Unduh PPt fromSlide Share PLS Bersinergi

Sabtu, 15 Desember 2012

MENDALAMI IMPLEMENTASI PLS DI BEBERAPA NEGARA



MENDALAMI IMPLEMENTASI PLS DI BEBERAPA NEGARA

A.  Pendidikan di Thailand

Dari hasil sensus tahun 1972, diketahui bahwa usaha pemerintah dalam bidang pendidikan tidak begitu berhasil. Ini dibuktikan, dengan fakta 36% anak umur 7 tahun ke atas yang dapat mengikuti program pendidikan umum. Pendidikan adalah salah satu masalah yang dihadapi oleh negri ini selain masalah lain yang komplek yaitu kesehatan, pangan, pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan pendapatan. Sebelum masuknya pengaruh  darat di thailand, sistem pendidikan disana sepenuhnya bersifat pendidikan luar sekolah. Pada tahun 1870, raja chulalongkom merubah sisitem pendidikan dengan membuka sekolah baru dalam bentuk pendidikan formal yang sebelumnya pendidikan dilakukan di kuil-kuil budha oleh para pendeta yang mengajarkan menulis, membaca, berhitung dan berfikir secara budhis, juga keterampilan latihan, magang kerja serta seni bela diri.
Sejak tahun 1960, terjadi perubahan yang sangat besar. Pemerintah melaksanakan program wajib belajar, bagi anak-anak usia 4-7 tahun dengan banyak mendirikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama di setiap provinsi. Pemerintah juga menyelenggarakan program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan potensial warga masyarakatnya. Menurut Aree sanchachawee, terdapat beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan formal:
1.      Kurang dapat menarik perhatian, karena banyak bersifat akademik daripada sifat fungsionalnya.
2.      Guru-guru juga lebih banyak berorientasi  pada latar belakang pendidikan yang lebih banyak barsifat teoritis daripada sifat praktisnya.
3.      Tugas guru lebih banyak diarahkan kepada tujuan untuk mempersiapkan murid-muridnya mampu menempuh ujian.
4.      Para guru kurang memiliki keterampilan dan tidak diberikan latihan keterampilan sehingga lebih banyak kaku daripada supelnya.
5.      Kebanyakan guru lebih suka mengajar di kota daripada di desa.
6.      Ada semacam stereotipe bahwa menjadi guru di desa, lebih rendah derajadnya daripada dikota. Karena disamping mereka hanya berijazah latihan mengajar, mereka juga diberikan gaji yang kecil.
7.      Sudah tentu akibatya, semua guru yang bekerja didesa kurang memiliki kelincahan dalam pergaulan dan kurang pendidikan sehingga mereka menghadapi berbagai macam kesulitan hidup.

Pada tahun 1963, diperoleh catatan bahwa 23% dari jumlah penduduk diatas 15 tahun masih dalam keadaan buta aksara maka dari itu dibuatlah pendidikan non formal untuk mengatasi masalah tersebut.  Dari tahun 1963 sampai tahun 1970 dibuat program pendidikan non formal untuk mengatasi masalah buta huruf tersebut. Baik yang dilakukan pemerintah sendiri maupun unesco. Dalam kegiatanya, tidak cukup banyak perubahan yang signifikan.

B.  Pendidikan non formal di Equador
Di equador pendidikan membaca dan menulis sangat dikembangkan, bahkan beberapa tahun lalu pendidikan formal yang ada di Equador menempatkan kecakapan membaca dan menulis dalam prioritas yang tinggi, sedangkan pengetahuan berhitung serta pengetahuan yang lain berada pada tingkat yang rendah. Akibatnya muncul ketidak seimbangan kemamapuan membaca dan menulis menjadi simbol dalam kehidupan sosial. Sementara itu kemajuan dalam berhitung dan dalam pengetahuan yang lain berjalan lambat dan jauh ketinggalan. Maka untuk mengejar ketinggalan itu pemerintah Equador mengadakan pemberantasan buta angka dan diselenggarakan program pemberantasan buta aksara. Walaupun kegiatan pemberantasan buta angka tidak sama dengan pemberantasan buta aksara tapi keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Untuk mewujudkan program tersebut sudah semestinya disediakan anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Dengan anggaran yang serba terbatas dimulailah proyek tersebut. Meskipun awalnya banyak menghasilkan kegagalan tetapi berkat ketekunan ketelitian dan kerja keras ditemukan cara untuk memecahkan kesulitan dan menampilkan cara praktis untuk mengajarkan pengetahuan berhitung. Maka dari itu dibuatlah metode pembelajaran melalui permainan diantaranya adalah :
1.      Permainan bingo
Bertujuan untuk mengajarkan cara penambahan atau cara perkalian pada peserta didik.
2.      Permainan Burro
Bertujuan untuk mengenal dan mengembangkan konsep dan simbol hitungan perkalian.
3.      Permainan Parchisi
Bertujuan untuk mengenal konsep dan simbol pembagian
4.      Permainan Roulette
Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penambahan dan perkalian angka,
5.      Permainan Ringtoss
Bertujuan untuk belajar dasar-dasar ilmu pasti dari tingkat yang rendah ke tingkat menengah.
6.      Permainan Pinball
Bertujuan untuk memudahkan dalam mengerjakan soal berhitung baik menmbah maupun mengkalikan.
7.      Permainan Soccer
Bertujuan untuk mengadakan pertandingan berhitung mengurangi mengkalikan maupun membagi juga mengerjakan hitungan campuran.
8.      Permainan Domino
Bertujuan untuk mengerjakan ilmu hitung supaya warga dapat belajar mengetahui konsep dan simbol ilmu hitung secara menyeluruh.
9.      Permainan Numberdice
Bertujuan untuk menguasai sejumlah simbol dan dasar ilmu hitung.
10. Permainan Market Rummy
Betujuan untuk mengembangan kemampuan dasar dalam soal berhitung.
C. Laubach Literacy International Di Syracuse
 Lembaga Laubach Literacy International (L.L.I) di kota Syracuse,  di Amerika Serikat, merupakan sebuah usaha swasta dan Bergerak di dalam kegiatan pendidikan luar Sekolah. L.L.I adalah organisasi yang bersifat International telah tersebar di beberapa Negara maju dan Negara berkembang.
Riwayat Singkat L.L.I
Kajian organisasi L.L.I di bidang pendidikan luar sekolah, terutama dalam kegiatan mengajar membaca dan menulis kepada orang-orang dewasa yang memerlukannya. L.L.I di dirikan oleh seorang pendeta agama Kristen berwarganegaraan Amerika Serikat yakni Dr. Frank C.Laubach pada tahun 1959.  Kegiatan ini di latar belakangi ketika Dr. Frank C. Laubach tinggal di Philipina dan melihat banyak orang-orang disana yang tertinggal dari bangsa bangsa lain.
Di Sadari oleh rasa kemanusian dan Filsafah hidup orang nasrani yang beranggapan “Lebih banyak beramal dari mencari keuntungan”,  Dr. Frank C. Laubach kemudian  membantu orang-orang tersebut. Karena dasar itulah kegiatan tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat baik di Amerika dan Negara-negara lain. Setelah Dr. Frank C. Laubach meninggal organisasi tersebut kemudian di teruskan oleh anaknya yakni Robert S. Laubach seorang guru besar di Universitas Syracuse.
Struktur Organisas dan Pola Kerja LLI
Strucktur organisasinya di bagi menjadi 3 bagian yakni
1.      General Management Office
2.      New Reader Press Divison
3.       Educational Program Division

 General Management Office dan New Reader Press Divison berada di Syracuse. Dan Educational Program Division tersebar di belahan dunia.
1. Dalam tahun 1977-1978 yang lalu L.L.I telah melatih Guru- G
uru Adult Litetacy Organization  of  Rhodesia (ALOR) untuk memerangi buta huruf.
2. Di Jerusalem  membantu proyek Jerusalem Area Arabic Literacy Project yang tidak hanya  memberantas buta huruf tetapi juga member pelatihan menyulam kepada perempuan di pengungsian Palestina.
3. Di India, diberi kegiatan pendidikan yakni membaca dan menulis, menjahit dan kegiatan pengalengan/ pembuatan kaleng. Dan pembentukan kelompok beragama.
4. Di Barsil, L.L.I  membantu Departemento Missionario the Alfabetizacao dalam hal kegiatan pemberantasan buta huruf dan peningkatan taraf hidup rakyat.
5. Mexico  berkerjasama dengan Amerika Serikat, Columbia dan Panama dipandu oleh Alfabetizacion Laubach Asiciacion Civil (ALMAC).  Menagani pemberantasan buta huruf melalui kelompok belajar dengan menggunakan tutor sukarelawan.
6. Panama, melalui Centro de Education Social Populer memberikan pendidikan koperasi, agronomi serta tehknik- tehknik pertanian.
7.Columbia Centro Laubach de Education Basic de Adultosdultos yang berkedudukan di Mendlin mempunyai 13 macam program kegiatan yang dititikberatkan kepada kegiatan membaca dan menulis serta mencetak surat kabar yang mudah dibaca oleh buta huruf,  memberikan bimbingan sosial dan motivasi.
8. Amerika memberikan tenaga sukarelawan dalam kegiatan pendidikan luar sekolah. Di daerah Mississippi banyak ibu-ibu rumah tangga yang mengajarkan Bahasa Inggris kepada orang-orang imigran Vietnam dan Arizona.
Di samping kegiatan tersebut, L.L.I juga menerbitkan sejumlah buku pelajaran, buku penuntun, buku paket, membuat pamphlet, booklet, leaflet, menerbitkan surat kabar dan majalah.

Metode Pendidikan yang di Pergunakan
L.L.I dalam pendidikannya, memakai istilah metode dan teknik. Metode suatu cara yang konsepsional bagaimana dapat mencapai sesuatu yang diharapkan sedangkan teknik suatu cara orang dapat mencapai sesuatu yang diharapkan.
Untuk melaksanakan kedua metode tersebut, diperlukan sukarelawan yang memiliki benyak pengalaman. Di dalam mengidentifikasi kegiatan apa yang dibutuhkan perlu diketahui beberapa hal :
1.      Siapa-siapa sajakah pihak yang mendukung kegiatan tersebut, individu atau kelompok.
2.      Kegiatan tersebut apakah sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau belum.
3.      Untuk apa kegiatan itu dan apakah tujuannya.
4.      Dari kegiatan-kegiatan tersebut manakah yang perlu diutamakan.
5.      Sudah tersediakah konsep dan alat untuk kegiatan tersebut.

Tidak hanya melaksanakan kegiatan, mengatur dan mengendalikan kegiatan, tetapi mereka harus tahu pasti tujuan dari kegiatan tersebut baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Tugas mereka pada pokoknya ditentukan pada 3 hal :
1.      Terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan makmur.
2.      Terciptanya pribadi manusia yang serasi, utuh dan seimbang.
3.      Terciptanya pribadi manusia yang bertuhan.

Semuanya itu harus sudah dituangkan dalam sistem perencanaan yang matang. Sukarelawan diberikan penataran serta bahan-bahan yang diperlukan.  Kemudian mereka kembali ke daerah masing-masing. Sebelum  mereka melaksanakan kegiatan, mereka melaksanakan pendekatan berdasarkan pendekatan yang telah dipelajari. Mereka juga harus mengetahui kegiatan apa yang dibutuhkan di daerah tersebut. L.L.I pusat di Syracuse selalu monitor aktifitas sukarelawan yang berada di negara lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan nonformal tersebut, bentuk dan jenisnya yang bermacam-macam selalu digali dan disusun dari “bawah” sesuai dengan minat dan potensi yang ada. Banyak macam kegiatan yang muncul di antara kegiatan pendidikan membaca dan menulis sebagai inti seluruh kegiatan yang dilakukan serta menghimpun banyak warga belajar.

3 komentar: