Pages - Menu

Jumat, 01 Maret 2013

Mungkin Karena Sudah Tua

Mungkin Karena Sudah Tua

Suasana bus jurusan Jepara-Semarang kala itu sepi. Aku memasuki bus dan hanya melihat dua penumpang wanita, satunya memakai kacamata hitam besar dan berdandan cukup menor. Aku duduk dibaris sebelahnya bersama Ibuku kakakku ada dibangku belakang. Total penumpang sore itu lima orang.
Berat rasanya aku pulang ke rumah. Entahlah aku sendiri kurang tau pasti mungkin karena ketika berada di rumah jauh dari pola kebiasaan agamis yang teratur tidak seperti di pondok. Waktu libur dua minggu, aku sibuk membayangkan apa yang akan aku kerjakan di rumah nanti? Mungkin juga aku enggan berada di rumah karena rumah selalu punya daya untuk menyeretku kembali ke masa lalu. Ingin ku habiskan saja waktu liburanku ke rumah seorang teman di Tegal. Ahh, sudah kuutarakan pun Ibu tidak mengijinkan tanpa alasan yang jelas. Bus melaju dengan kencang, dari terminal Terboyo Semarang hingga ke Jepara jumlah penumpang tetap sama tidak bertambah.
Sekitar pukul 17.35 WIB kami sampai dirumah. Badanku capek dan lemas rasanya, bukan karena aku seharian memasak di pondok bukan pula karena perjalanan yang jauh. Rumah seakan punya energy tersendiri untuk melemahkanku, melemahkan semangatku, melemahkan kesabaranku, melemahkan tenagaku. Rumah entah sejak kapan aku merasa seperti ini tiap ada di rumah, ahh aku ingat barang kali semenjak perseteruanku dengan Ibu tahun lalu. Perseteruan yang disebabkan oleh harapan ibu dan harapanku akan seorang pria yang tidak sejalan. Kemudian aku mengambil tindakan nekat, memberontak. Aku nekat menjalin hubungan istimewa dengan seorang teman satu organisasi. Cintakah aku ? entahlah aku tak tau. Makna cinta sendiri itu pun sebenarnya aku tak paham. Waktu itu yang aku pikirkan adalah aku ingin mengalihkan pikiranku dari berbagai masalah yang menjeratku di rumah. Dia sebagai pelampiasanku? Tidak juga, buktinya aku merasa nyaman dekat dengannya. Ahh, aku masih terlalu kerdil untuk menafsirkan arti cinta sesungguhnya.
Dua hari berjalanan, waktuku di rumah rasanya cuma aku habisakan dengan sia-sia. Aku bermalas-malasan di kamar. Hujan yang selalu turun semakin menambah kemalasanku. Membantu pekerjaan rumah? Memasak? Ibu selalu memasak di warung. Aku membantu memasak di warung? Bertemu dengan pria idaman Ibu? Ohh, lebih baik aku tidur kamar.
Malam itu aku dan Ibu berada di ruang makan menikmati hidangan makan malam bersama. Aku mengambil lauk berupa oseng-oseng mie tempe.
“Buk, tanggal 23-25 aku mau ke sekolah menginap.”
“Owh, kamu tidak betah ya berada di rumah? Enakan di Semarang ya?”
“Tidak Bu, bukan mau ke Semarang tapi ke SMKI.”
“Sama siapa Yuli?”
“Sama temen-temen Pramuka.”
Sendok yang digunakan Ibu untuk makan berhenti di udara. Tatapan mata yang ia tujukan padaku seketika berubah sinis.
“Pramuka? Kamu masih ada hubungan ya sama dia? Gak usah ikut. Ngapain ikut begituan.”
Hatiku remuk.
“Tidak, sudah tidak ada hubungan lagi.”
Aku pergi. Piring makan dan gelasku tak urung ikut kubawa pergi juga. Dikamar aku mengabiskan sisa makananku diselingi air mata.
Aku kecewa. Mengapa Ibu harus mengkait-kaitkan Pramuka dengan mantanku? Pramuka sekolah pula. Padahal tidak ada hubungannya. Aku sudah mengikuti perintah ibu, berhenti berhubungan dengan mantanku, tidak mengikuti Pramuka di kampus, mondok pun sudah aku lakukan. Apa lagi? Ibu tetap tidak mempercayaiku. Aku sakit hati. Ucapan Ibu menyeretku kembali ke kenangan setahun yang lalu. Rasa bersalah ini. Aku ingin melupakannya, tak ingin mengungkitnya tak ingin lagi berurusan dengannya. Ibu, dari dulu tidak pernah mampu membaca hatiku ini. Ibu dari dulu tidak memahami karakterku. Bahkan Ibu tidak pernah peduli akan isak tangisku. Aku seolah menjadi pribadi yang berbeda ketika dirumah. Kata orang aku cukup penyabar, tapi di rumah aku merasa menjadi pribadi tidak sabaran. Kata orang aku cukup rajin, tapi di rumah aku menjadi pribadi yang pemalas. Aku mengutuk tatanan kehidupan di rumah. Dengan polanya yang sesuka dia, dia tidak mengikat penghuni rumah dengan kebiasan agamis, sikap terbuka saling cerita. Sekat kehidupan itu makin jelas terasa bagiku, manakala ibu sering menghabiskan waktunya di warung, kakak bekerja. Rumah hanya terasa hidup di ruang makan manakala semua anggota keluarga berkumpul untuk makan bersama. Selebihnya sunyi. Dari aku memang tertutup, apapun selalu aku pendam sendiri. Aku tak suka berbagi kedukaan dan masa lalu yang tidak aku sukai kepada orang lain. Menceritakannya pada orang, hanya akan menambah bebanku saja. Aku mengibaratkannya seperti tape recorder. Semakin banyak aku bercerita pada orang, tape recorder yang merekam kisahku akan makin banyak. Tak menutup kemungkinan tape recorder itu sewaktu-waktu bisa memutar lagi kaset kisahku. Kisah yang ingin aku lupakan. Aku terseret kembali ke arus masa lalu. Tape recorder itu terus mengulang ulang-ulang rekamanku. Memenuhi seluruh otakku. Menghadapi ini timbul pertentangan dalam diriku. Satu pihak menyalahkan Ibu secara bulat. Di pihak lain kesalahan ditimpahkan pada diriku sendiri. Aku yang tidak bisa bersikap lebih sabar. Aku yang tidak bisa merubah pola ini dimulai dari diriku sendiri. Sebagai seorang anak aku semestinya maklum Ibu sudah tua usianya sudah 65tahun, Aku seharusnya maklum ibu tidak tamat SD dan aku seharusnya maklum pergaulan ibu itu sempit. Jadinya ya Ibu seperti ini. Sering kali aku merasa iri pada anak yang memiliki orang tua masih muda, tentu mereka akan lebih merasa dipahami daripada aku yang memiliki orang tua yang sudah tua.
Malam itu aku mencoba mencari ketenangan dengan bersepeda. Aku kayuh sepedaku. Malam itu gelap, mungkin karena mendung. Memandang ke depan yang terlihat seperti berujung pada gelap. Mungkin seperti itulah keadaan hatiku. Aku tidak tau apa atau siapa yang mengarahkan aku. Aku akhirnya mengayuh sepedaku ke Masjid Agung. Aku sholat isyak disana dan membaca Al Quran. Ketenangan kudapatkan kala itu. Apakah ini yang selama ini aku cari? Dekat denganNya? Menceritakan semua isi hatiku padaNya? Jauh dari kemrungsung hati.
Satu pihak dihatiku terkalahkan. Tak sepatutnya aku menyalahkan Ibu. Semua masalah ada pada diriku dan hanya pada diriku pulalah ada penyelesaiannya. Aku yang harus maklum dengan karakter ibuku mungkin karena sudah tua. Yah mungkin karena sudah tua. Jadi aku yang masih mudah semestinya lebih bisa bersikap sabar. Aku juga semestinya bersyukur kamu masih punya seorang ibu. Bagaimana jika Ayah mengajak Ibu pergi serta kea lam baka, kamu jadinya tidak punya orang tua.
Aku pulang dengan membawa serta rasa bersalah. Malam ini aku tidur sendirian tidak ditemani ibu. Penyesalan itu semakin keras menggodam hatiku. Aku tidak bisa tidur, aku merasa tidak tenang.
Hari berikutnya. Terbukti kasih Ibu lebih dalam dari kasih seorang anak.
Sore itu, menjelang adzan magrib. Aku duduk di ruang makan, menselonjorkan tangan dan menyandarkan kepala padanya. Aku lemas. Aku sibuk memikirkan kapan hubunganku dengan Ibu bisa membaik lagi.
“Udah buwat minum buat berbuka? Mau teh atau susu? Tak buatin ibu?”
“Tidak bu, nanti aku buwat minum sendiri saja.”
Begitu Ibu dengan kelapangan dadanya memulai menyapaku duluan. Setelah selama dua hari yang lalu tak terucap dari kami sepatah katapun. Ibu yang kemarin mungkin menganggap aku masih marah sebab kejadian itu segan untuk mengusikku. Sedangkan aku? Aku terlalu egois untuk memulainya terlalu enggan untuk menyapa duluan. Begitulah kasih Ibu. Meski di suatu waktu Ibu akan kembali mengingatkanku dengan masa laluku, tapi Ibu pulalah dengan kasihnya akan menyapaku duluan menanyakan kabarku. Jadi aku wajib maklum jika Ibu mengucapkan kata yang tidak enak untukku, mungkin karena sudah tua.

20 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar