayaan materi yang berakibat keduniawian dan materialisme menjiwai nilai – nilai budaya dan spiritual(Suchodolskil,1976) dan berakibat pula kerenggangan dan keasingan manusia dari manusia lainnya. Semua ini menimbulkan ketidakpastian ketrampilan yang diperlukan dunia mendatang serta melunturkan kekeluargaan,ketidakpastian peranan social dan hubungan internasionaldi masa depan. Akibatnya,basis keorganisasian baru pendidikan menjadi penting dan diperlukan dimana – mana.
Faktor – factor vocational
            Masalah ini dikemukakan kembali dalam literature pendidikan pada akhir abad sekarang ini yang menyatakan bahwa kejuruan yang diperlukan dunia di masa mendatang secara drastis berbeda dengan apa yang ada sekarang . Dalam konteks ini, kemampuan system pendidikan seperti yang diorganisir sekarang digunakan untuk membekali anak – anak dengan ketrampilan khusus yang diperlukan untuk kesuksesan pekerjaan di masa mendatang yang secara ektrim diragukan. Ada alasan untuk menuduh bahwa salah satu kejuruan dimasa yang akan mendatang mengalami perubahan yaitu ketrampilan kejuruan yang cepat payu dan terjadi perubahan yang tidak hanya pada generasi mendatang tetapi juga terjadi dalam generasi ini. Dengan demikian para pekerja di masa mendatang perlu meninggalkan ketrampilan yang sudah lama dimiliki dan menggantinya dengan yang baru,barangkali tidak hanya sekali pergantian,tetapi berulang kali. Seperti yang telah dikemukakan,perubahan ini juga meliputi hubungan antar teman sekerja,employe,dll sehingga efeknya menjadi lebih kompleks dan meresap.
            Menurut beberapa penulis tidak hanya hubungan pekerja dengan orang yang berubah tetapi hubungan antar pekerjaan mereka. Ilmu kedokteran umpamanya menjadi suatu aktivitas teknologi yang sangat tinggi dan memerlukan beberapa jenis ketrampilan yang baru. Dan mungkin saja akan muncul konsepsi baru tentang apa yang disebut kerja dan siapa yang harus melakukannya. Meningkatnya penetrasi dunia kerja dengan system otomat menyatakan bahwa sifat – sifat kerja itu sendiri mungkin mengalami perubahan. Serta perubahan ini tidak hanya memerlukan ketrampilan baru tetapi mengalami perubahan drastic dalam pemikiran mengenai jenis aktivitas apa yang disebut kerja. Di beberapa negara maju misalnya,nilai yang diberikan terhadap pekerjaan yang sebagai alat untuk melestarikan fisik sudah semakin menurun sekarang ini.Dan disertai meningkatnya toleransi terhadap pengangguran yang banyak terjadi di beberapa Negara sebagai akibat peningkatan efisiensi kerja dan usaha pengurangan tingkat inflasi. Beberapa masyarakat telah menurunkan martabat kerja bahkan pada tingkat memberikan jaminan pendapatan tahunan seperti yang terlihat pada beberapa daerah di Canada tanpa memandang apakah buruh itu bekerja atau tidak.
            Jadi,pada masa mendatang,mungkin fungsi pekerjaan bukan untuk memperoleh penghasilan,keperluan dan kemewahan. Pekerjaan misalnya sebagai jalan untuk mengekspresikan diri,cara untuk mengekspresikan jenis kewajiban social yang sejajar dengan adanya partisipasi kelompok orang tua dan guru,sedangkan cara untuk meyakinkan public tentang kejujuran/keadilan,bahkan sebagai hokum/tanda kekurangan masyarakat. Hak untuk bekerja mungkin sebagai jalan untuk memperoleh hak – hak istimewa.Meskipun kemungkinan diatas tersebut tamapaknya fantastis.,namun masyarakat melihat perubahan besar dalam kepentingankerja mereka saja,peranan kerja dalam kehidupan individu,serta nilai – nilai yang diberikan pada pekerjaan baik dimasyarakat maupun individu bahkan perlunya bekerja. Seluruh kemungkinan ini menyatakan bahwa anak – anak sekarang mungkin memerlukan untuk masa depan mereka suatu ketrampilan yang berbeda sekali dengan ketrampilan kejuruan yang dipaketkan sekarang. Dengan demikian hendaknya memperlengkapi pelajar kemampuan untuk mereaksi secara positif terhadap perubahan baik segi meneruskan kemampuan yang secara kejuruan yang berguna untuk masyarakat dan kemampuan untuk mempertahankan identitas mereka dalam menghadapi jenis pekerjaan yang sangat berbeda dengan apa yang ada sekarang ini.
Kebutuhan – kebutuhan orang dewasa
            Orang dewasa sekarang ini akan mengalami efek cepatnya perubahan dalam dalam bidamg kejuruan yang mereka miliki. Misalnya,ancaman keusangan yang membayangi banyak pekerja. Serta,keusangan ketrampilan yang sekarang mereka miliki dan kebutuhan untuk memperoleh ketrampilan – ketrampilan yang baru,sama sekali tidak terbatas pada pekerja buruh kasar. Dubin (1974) telah menunjukkan bahwa insiyur professional sedang menghadapi masalah keusangan ketrampilan. Menurut dia separuh kehidupan rata – rata mata pelajaran engineering yang diajarkan di Universitas Amerika yang terus menerus menjadi menurun dan sekarang ini sisanya hanya tinggal sedikit. Akibatnya,para insiyur yang sedang praktek di Amerika sekarang ini telah menghadapi prospek keusangan pengetahuan jauh sebelum habis kehidupan professional aktif mereka. Di masa mendatang,ketrampilan mereka mungkin dalam waktu lima tahun yang akan menjadi usang,dan pada waktu mereka yang sedang menyelesaikan suatu program. Jadi untuk orang dewasa sekarang,cepatnya perubahan ketrampilan kejuruan bukan problem abstrak di masa mendatang tetapi suatu yang harus dihadapi sekarang ini.
            Renspons terhadap problem ini adalah banyak Negara mengembangkan kelas – kelas untuk orang dewasa. Walaupun di Amerika misalnya,program – program untuk melatih kembali para pekerja yang telah menjadi usang sebagai akibat perubahan dalam industri dan mereka dipekerjakan dengan hasil yang tidak memuaskan. Oleh karena itu,fakor keengganan melanda sebagian besar orang – orang yang seharusnya membutuhkan belajar yang baru,sedangkan minat terhadap belajar lanjutan ini hanya sebagian besar terdiri dari orang – orang yang telah memperoleh pendidikan terbaik sebelumnya. Para pekerja terlantar telah meenunjukkan bahwa perasaan kebodohan mereka dengan keharusan kembali ke bangku sekolah dan mereka juga menolak retrainini karena dipandang merendahkan martabat orang tua. Kenyataannya,nilai dan sikap mereka telah menghambat kesediaan untuk ikut serta dalam belajar baru dipandang penting untuk dunia sekarang. Problem ini juga muncul Karena dukungan oleh konsepsi tradisional sekolah seperti yang telah digambarkan pada pembahasan ini. Sistem penidikan hendaknya diorganisir untuk membantu belajar pada masa dewasa di masyarakat,karena itu harus dihancurkan pandangan yang menyatakan bahwa seseorang hanya belajar pada masa persekolahan formal antara 6 sampai 18 tahun. Jadi,secara radikal berarti perubahan pandangan mengenai kapan seseorang harus disekolahkan dan sekolah apa. Menurut Gelpi harus memerlukan politik pendidikan seumur hidup.
Kehidupan anak – anak awal
            Para ahli mengakui bahwa masa anak-anak awal merupakan fase perkembangan yang mempunyai karakteristik tersendiri bukan semata-mata masa penantian untuk memasuki periode anak-anak, remaja dan dewasa.
Masa anak-anak awal merupakan basis untuk perkembangan kejiwaan selanjutnya meksipun dalam tingkat tertentu pengalaman-pengalaman yang datang belakangan dapat memodifikasi perkembangan yang pondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman sebelumnya.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat .
Konsep pendidikan seumur hidup, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar pendidikan dari zaman kezaman. Apalagi bagi umat islam, jauh sebelum orang-orang barat mengangkatnya, Islam sudah mengenal pendidikan seumur hidup, sebagai mana dinyatakan oleh hadits Nabi SAW yang berbunyi:
اطلب العلم من المهد الى اللحد

Artinya: tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia.
           
Diskusi tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan yang dapat dijumpai dalam Worth Repot,telah dipersiapkan atas bantuan pemerintah Propinsi Alberta Canada Worth yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak anak di bawah umur 6 tahun dan menganjurkan prinsip system formal untuk pendidikan anak – anak awal ( ia disebut “Early  Ed” ). Dia mengemukakan 3 tujuan pokok “Early Ed” yang meliputi perlengkapan stimulasi yang bias membantu pemahaman identitas dan menciptakan pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek yang terpenting dalam anjuran Worth untuk kepentingan masa kini,secar khusus ia menolak pendapat tersebut yang menyatakan bahwa pendidikan anak – anak awal berarti harus memperpanjang ke bawah system yang ada pada sekarang ini. Fungsi utamanya bukan menyediakan persiapan pendidikan akademis.  Sebaliknya,ia menganjurkan pendidikan anak –anak awal yang digunakan sebagai fase pertama system pendidikan seumur hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan ketrampilan yang digunakan untuk mendayagunakan informasi dan symbol – symbol,meningkatkan apresiasi bermacam – macam mode ekspresi diri,memelihara keinginan dan kemampuan berpikir,menanamkan keyakinan setiap anak tentang kemampuan untuk belajar,serta membantu perasaan harga diri . Akhirnya,akan meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Sehingga,ia akan melihat pendidikan anak – anak awl meliputi variable yang kompleks dalam bidang kognitif,motivasi dan sosio afektif yang jika berkembang dengan cepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan demikian,ia akan mengakui betapa pentingnya pendidikan yang menuju ke usia sekolah konvensional yang digunakan sebagai salah satu fase pendidikan seumur hidup.


PERUBAHAN KONSEPTUALISASI PENDIDIKAN
Peranan Sekolah
            Meluasnya pengembangan sistem sekolah yang ditopang oleh Negara di Eropa dan Amerika Utara, khususnya pada fase permulaan praktis. Pekerjaan utama pendidikan berkenaan dengan belajar ketrampilan dasar tertentu yang terus menerus mengandung nilai praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan individu dan masyarakat (Lynch 1973 dan Sapta Dharma 1955). Lebih mutakhir lagi, nilai-nilai pendidikan telah berubah kearah penekanan yang lebih besar pada penguasaan ketrampilan dibidang social nilai-nilai estetika, kesehatan, pribadi dan sebagainya (Silva, 1973; Coles, 1972).
            Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, latihan-latihan di sekolah dilihat oleh beragam penulis sekarang ini sebagai proses perpindahan kedalam suatu bidang secara tradisional merupakan tugas dari keluarga (Aujaleu, 1973; Coleman, 1972).
            Walaupun terdapat hubungan nyata antara persekolahan dengan belajar (yang akan dibicarakan lebih banyak pada bab berikutnya), jelas bahwa belajar tidak terbatas pada periode yang dipergunakan di sekolah atau tidak pada usia-usia sekolah. Umpamanya, amat banyak orang-orang membicarakan masalah-masalah sosial dalam usia dewasa jauh setelah usia sekolah tradisional selesai. Serupa dengan itu, bayi yang belum mencapai usia sekolah dengan sukses melakukan sejumlah tugas belajar yang meliputi, umpamanya kecakapan bahasa ibu, mengontrol sistem motorik, dan sebagainya. Sebagian besar belajar ini hanya terjadi dalam kehidupan yang sangat awal (Murphy dan Smith, 1972). Meskipun orang-orang Eropa dan Amerika Utara masyarakatnya sangat maju sekali, penerapan dalam mempersiapkan fasilitas belajar sekarang ini bertumpu pada kepercayaan bahwa usia terbaik untuk belajar antara umur 6-18 tahun, dan persekolahan pada periode ini dapat memenuhi kebutuhan belajar formal yang diperlukannseluruh orang-orang untuk kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, pandangan ini seringkali diwarisi dari penguasa colonial dulu yang digunakan untuk Negara yang sedang berkembang.
            Juga tampak bahwa ketrampilan yang secara tradisional dikembangkan di sekolah sebagian besar dalam bidang kognitif, sedikit sekali ditekankan pada ketrampilan dalam bidang sosio afektif, etika, moral, emosi, dan perasan, seperti yang telah dikemukakan. Bahkan dalam bidang kognitif pun hanya ditekankan satu segi saja. Belajar, mengenali, mengingat dan memproduksi kembali informasi lebih ditekankan daripada menguasai metode mendapatkan informasi, ketrampilan dalam menetapkan tujuan, teknik untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan menghubung-hubungkan ketrampilan. Dalam waktu yang sama terlalu sedikit perhatian yang diberikan terhadap spectrum yang luas berkenaan dengan cara-cara individu berbeda dengan yang lainnya. Konsekuensinya, termasuk dalam standar persekolahan asumsi bahwa rentangan sempit pengalaman-pengalaman persekolahan cukup memadai untuk menjawab perbedaan belajar dalam segi kemampuan, kebutuhan terhadap pendidikan, sikap emosional terhadap persekolahan, perkembangan sosial dan kognitif, dan sebagainya. Analisi terakhir, peranan faktor-faktor yang telah disebutkan diatas dalam belajar disekolah telah dibuat oleh Bloom (1976). Khususnya, ia menekankan pentingnya perbedaan individu dalam variabel sosio afektif, dan kebutuhan akan pengajaran yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu.

Keunggulan persekolahan
            Persekolahan adalah pembelajaran di sekolah dengan aksentuasi pada penguasaan materi yang diajarkan. Untuk mengetahui derajat penguasaan, diadakan suatu sistem ujian berkala dan penguasaan yang berdasarkan hasil yang distandardisasikan oleh ujian tadi, menentukan akses ke jenjang pembelajaran yang lebih tinggi. Pengakuan terhadap penguasaan materi yang disebut pula sebagai pengetahuan di jenjang pembelajaran tertentu ditandai dengan ijazah serta gelar tertentu yang sepadan.
Dalam praksis persekolahan, materi yang dapat dikuasai anak didik dianggap sebagai “pengetahuan”. Anggapan ini menjadi sumber kelemahan persekolahan. Mengingat “pengetahuan” berarti “kekuatan” bagi pemiliknya, ada kecenderungan sekolah menjejali anak didik dengan sebanyak mungkin mata pelajaran, hingga menjadi beban yang tak sepadan dengan daya tangkap anak didik sesuai dengan usia fisiknya. Dia tidak lagi punya waktu yang cukup untuk bersantai/bermain-main yang juga merupakan suatu kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya, dia merasa jenuh, bosan, bahkan benci belajar/bersekolah.
            Berhubungan dengan dua assumsi diatas, dan barangkali muncul dari assumsi ketiga, bahwa sekolah adalah arena terpenting terjadinya proses belajar pada masa anak-anak awal dan adolescent. Dengan perkembangan korp guru-guru professional, secara tradisional diterima bahwa sekolah adalah tempat paling tepat untuk berlangsungnya belajar. Ini berakibat menurun atau mengabaikan metode-metode belajar dan lokasi-lokasi belajar yang terdapat diluar kelas. Dengan munculnya pandangan bahwa sekolah dan guru-guru sekolahlah yang paling penting, jika tidak hanya satu-satunya agen pendidikan dalam masyarakat modern posisi pendidikan dari sumber-sumber lainnya, seperti museum, perpustakaan, rumah tempat kerja, dan sebagainya telah diabaikan. Begitu juga dengan metode-metode belajar diluar sekolah diabaikan, seperti “self-directed learning”, “inte learning” (pelajar belajar dari sumber yang bersifat otoriter), dan yang mirip dengan pusat belajar luar sekolah. Sebagai akibat, belajar bukan bagian dari kehidupan sesungguhnya, tetapi sesuatu yang di lakukan di tempat istimewa dan terlepas dari jalur kehidupan. Hal serupa, tujuan utama persekolahan menyiapkan orang-orang untuk masa depan, belajar harus dipandang sebagai sesuatu yang relevansinya tipis sekali dengan kehidupan nyata pelajar. Ganjaran belajar sekarang secara tradisional dipandang terletak pada kehidupan yang semakin baik dimasa depan. Ini memisahkan belajar di sekolah dangan kehidupan nyata yang dengan rapi diringkas dalam statemen (Livingstone, 1943) bahwa “pemuda belajar tetapi tidak dapat berbuat; orang dewasa harus berbuat tetapi tidak ada kesempatan untuk belajar”.

Pandangan yang bertentangan antara integrasi vertical dan horizontal
            Konsepsi pendidikan tradisional jauh terlepas dari fakta-fakta kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang hanya berlangsung di sekolah di bawah para spesialis. Dalam tahun-tahun ini dua pandangan atau gagasan telah mendapat penekanan; :integrasi horisontal” dan “integrasi vertikal”.
            Argumentasi yang dikemukakan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan latar belakang penulis, tetapi seperangkat gagasan umum dapat dilihat. Kunci gagasan integrasi horisontal ialah bahwa pendidikan dalam pengertian belajar disekolah harus dikoordinasikan dengan komponen-komponen lain masyarakat yang memungkinkan terjadinya belajar. Contoh komponen-komponen masyarakat : rumah, klub dan masyarakat, tempat kerja, interaksi dalam kelompok sebaya, dan sebagainya. Lebih jauh lagi,  dikemukakan bahwa rentangan anggota masyarakat yang amat luas, bukan suatu rentetan yang tidak berhubungan, dan disiplin yang terpisah-pisah. Di antara beberapa pembahasan, masalah terakhir ini mengemukakan mata pelajaran di sekolah harus saling berhubungan erat. Jadi, integrasi horisontal pendidikan berarti jenis-jenis pengetahuan yang diperoleh diluar sekolah tidak terpisah dari pengetahuan yang diperoleh diluar sekolah tidak terpisah dari pengetahuan yang didapat di sekolah, proses berlangsungnya belajar tidak dapat dibagi menjadi proses di sekolah, seluruh pengetahuan harus dirajut terus-menerus.
            Tulisan-tulisan masa kini tentang pendidikan yang memuat kepercayaan bagaimana pendidikan harus diorganisir secara longitudinal melampaui batas waktu yang ada di sekolah sekarang. Dasar argumentasi ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa belajar sepanjang hidup, dan orang-orang dapat belajar dalam seluruh tingkatan usia. Pandangan ini memang sangat bertentangan dengan stereotype yang ada seperti “kamu tidak dapat mengajarkan tupu muslihatbaru untuk anjing yang sudah tua” dan banyak ungkapan dalam bidang ini, semakon meningkat pula penekanan dalam tulisan modern bahwa belajar di setiap tingkatan sebagian dari hasil belajar di masa dating. Karena itu dikemukakan bahwa interelasi belajar membujur melalui seluruh tingkatan usia secara khusus harus diakui dan dimanfaatkan dalam organisasi-organisasi pendidikan. Pandangan ini merupakan pengesahan prinsip intregasi vertikal.
            Argumentasi prinsip ini telah direview dan diringkas oleh Blakely (1972). Ia menopang pandangan bahwa tidak benar proses persekolahan dan pendidikan itu sama, ia mengemukakan bahwa proporsi belajar terbanyak dalam pendidikan berlangsung sebelum permulaan persekolahan atau berkelanjutan sesudah akhir masa persekolahan, bahwa persekolahan hanya salah satu pendidikan yang berpengaruh dalam kehidupan, dan dengan sendirinya persekolahan tidak mampu menyediakan seluruh pendidikan yang diperlikan dalam kehidupan. Untuk alasan-alasan ini ia mencela isolasi sekolah dan kepercayaan yang kuat terhadap sekolah formal sebagai sumber utama pengalaman pendidikan. Perubahan yang paling cepat dan abadi proses perkembangan personal terjadi sebelum persekolahan formal. Periode kehidupan yang terlama terletak jauh sesudah akhir masa persekolahan formal. Akhirnya           pengaruh yang terkuat terhadap p[ertumbuhan bahkan selama persekolahan formal, datang dari luar sekolah (seperti media, teman sebaya, keluarga, masyarakat dan sebagainya). Justru itu, diperlukanperubahan konsep hubungan antara persekolahan, belajar dan pendidikan.
            Tampak kemudian bahwa muncul konsep baru pendidikan. Khususnya konsep ini menentang kepercayaan tradisional terhadap keunggulan sekolah yang relatif terlepas dari kehidupan. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan integrasi jenis-jenis pengelolaan belajar “persekolahan” dengan jenis-jenis pengelolaan belajar informal yang terjadi seumur hidup, dengan atau tanpa sengaja dikelola dengan atau tanpa disertai kesadaran bahwa belajar sedang terjadi. Akhirnya, konsepsi yang sedang berubah menekankan sifat interaksi belajar dalam seluruh kehidupan, dan pentingnya belajar terus-menerus dengan baik di luar waktu persekolahan konvensional, jika ingin mencapai penyesuaian yang sukses terhadap perubahan yang cepat dalam kehidupan modern. Pandangan yang telah dibicarakan ini terletak dalam jiwa konsep pendidikan seumur hidup.



 

Daftar Pustaka

Blakely, R. (1972). The School and Continuing Education. (Paris UNESCO.
Cropley, A.J. (1972). Lifelong Education: A Psychological Analysis. UNESCO.
Dave, R.H. (1973). Foundation of Lifelong Education. Oxford: Pergamon.
Lengrand, P. (1970). An Introduction in Lifelong Education. Paris: UNESCO.
Lynch, K. (1997). "A Profile of Mature Students in Higher Education and An
Analysis of Equality Issues" in Morris, R. (ed.), Mature
Murphy, C. (1973). Adult Education in Ireland : A Report of a Committee Appointed
by the Minister for Education, Dublin: Stationery Office.
http://unesdoc.unesco.org/images/0000/000018/001801e.pdf diposting oleh unesco diunduh pada tanggal 6 desember 2012 pukul 08.18

 Suparmin, Drs. Mamin, M.Kes. 2010.  Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik. Jurnal Ilmiah SPIRIT. ISSN : 1411-8319 Vol. 10. No. 2. Tahun 2010

Coleman.1972. Review Of Education Research. Tintabinta.worpress.com diunduh tanggal 6 desember 2012 pukul 10.06 wib
Sapta Dharma. 1938. Experience and Education. Diposting dalam ikhsanu.blogspot.com pada tanggal 06 desember 2012 pukul 10.46
Mahmud, M. Dimyati. 1990. Psikologi : Suatu Pengantar. Yogyakarta : BPFE. Diposting oleh  fauzi dimuat dalam http://fauziapc.wordpress.com/2010/05/13/pendidikan-tradisional-dan-modern/ diunduh pada tanggal 2012-12-07 pukul 09.35
http://akhirman.blogspot.com/2009/10/makalah-peranan-sekolah-dalam.html ditulis oleh akhirman diunduh pada tanggal 2012-12-07 pukul 10.07
Dr. Moh. Roqib, M. Ag. 2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. LkiS
Edgar Faure(1972) ,"Learning To Be, The World of Educationn, Today and Tomorrow," yang diterbitkan oleh UNESCO
Johan Amos Comenius (1671). Artikel konsep pendidikan sepanjang hayat (psh),
posted by ikhsanudin dalam ikhsanu.blogspot.com , 07-12-2012 12:25
Suchodolski(1976). Budaya dan Pendidikan. Ditejemahkan oleh
http://blog.unsri.ac.id/riski02/pengantar-pendidikan-/pendidikan-seumur-hidup/mrdetail/14530/ diposting oleh Rizki Amalia Putri diunduh pada tanggal 07-12-2012 pukul 13.08
Dewey, Jhon. 1916. Democracy and Education. a
http://www.averroes.or.id/opinion/persekolahan-dan-pendidikan.html ditulis oleh By ave on26/06/2009 diunduh pada tanggal 07-12-2012 pukul 13.21 dengan sumber artikel Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne, http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8772

Report of the Century Foundation Task Force on the Common School, Divided
We Fail, (2002), p. 13 (citing James S. Coleman et al., Equality of Educational
Opportunity (Government Printing Office, 1966), p. 22). Diposting dalam http://www.thebridgeresearch.nl/pdf/060515_evidence_socio_eco_diversity.pdf
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed, alih bahasa Myra Bergman Ramos. Cet. I; London: Sheed and Ward, 1972.

Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

http://e-kalyanamitra.blogspot.com/2007/03/pendidikan-dan-reproduksi-sosial-sistem.html dipoting oleh e-kalyanamitra diunduh pada tanggal 07-12-2012 pukul 14.11
Dewey, John. (1905). The School and Society. Michigan : University of Michigan Library.
Dewey, John. (1905). The School and Society. Michigan : University of Michigan Library.
—————–. (1906). The Child and the Curriculum. Chicago : The University of Chicago Press















0 komentar:

Posting Komentar