Mungkin Karena Sudah Tua
Suasana bus jurusan Jepara-Semarang kala itu
sepi. Aku memasuki bus dan hanya melihat dua penumpang wanita, satunya memakai
kacamata hitam besar dan berdandan cukup menor. Aku duduk dibaris sebelahnya
bersama Ibuku kakakku ada dibangku belakang. Total penumpang sore itu lima
orang.
Berat rasanya aku pulang ke rumah. Entahlah
aku sendiri kurang tau pasti mungkin karena ketika berada di rumah jauh dari
pola kebiasaan agamis yang teratur tidak seperti di pondok. Waktu libur dua minggu,
aku sibuk membayangkan apa yang akan aku kerjakan di rumah nanti? Mungkin juga
aku enggan berada di rumah karena rumah selalu punya daya untuk menyeretku
kembali ke masa lalu. Ingin ku habiskan saja waktu liburanku ke rumah seorang
teman di Tegal. Ahh, sudah kuutarakan pun Ibu tidak mengijinkan tanpa alasan
yang jelas. Bus melaju dengan kencang, dari terminal Terboyo Semarang hingga ke
Jepara jumlah penumpang tetap sama tidak bertambah.
Sekitar pukul 17.35 WIB kami sampai dirumah.
Badanku capek dan lemas rasanya, bukan karena aku seharian memasak di pondok
bukan pula karena perjalanan yang jauh. Rumah seakan punya energy tersendiri
untuk melemahkanku, melemahkan semangatku, melemahkan kesabaranku, melemahkan
tenagaku. Rumah entah sejak kapan aku merasa seperti ini tiap ada di rumah, ahh
aku ingat barang kali semenjak perseteruanku dengan Ibu tahun lalu. Perseteruan
yang disebabkan oleh harapan ibu dan harapanku akan seorang pria yang tidak
sejalan. Kemudian aku mengambil tindakan nekat, memberontak. Aku nekat menjalin
hubungan istimewa dengan seorang teman satu organisasi. Cintakah aku ? entahlah
aku tak tau. Makna cinta sendiri itu pun sebenarnya aku tak paham. Waktu itu
yang aku pikirkan adalah aku ingin mengalihkan pikiranku dari berbagai masalah
yang menjeratku di rumah. Dia sebagai pelampiasanku? Tidak juga, buktinya aku
merasa nyaman dekat dengannya. Ahh, aku masih terlalu kerdil untuk menafsirkan
arti cinta sesungguhnya.
Dua hari berjalanan, waktuku di rumah rasanya
cuma aku habisakan dengan sia-sia. Aku bermalas-malasan di kamar. Hujan yang
selalu turun semakin menambah kemalasanku. Membantu pekerjaan rumah? Memasak?
Ibu selalu memasak di warung. Aku membantu memasak di warung? Bertemu dengan
pria idaman Ibu? Ohh, lebih baik aku tidur kamar.
Malam itu aku dan Ibu berada di ruang makan
menikmati hidangan makan malam bersama. Aku mengambil lauk berupa oseng-oseng
mie tempe.
“Buk, tanggal 23-25 aku mau ke sekolah
menginap.”
“Owh, kamu tidak betah ya berada di rumah?
Enakan di Semarang ya?”
“Tidak Bu, bukan mau ke Semarang tapi ke
SMKI.”
“Sama siapa Yuli?”
“Sama temen-temen Pramuka.”
Sendok yang digunakan Ibu untuk makan
berhenti di udara. Tatapan mata yang ia tujukan padaku seketika berubah sinis.
“Pramuka? Kamu masih ada hubungan ya sama
dia? Gak usah ikut. Ngapain ikut begituan.”
Hatiku remuk.
“Tidak, sudah tidak ada hubungan lagi.”
Aku pergi. Piring makan dan gelasku tak urung
ikut kubawa pergi juga. Dikamar aku mengabiskan sisa makananku diselingi air
mata.
Aku kecewa. Mengapa Ibu harus mengkait-kaitkan
Pramuka dengan mantanku? Pramuka sekolah pula. Padahal tidak ada hubungannya.
Aku sudah mengikuti perintah ibu, berhenti berhubungan dengan mantanku, tidak
mengikuti Pramuka di kampus, mondok pun sudah aku lakukan. Apa lagi? Ibu tetap
tidak mempercayaiku. Aku sakit hati. Ucapan Ibu menyeretku kembali ke kenangan
setahun yang lalu. Rasa bersalah ini. Aku ingin melupakannya, tak ingin
mengungkitnya tak ingin lagi berurusan dengannya. Ibu, dari dulu tidak pernah
mampu membaca hatiku ini. Ibu dari dulu tidak memahami karakterku. Bahkan Ibu
tidak pernah peduli akan isak tangisku. Aku seolah menjadi pribadi yang berbeda
ketika dirumah. Kata orang aku cukup penyabar, tapi di rumah aku merasa menjadi
pribadi tidak sabaran. Kata orang aku cukup rajin, tapi di rumah aku menjadi
pribadi yang pemalas. Aku mengutuk tatanan kehidupan di rumah. Dengan polanya
yang sesuka dia, dia tidak mengikat penghuni rumah dengan kebiasan agamis,
sikap terbuka saling cerita. Sekat kehidupan itu makin jelas terasa bagiku,
manakala ibu sering menghabiskan waktunya di warung, kakak bekerja. Rumah hanya
terasa hidup di ruang makan manakala semua anggota keluarga berkumpul untuk
makan bersama. Selebihnya sunyi. Dari aku memang tertutup, apapun selalu aku
pendam sendiri. Aku tak suka berbagi kedukaan dan masa lalu yang tidak aku
sukai kepada orang lain. Menceritakannya pada orang, hanya akan menambah
bebanku saja. Aku mengibaratkannya seperti tape recorder. Semakin banyak aku
bercerita pada orang, tape recorder yang merekam kisahku akan makin banyak. Tak
menutup kemungkinan tape recorder itu sewaktu-waktu bisa memutar lagi kaset
kisahku. Kisah yang ingin aku lupakan. Aku terseret kembali ke arus masa lalu.
Tape recorder itu terus mengulang ulang-ulang rekamanku. Memenuhi seluruh
otakku. Menghadapi ini timbul pertentangan dalam diriku. Satu pihak menyalahkan
Ibu secara bulat. Di pihak lain kesalahan ditimpahkan pada diriku sendiri. Aku
yang tidak bisa bersikap lebih sabar. Aku yang tidak bisa merubah pola ini
dimulai dari diriku sendiri. Sebagai seorang anak aku semestinya maklum Ibu
sudah tua usianya sudah 65tahun, Aku seharusnya maklum ibu tidak tamat SD dan
aku seharusnya maklum pergaulan ibu itu sempit. Jadinya ya Ibu seperti ini. Sering
kali aku merasa iri pada anak yang memiliki orang tua masih muda, tentu mereka
akan lebih merasa dipahami daripada aku yang memiliki orang tua yang sudah tua.
Malam itu aku mencoba mencari ketenangan
dengan bersepeda. Aku kayuh sepedaku. Malam itu gelap, mungkin karena mendung.
Memandang ke depan yang terlihat seperti berujung pada gelap. Mungkin seperti
itulah keadaan hatiku. Aku tidak tau apa atau siapa yang mengarahkan aku. Aku
akhirnya mengayuh sepedaku ke Masjid Agung. Aku sholat isyak disana dan membaca
Al Quran. Ketenangan kudapatkan kala itu. Apakah ini yang selama ini aku cari?
Dekat denganNya? Menceritakan semua isi hatiku padaNya? Jauh dari kemrungsung
hati.
Satu pihak dihatiku terkalahkan. Tak
sepatutnya aku menyalahkan Ibu. Semua masalah ada pada diriku dan hanya pada
diriku pulalah ada penyelesaiannya. Aku yang harus maklum dengan karakter ibuku
mungkin karena sudah tua. Yah mungkin karena sudah tua. Jadi aku yang masih
mudah semestinya lebih bisa bersikap sabar. Aku juga semestinya bersyukur kamu
masih punya seorang ibu. Bagaimana jika Ayah mengajak Ibu pergi serta kea lam
baka, kamu jadinya tidak punya orang tua.
Aku pulang dengan membawa serta rasa
bersalah. Malam ini aku tidur sendirian tidak ditemani ibu. Penyesalan itu
semakin keras menggodam hatiku. Aku tidak bisa tidur, aku merasa tidak tenang.
Hari berikutnya. Terbukti kasih Ibu lebih
dalam dari kasih seorang anak.
Sore itu, menjelang adzan magrib. Aku duduk
di ruang makan, menselonjorkan tangan dan menyandarkan kepala padanya. Aku
lemas. Aku sibuk memikirkan kapan hubunganku dengan Ibu bisa membaik lagi.
“Udah buwat minum buat berbuka? Mau teh atau
susu? Tak buatin ibu?”
“Tidak bu, nanti aku buwat minum sendiri
saja.”
Begitu Ibu dengan kelapangan dadanya memulai
menyapaku duluan. Setelah selama dua hari yang lalu tak terucap dari kami
sepatah katapun. Ibu yang kemarin mungkin menganggap aku masih marah sebab
kejadian itu segan untuk mengusikku. Sedangkan aku? Aku terlalu egois untuk
memulainya terlalu enggan untuk menyapa duluan. Begitulah kasih Ibu. Meski di
suatu waktu Ibu akan kembali mengingatkanku dengan masa laluku, tapi Ibu
pulalah dengan kasihnya akan menyapaku duluan menanyakan kabarku. Jadi aku
wajib maklum jika Ibu mengucapkan kata yang tidak enak untukku, mungkin karena
sudah tua.
20 Februari 2013
0 komentar:
Posting Komentar