Pages - Menu

Minggu, 20 Januari 2013

BAB 7 PARADIGMA DAN TEORI-TEORI ANTROPOLOGI



 BAB 7
PARADIGMA DAN TEORI-TEORI ANTROPOLOGI
Standar Kompetensi :
Memahami paradigma dan teori antropologi
Kompetensi Dasar :
Menjelaskan konsep paradigma dan teori antropologi
Indikator Pencapaian Kompetensi :
1.    Menjelaskan paradigma dan teori antropologi.
2.    Menjelaskan teori evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan
Tujuan Pembelajaran:
1.    Menjelaskan paradigma dan teori antropologi.
2.    Menjelaskan teori evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan

Materi Pokok:
1.      Paradigma Ilmiah
Thomas Kuhn (1972) menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi yang berbeda : pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat (konstelasi) keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki yang digunakan sebagai model atau contoh yang dapat menggantikan model atau cara lain sebagai landasan bagi pemecahan atas teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal yang sering disebut dengan eksemplar. Scholte (1980:76-77) mengatakan bahwa arti penting dari suatu posisi paradigma akan mengemuka tatkala kita berhadapan dengan “fakta”. Jadi, paradigma terdiri dari asumsi dan prinsip ontologis dan epistemologi khusus yang meliputi pula prinsip-prinsip teoretis (Kuhn, 1972:78). Suatu disiplin imiah dapat mencakup satu atau lebih paradigma. Suatu pradigma dikatakan mengalami kemajuan jika paradigma tersebut dapat mengantisipasi sesuatu yang tidak dapat diantisipasi oleh paradigma lain (Lakartos, 1974). Kuhn setuju dengan hal ini karena ia berpendapat bahwa paradigma yang lebih baik yaitu paradigma yang memiliki ketepatan, ruang lingkup, sinklisitas, guna, dan sebagainya yang lebih daripada paradigma yang lain.
Tentu saja tidak semua paradigma tidak sepadan. Jika dua paradigma sejalan mengenai hakikat masalah yang akan dipecahkan dan mengenai cara yang sesuai untuk memecahkan masalah itu, maka keduanya dikatakan sepadan. Dengan demikian, kesepadanan paradigma adalah hal yang relatif. Dua paradigma mungkin sejalan dalam hal masalah yang akan dikaji, tetapi mungkin tidak sejalan dalam hal cara memecahkan masalah. Jadi dalam ilmu pengetahuan, yang berbeda dari teologi, pembandingan kritis suatu teori dengan teori yang lain (revalitas) adalah selalu mungkin.

2.      Paradigma Antropologi
Semua penelitian antropologi dilakukan dalam paradigma tertentu karena kegiatan ilmiah apapun tentu menuntut definisi suatu masalah penelitian dan identifikasi prosedur serta cara yang sesuai untuk memecahkan masalah. Namun, tidak semua penelitian adalah paradigmatik secara eksplisit. Pembandingan paradigma-paradigma dapat mendorong untuk memilih suatu paradigma, sedangkan paradigma tertentu mungkin akan digantikan oleh paradigma lain dengan landasan perkembangan tertentu. Barangkali takan ada paradigma yang terbaik; yang terpenting bahwa suatu paradigma mungkin lebih baik daripada paradigma lain, tetapi tidak ada paradigma yang dapat menganalisis semua kemungkinan.
         Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divergensi teori yang semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya teus berlangsung. Tidak ada kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66)
Evolusionisme klasik, paradigma ini beupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
Difusionisme, paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
Partikularisme, paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnogafi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
Struktural-Fungsionalisme, paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sisitem
Antropologi Psikologi, mengekspresikan dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia yakni, struktur dari poses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya.
Materalisme Dialektik paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan system sosial budaya.
Cultural Materialisme paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
Etnosains, paradigma ini juga disebut “etnografi baru”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut yerkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiriuntuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
Antropologi Simbolik, paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya.
Sosiobilogi, paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.
3.      Teori-teori Antropologi
Keesing (1974: 74-79) mengidentifikasi empat pendekatan terhadap masalah kebudayaan. Pertama, kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang fungsi primernya adalah menyesuaikan masyarakat manusia dengan lingkungannya. Kedua, kebudayaan merupakan sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan. Ketiga, kebudayaan merupakan sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Keempat. Kebudayaan merupakan sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Seiring makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya penggunaan akal yang dimiliki manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Model pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan ‘tradisional’ sebelum dalam kajian budaya (antropologi) paling awal adalah teori evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan. Kedua teori ini muncul dengan mengusung karakteristiknya sendiri-sendiri dan masing-masing mengklaim sebagai paradigma yang seharusnya dipakai untuk melakukan kajian terhadap manusia dan perjalanan perkembangannya.
a. Teori Evolusi Kebudayaan
     Teori evolusi kebudayaan manusia ini dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.  Dalam buku yang ditulis tahun 1874, Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah savagery, barbarian dan civilization. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.
Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika.
Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun 1877 tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang melalui lima tingkatan, yaitu:
a.         Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,
b.        Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,
c.         Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan masih berprofesi sebagai pemburu,
d.        Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,
e.         Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban purba, dan era masa kini.
Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori evolusi memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie White dan kedua, teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian Steward.
Teori pertama, White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C  merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White, yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan transformasi.
Teori kedua diartikan Steward sebagai teori multilinier. Terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.
Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan mengenai teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah V. Gordon Childe yang merupakan arkeologis Inggris. Untuk memaparkan pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam teori evolusi menunjukkan kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia. Dari benda-benda yang dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa waktu menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan hewan, irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.
Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan manusia menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase selanjutnya, seperti dari pemburu-peramu yang berpindah-pindah (nomadik) yang berada pada masa Paleolitik menjadi seorang manusia yang bercocok tanam (holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di satu tempat sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas masehi para ahli antropologo yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

b. Teori Difusi Kebudayaan
     Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
      Salah satunya yaitu model penelitian Franz Boas yang sering dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.
3.       Peran kebudayaan  sebagai faktor kemajuan pembangunan
Peran budaya sebagai faktor kemajuan pembangunan suatu bangsa dapat dijelaskan berdasarkan teori –teori pembangunan sumber daya manusia menurut Visi Culture Studies
            Pembangunan sumber daya manusia dalam litratur ilmu ekonomi dan ilmu administrasi ,yang dilakukan dalam konteks pembangunan,memandang manusia sebagai salah satu faktor pembangunan,memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi di luar sumber daya alam,modal ,teknologi dan klembagaan (salim1979 ;Hidayat 1979 ;Effendi 1992).Pembangunan sumber daya manusia dalam konteks ilmu-ilmu tersebut diartikan sebagai upaya-upaya tersebut diartikan secara umum sebagai upaya-upaya untuk  meningkatkan daya produksi manusia.Manusia yang berdaya produksi tinggi disebut sebagai manusia yang berkualitas tinggi.
           Satu lagi faktor yang juga sering disebut sebagai sarjana sarjana sebagai penentu kualitas sumber daya manusia adalah mentalitas manusia.    Faktor mentalitas atau factor psikokultural ini , oleh sebagian orang disebut sebagai faktor ‘’manusia’’ atau human factor. yang terdiri atas attitudes,values,dan beliefs(sikap,nilai,dan kepercayaan).Faktor ini harus dilihat sebagai daya psikokultural.Yang dimaksud dengan daya psikokultural di sini adlah kemampuan mental,kemampuan akal budi,atau kemampuan mind sekumpulan individu dalam mendorong diri mereka untuk berproduksi lebih tinggi.

Beberapa Teori tentang Peranan Daya Psikokultural
Max Weber
                 Max Weber adalah seorang yang selalu disebut sebagai pelopor kajian tentang pengaruh daya psikokultural dalam perkembangan ekonomi suatu bangsa.Bagi Weber,salah satu faktor penting dalam perkembangan ekonomi kapitalistis justru terletak pada aspek superstruktur,yaitu daya psikokultural.
           Ia menggunakan data hasil penelitiannya sebagai dasar ia mengemukakan bahwa agama sangat berperan penting dalam kemajuan ekonomi suatu negara .Seperti contohnya menurut Weber adalah seperangkat nilai dan sikap yang terkandung dalam etika Protestan yakni kerja keras,hemat,jujur,rasinalitas dan sederhana serta pemenuhan kewajiban yang diletakan di atas bahu seorang individu oleh kedudukannya dalam dunia ini juga tidak ketinggalan kepercayaan bahwa Tuhan telah memberkahi sejumlah orang kecil. Sebaliknya Weber memandang aspek ‘’irrationality’’ pada agama-agama di timur (Hindu, Budha dan lain-lain sebagai faktor pengahambat pembangunan. Ketaatan dan kesitiaan terhadap keluarga dan orang tua  telah mendominasi pemikiran dan tindakan penganut kepercayaan-kepercayaan Timur ini, khususnya pada pengikut Konfisius. Bersama dengan ketiadaan etika sosial dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, kesetiaan terhadap keluarga dan marga ini membawa ketidakjujuran ketika berhubungan dengan orang-orang di luar anggota keluarga. Aspek psikokultural yang seperti ini akan menghambat kemajuan kegiatan ekonomi.
Arthur lewis
           Arthur Lewis menghubungkan faktor-faktor psikokultural yang mendorong kemunculan para wira usaha (entrepreneur) dengan masalah lingkungan sosial dan politik yangsubur bagi pertumbuhan ekonomi. Arthur Lewis memandang nilai dan sikap yang mempertahankan institusi sosial negatif seperti perbudakan, kasta, rasialis,dan lain-lain, adalah sangat menghambat bagi pertumbuhan ekonomi. Arthur Lewis juga memperhatikan faktor ajaran keagamaan yang mendorong penganutnya untuk mengejar pencapaian yang tinggi.
Everret Hagen
           Perkembangan ekonomi ini dipelopori oleh sejumlah individu dari suatu kelompok social yang direndahkan secara khas. Ciri-ciri social yang menonjol pada kelompok ini adalah bahwa pada masa lampau mereka mempunyai kedudukan yang cukup terpandang dalam masyarakat. Cirri-ciri psikokultural utama dari kelompok ini terlihat dalam perilaku inovatif. Inovasi memerlukan kreatifitas. Manusia yang kreatif adalah seseorang yang selalu siap dalam mengamati dunia sekelilingnya dan percaya akan evaluasi yang dibuatnya terhadap pengalaman hidupnya.
Gunnar Myrdal
           Myrdal menyesalkan kurangnya perhatian dan penelitian antropologi sosiologi, dan psikologi terhadap faktor-faktor  psikokultural ini. Pada umumnya orang Asia Selatan, sebagaimana yang dilihat oleh Mrdal, lebi mementingkan hal-hal spiritual daripada hal-hal material dibandingkan dengan orang Barat. Mereka lebih memikirkan dunia baka,tidak peduli pada diri sendiri, acuh terhadap kemakmuran dan kenikmatan hidup material. Sikap yang sangat tidak toleran terhadap manusia lain dilahirkan dan dibina oleh system kasta dan kesombongan golongan berpendidikan tinggi terhadap kelas bawah. Keadaan masyarakat yang penuh dengan sikap dan pandangan yang seperti ini jelas tidak kondusif untuk pembanguna ekonomi bangsa.
       David McClelland
           David McClelland yang mengatakan bahwa satu jenis daya mentalitas seseorang yang disebutnya sebagai “ n achievement”. Dengan “n achievement” orang bertindak tidak sekedar mengikuti tradisi yang telah digariskan oleh nenek moyang, tapi bertindak menurut cara baru yang mereka rasa akan member hasil yang lebih baik dan member manfaat unutk lebih banyak orang.
Alex Inkeles
           Alex Inkeles percaya bahwa kehidupan kehidupan social adalah dijalankan dalam sebuah system, karena itu untuk membangun manusia modern orang tidak dapat hanya memusatkan pengertian pada satu fakto saja, tapi perlu pembangunan pada keseluruhan yang kompleks. Factor yang kompleks tersebut terdapat beberapa factor kunci yaitu pendidikan, lingkungan hidup di perkotaan, komunikasi massa, birokrasi Negara dan organisasi modern.

KONDISI PSIKOKULTURAL MASYARAKAT YANG TIDAK  PRODUKTIF
a). Tidak ada orang yang mendahulukan kepentingan kelompok, kecuali kepentingannya sendir sudah terpenuhi.
b). Hanya para pegawai negeri yang peduli akan masalah umum. Orang biasa tidak peduli. Hanya ada sedikit pengawasan atas kegiatan pegawai negeri.
c). Organisasi sulit untuk dibangun dan dibina karena hanya mementingkan kepentingan sendiri.
d). Pekerja kantor hanya akan bekerja keras sepanjang hal itu diperlukan agar dia tidak dicopot. 
e). Kepatuhan pada hukum hanya karena takut akan dihukum itu.
f). Pegawai akan korupsi sepanjang dia bisa mengerjakannya.
g). Mereka yang lemah akan menyenangi rezim tangan besi.
h). Barang siapa yang membangkikan semangat pelayanan umum sebagai motif kerja akan dianggap sebagai penipuan omong kosong.
i). Prinsip politik yang abstrak tidak sesuai dengan perilaku konkret setiap hari.

PENGEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL UNTUK MEMAJUKAN DAYA PSIKOKULTURAL
a). Kepemimpinan
Pemimpin adalah factor yang paling penting dalam kemajuan suatu bangsa. Kita harus dapat memilih pemimpin yang dapat dipercaya, bermoral, tidak korup, sejalan kata dengan perbuatan, lebih mementingkan nasib bangsa daripada kepentingan golongan, partai atau keluarganya sendiri, punya visi masa depan bangsa.
b). Pendidikan dan Pelatihan
Pembangunan pendidikan bukan sekedar memperbanyak gedung sekolah, guru, murid, dll tapi juga system kurikulumnya, kemana pendidikan akan diarahkan, jenis manusia seprti apa yang akan dihasilkan, jenis tukang ngapal atau yang kritis analitis, yang manggut-manggut diam atau yang dinamis dan terbuka.
c). Media Massa
Media massa yang terdiri dari Koran, majalah, radio, tv, film, internet, dll. Jika media massa ini dikembangkan secara benar, mereka dapat menjadi alat yang efektif untuk kemajuan bangsa.
d). Pembangunan Institusional
Berarti pembangunan organisasi-organisasi baru dan norma-norma baru.
e). Perilaku manajemen.
Yang dimaksud dengan perilaku manjemen bukan hanya menyangkut organisasi perusahaan swasta, tapi juga termasuk pemerintahan.
f). Pola pengasuhan anak
Terakhir, perhatian terhadap pola pengasuhan anak. Telah diingatkan sebagai sarana yang pentin dalam pembangunan bangsa. Ada satu pameo yang mungkin perlu kita ingat, pembangunan sebuah bangsa dimulai dari pembangunan keluarga. Hanya keluarga-keluarga yang baik yang akan membangun bangsa yang baik.

Evaluasi:
1.      Jelaskan paradigma Antropologi Psikologi dan Antropologi Simbolik
2.      Jelaskan peran budaya sebagai faktor kemajuan pembangunan suatu bangsa berdasarkan teori pembangunan sumber daya manusia menurut Visi Culture Studies.
3.      Bagaimanakah strategi untuk pengembangan institusional sosial untuk memajukan daya psikokultural?

DAFTAR PUSTAKA
  1. Koentjaraningrat, 2006.  Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
  2. Ahmad Fedyani Saifuddin, 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar kritis Mengenai Paradigma: Jakarta Prenada Media.
  3. Amri Marzali, 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana.
  4. William A. Havilland, 1985. Antropologi Jilid I. Terjemahan R. G. Soekadijo. Edisi Empat. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar