MENDALAMI IMPLEMENTASI PLS DI BEBERAPA NEGARA
A. Pendidikan di Thailand
Dari hasil sensus tahun 1972, diketahui
bahwa usaha pemerintah dalam bidang pendidikan tidak begitu berhasil. Ini
dibuktikan, dengan fakta 36% anak umur 7 tahun ke atas yang dapat mengikuti
program pendidikan umum. Pendidikan adalah salah satu masalah yang dihadapi
oleh negri ini selain masalah lain yang komplek yaitu kesehatan, pangan,
pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan pendapatan. Sebelum masuknya
pengaruh darat di thailand, sistem
pendidikan disana sepenuhnya bersifat pendidikan luar sekolah. Pada tahun 1870,
raja chulalongkom merubah sisitem pendidikan dengan membuka sekolah baru dalam
bentuk pendidikan formal yang sebelumnya pendidikan dilakukan di kuil-kuil
budha oleh para pendeta yang mengajarkan menulis, membaca, berhitung dan
berfikir secara budhis, juga keterampilan latihan, magang kerja serta seni bela
diri.
Sejak tahun 1960, terjadi perubahan yang
sangat besar. Pemerintah melaksanakan program wajib belajar, bagi anak-anak
usia 4-7 tahun dengan banyak mendirikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama
di setiap provinsi. Pemerintah juga menyelenggarakan program pendidikan luar
sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan potensial warga
masyarakatnya. Menurut Aree sanchachawee, terdapat beberapa kelemahan dalam
sistem pendidikan formal:
1.
Kurang
dapat menarik perhatian, karena banyak bersifat akademik daripada sifat
fungsionalnya.
2.
Guru-guru
juga lebih banyak berorientasi pada
latar belakang pendidikan yang lebih banyak barsifat teoritis daripada sifat
praktisnya.
3.
Tugas
guru lebih banyak diarahkan kepada tujuan untuk mempersiapkan murid-muridnya
mampu menempuh ujian.
4.
Para
guru kurang memiliki keterampilan dan tidak diberikan latihan keterampilan
sehingga lebih banyak kaku daripada supelnya.
5.
Kebanyakan
guru lebih suka mengajar di kota daripada di desa.
6.
Ada
semacam stereotipe bahwa menjadi guru di desa, lebih rendah derajadnya daripada
dikota. Karena disamping mereka hanya berijazah latihan mengajar, mereka juga
diberikan gaji yang kecil.
7.
Sudah
tentu akibatya, semua guru yang bekerja didesa kurang memiliki kelincahan dalam
pergaulan dan kurang pendidikan sehingga mereka menghadapi berbagai macam
kesulitan hidup.
Pada tahun 1963, diperoleh catatan bahwa
23% dari jumlah penduduk diatas 15 tahun masih dalam keadaan buta aksara maka
dari itu dibuatlah pendidikan non formal untuk mengatasi masalah tersebut. Dari tahun 1963 sampai tahun 1970 dibuat
program pendidikan non formal untuk mengatasi masalah buta huruf tersebut. Baik
yang dilakukan pemerintah sendiri maupun unesco. Dalam kegiatanya, tidak cukup
banyak perubahan yang signifikan.
B. Pendidikan non formal di Equador
Di equador pendidikan membaca dan
menulis sangat dikembangkan, bahkan beberapa tahun lalu pendidikan formal yang
ada di Equador menempatkan kecakapan membaca dan menulis dalam prioritas yang
tinggi, sedangkan pengetahuan berhitung serta pengetahuan yang lain berada pada
tingkat yang rendah. Akibatnya muncul ketidak seimbangan kemamapuan membaca dan
menulis menjadi simbol dalam kehidupan sosial. Sementara itu kemajuan dalam berhitung
dan dalam pengetahuan yang lain berjalan lambat dan jauh ketinggalan. Maka
untuk mengejar ketinggalan itu pemerintah Equador mengadakan pemberantasan buta
angka dan diselenggarakan program pemberantasan buta aksara. Walaupun kegiatan
pemberantasan buta angka tidak sama dengan pemberantasan buta aksara tapi
keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Untuk mewujudkan program tersebut
sudah semestinya disediakan anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Dengan
anggaran yang serba terbatas dimulailah proyek tersebut. Meskipun awalnya
banyak menghasilkan kegagalan tetapi berkat ketekunan ketelitian dan kerja
keras ditemukan cara untuk memecahkan kesulitan dan menampilkan cara praktis
untuk mengajarkan pengetahuan berhitung. Maka dari itu dibuatlah metode pembelajaran
melalui permainan diantaranya adalah :
1. Permainan
bingo
Bertujuan
untuk mengajarkan cara penambahan atau cara perkalian pada peserta didik.
2. Permainan
Burro
Bertujuan
untuk mengenal dan mengembangkan konsep dan simbol hitungan perkalian.
3. Permainan
Parchisi
Bertujuan
untuk mengenal konsep dan simbol pembagian
4. Permainan
Roulette
Bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan penambahan dan perkalian angka,
5. Permainan
Ringtoss
Bertujuan
untuk belajar dasar-dasar ilmu pasti dari tingkat yang rendah ke tingkat
menengah.
6. Permainan
Pinball
Bertujuan
untuk memudahkan dalam mengerjakan soal berhitung baik menmbah maupun
mengkalikan.
7. Permainan
Soccer
Bertujuan
untuk mengadakan pertandingan berhitung mengurangi mengkalikan maupun membagi
juga mengerjakan hitungan campuran.
8. Permainan
Domino
Bertujuan
untuk mengerjakan ilmu hitung supaya warga dapat belajar mengetahui konsep dan
simbol ilmu hitung secara menyeluruh.
9. Permainan
Numberdice
Bertujuan
untuk menguasai sejumlah simbol dan dasar ilmu hitung.
10. Permainan
Market Rummy
Betujuan
untuk mengembangan kemampuan dasar dalam soal berhitung.
C. Laubach Literacy International Di
Syracuse
Lembaga Laubach Literacy International (L.L.I)
di kota Syracuse, di Amerika Serikat,
merupakan sebuah usaha swasta dan Bergerak di dalam kegiatan pendidikan luar
Sekolah. L.L.I adalah organisasi yang bersifat International telah tersebar di
beberapa Negara maju dan Negara berkembang.
Riwayat
Singkat L.L.I
Kajian organisasi L.L.I di bidang
pendidikan luar sekolah, terutama dalam kegiatan mengajar membaca dan menulis
kepada orang-orang dewasa yang memerlukannya. L.L.I di dirikan oleh seorang
pendeta agama Kristen berwarganegaraan Amerika Serikat yakni Dr. Frank C.Laubach pada tahun 1959. Kegiatan
ini di latar belakangi ketika Dr. Frank C. Laubach tinggal di Philipina dan
melihat banyak orang-orang disana yang tertinggal dari bangsa bangsa lain.
Di Sadari
oleh rasa kemanusian dan Filsafah hidup orang nasrani yang beranggapan “Lebih
banyak beramal dari mencari keuntungan”,
Dr. Frank C. Laubach kemudian
membantu orang-orang tersebut. Karena dasar itulah kegiatan tersebut
mendapat sambutan positif dari masyarakat baik di Amerika dan Negara-negara lain. Setelah Dr. Frank C. Laubach meninggal organisasi
tersebut kemudian di teruskan oleh anaknya yakni Robert S. Laubach seorang guru
besar di Universitas Syracuse.
Struktur Organisas
dan Pola Kerja LLI
Strucktur organisasinya di bagi menjadi 3 bagian yakni
Strucktur organisasinya di bagi menjadi 3 bagian yakni
1. General Management Office
2.
New
Reader Press Divison
3. Educational Program Division
General Management Office dan New Reader Press
Divison berada di Syracuse. Dan Educational Program Division tersebar di
belahan dunia.
1. Dalam tahun 1977-1978 yang lalu L.L.I telah melatih Guru- Guru Adult Litetacy Organization of Rhodesia (ALOR) untuk memerangi buta huruf.
1. Dalam tahun 1977-1978 yang lalu L.L.I telah melatih Guru- Guru Adult Litetacy Organization of Rhodesia (ALOR) untuk memerangi buta huruf.
2. Di Jerusalem membantu proyek Jerusalem Area Arabic
Literacy Project yang tidak hanya memberantas
buta huruf tetapi juga member pelatihan menyulam kepada perempuan di
pengungsian Palestina.
3. Di India, diberi kegiatan pendidikan yakni membaca dan menulis, menjahit dan kegiatan pengalengan/ pembuatan kaleng. Dan pembentukan kelompok beragama.
3. Di India, diberi kegiatan pendidikan yakni membaca dan menulis, menjahit dan kegiatan pengalengan/ pembuatan kaleng. Dan pembentukan kelompok beragama.
4. Di Barsil,
L.L.I membantu Departemento Missionario
the Alfabetizacao dalam hal kegiatan pemberantasan buta huruf dan peningkatan
taraf hidup rakyat.
5. Mexico berkerjasama dengan Amerika Serikat, Columbia
dan Panama dipandu oleh Alfabetizacion Laubach Asiciacion Civil (ALMAC). Menagani pemberantasan buta huruf melalui
kelompok belajar dengan menggunakan tutor sukarelawan.
6. Panama, melalui
Centro de Education Social Populer memberikan pendidikan koperasi, agronomi
serta tehknik- tehknik pertanian.
7.Columbia Centro
Laubach de Education Basic de Adultosdultos yang berkedudukan di Mendlin
mempunyai 13 macam program kegiatan yang dititikberatkan kepada kegiatan
membaca dan menulis serta mencetak surat kabar yang mudah dibaca oleh buta
huruf, memberikan bimbingan sosial dan
motivasi.
8. Amerika memberikan
tenaga sukarelawan dalam kegiatan pendidikan luar sekolah. Di daerah
Mississippi banyak ibu-ibu rumah tangga yang mengajarkan Bahasa Inggris kepada
orang-orang imigran Vietnam dan Arizona.
Di samping
kegiatan tersebut, L.L.I juga menerbitkan sejumlah buku pelajaran, buku
penuntun, buku paket, membuat pamphlet, booklet, leaflet, menerbitkan surat
kabar dan majalah.
Metode Pendidikan yang di
Pergunakan
L.L.I
dalam pendidikannya, memakai istilah metode dan teknik. Metode suatu cara yang
konsepsional bagaimana dapat mencapai sesuatu yang diharapkan sedangkan teknik
suatu cara orang dapat mencapai sesuatu yang diharapkan.
Untuk
melaksanakan kedua metode tersebut, diperlukan sukarelawan yang memiliki benyak
pengalaman. Di dalam mengidentifikasi kegiatan apa yang dibutuhkan perlu
diketahui beberapa hal :
1.
Siapa-siapa
sajakah pihak yang mendukung kegiatan tersebut, individu atau kelompok.
2.
Kegiatan
tersebut apakah sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau belum.
3.
Untuk
apa kegiatan itu dan apakah tujuannya.
4.
Dari
kegiatan-kegiatan tersebut manakah yang perlu diutamakan.
5.
Sudah
tersediakah konsep dan alat untuk kegiatan tersebut.
Tidak
hanya melaksanakan kegiatan, mengatur dan mengendalikan kegiatan, tetapi mereka
harus tahu pasti tujuan dari kegiatan tersebut baik itu jangka panjang maupun
jangka pendek. Tugas mereka pada pokoknya ditentukan pada 3 hal :
1.
Terciptanya
masyarakat yang damai, adil, dan makmur.
2.
Terciptanya
pribadi manusia yang serasi, utuh dan seimbang.
3.
Terciptanya
pribadi manusia yang bertuhan.
Semuanya
itu harus sudah dituangkan dalam sistem perencanaan yang matang. Sukarelawan
diberikan penataran serta bahan-bahan yang diperlukan. Kemudian mereka kembali ke daerah
masing-masing. Sebelum mereka
melaksanakan kegiatan, mereka melaksanakan pendekatan berdasarkan pendekatan
yang telah dipelajari. Mereka juga harus mengetahui kegiatan apa yang
dibutuhkan di daerah tersebut. L.L.I pusat di Syracuse selalu monitor aktifitas
sukarelawan yang berada di negara lain.
Maka
dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan nonformal tersebut, bentuk dan
jenisnya yang bermacam-macam selalu digali dan disusun dari “bawah” sesuai
dengan minat dan potensi yang ada. Banyak macam kegiatan yang muncul di antara
kegiatan pendidikan membaca dan menulis sebagai inti seluruh kegiatan yang
dilakukan serta menghimpun banyak warga belajar.
keren tulisannya. mengenai pendidikan luar sekolah juga.
BalasHapusBagus materinya.ijin copy.makasih
BalasHapusBagus...ijin copy ya..makasih😁
BalasHapus