TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Konsepsi
pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek spasial.
Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal
membuktikan keberhasilan. Hal ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara
Singapura, Hongkong, Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi
di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan
melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme
politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat
diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah
perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut
dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara
bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara
dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat
manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan
sangat bersih dari beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan
tertentu (vested interest) dari
keuntungan semata (rent seeking). Demikianlah,
hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil
melintasi (menembus) batas ruang (inter-region)
dan waktu (inter-generation). Implikasinya
kajian aspek spasial menjadi kurang relevan dalam keadaan empirik yang telah
dilukiskan di atas (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Namun
demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan kajian
terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan
berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena
yang khas, antara lain kesenjangan,
kemiskinan, pengelolaan public good
yang tidak tepat, lemahnya
mekanisme kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan.
kelemahan-kelemahan itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan
maupun aliran penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan
non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin
parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi mudah
diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi.
implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan
terhadap sumberdaya saat ini karena penuh dengan berbagai resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari
kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas adalah mekanisme pasar yang
beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak mampu dihambat karena beroperasi
sangat massif, terus-menerus, dan dapat diterima oleh logika ekonomi disamping
didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.
Kecendrungan
globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan peluang baru bagi
proses pembangunan di Indonesia. Dalam era seperti ini, kondisi persaingan
antar pelaku ekonomi (badan usaha dan/atau negara) akan semakin tajam. Dalam
kondisi persaingan yang sangat tajam ini, tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali)
dituntut menerapkan dan mengimplementasikan secara efisien dan efektif strategi
bersaing yang tepat (Kuncoro, 2004). Dalam konteksi inilah diperlukan ”strategi
berperang” modern untuk memenangkan persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif
diperlukan tiga hal (D’Aveni, 1995), pertama, visi terhadap perubahan dan
gangguan. Kedua, kapabilitas, dengan mempertahankan dan mengembangkan kapasitas
yang fleksibel dan cepat merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang
mempengaruhi arah dan gerakan pesaing.
A. Pengertian
Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam
dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin
1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma
modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan
perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang
menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori
keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan
sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994).
Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan,
yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma
tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal
yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin
saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran
tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik
(Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow,
strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan
sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi
pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan
dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi
untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga
negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho
dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi
pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Tema kedua adalah
terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan.
Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang
terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema
ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus
berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika
umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja
diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan
daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum ada
suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan
(Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita
(1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses
perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran
yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan
modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi.
Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana
pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara keseluruhan
mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai
perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang,
azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula,
meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan
Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup
seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan,
pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes
(1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki
berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula
diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja
melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam
struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan
produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya
terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor
pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat
melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap
sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air
bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan
politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain,
dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya
perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan
spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang
tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi
organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan
masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro
(nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan
adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan
diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses
perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.
Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari
adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang
menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya
mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek
yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi
diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang
meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan
sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan
yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya
sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari
kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan
adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali
konsep-konsep pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering
diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik.
Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan
semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga
pertumbuhan. Seiring dengan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan
adanya suatu kesepakatan
yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya
tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya
Administrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan,
mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik
dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan
menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam
pembangunan.”
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan.
Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion)
atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu
komunitas masyarakat.
B. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan
yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto
suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi,
kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi
pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per
kapita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara
untuk meningkatkan output yang dapat melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi
pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah
struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi
mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat
segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator
sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang
berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator ekonomi memberikan
gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement
of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan,
pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat
pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam
paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu
proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup
tiga inti nilai (Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan
orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan
kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk
berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam
pembangunan.
Selanjutnya,
dari evolusi makna pembangunan tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran
makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak
negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan
ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju
pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan
masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi
pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini
pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara,
1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat
peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan
berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang
tentang arti pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya
mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial.
Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth
with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata
lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan,
namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam
praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal pembangunan
umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran,
pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap
paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal
asing dan melakukan industrialisasi. Peranan sumber daya manusia (SDM) dalam strategi semacam
ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah satu “faktor produksi” saja. Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan merupakan subyek
dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah
mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi
keuntungan.
Konsekuensinya,
peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut
sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production centered development (Tjokrowinoto,
1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigma
pembangunan yang semacam itu terbatas pada masalah pendidikan, peningkatan
ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas manusia yang meningkat
merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan
masyarakat industrial. Alternatif lain dalam strategi pembangunan manusia adalah apa yang disebut
sebagai people-centered development atau panting people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia
(rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas
manusia merupakan sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang
semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan
trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek
pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment)
manusia, yaitu
kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam
pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri
(self-reliant
development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang
memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelomment)
(Kuncoro, 2003).
paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Para proponen strategi
“pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”, pada
hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan
ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi
“kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan kombinasi strategi
seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada
petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah.
2.
Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan
semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat
manfaat dari setiap program pembangunan.
3. Pembangunan “mandiri” telah muncul
sebagai kunsep strategis dalam forum internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi
Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja sama yang menarik
dibanding menarik diri dari percaturan global.
4. Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya
mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang
bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi;
namun yang paling utama adalah, strategi pembangunan ini harus berkelanjutan
baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5. Sejauh ini baru Malaysia
yang secara terbuka memasukkan konsep ecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP
dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan
kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan
masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam
Kuncoro, 2004).
C. Indikator Pengukuran Keberhasilan
Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda
untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan
pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik
masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah.
Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut,
indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor sekunder
dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh
lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB),
struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat
pula dua indicator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi
suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks
Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T.
Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1. Pendapatan
perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah
satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan
bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah
menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki
beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah
dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada
asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis
ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi).
Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini
mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur
distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses
terhadap sumber daya ekonomi.
2. Struktur
ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan
mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas
sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita,
konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional
akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah
akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti
oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak ,
kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang
bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi
dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama
dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan
Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn
proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin
tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara
industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di
Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah
pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu
indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sector
manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan
modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi
dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada
awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam
masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun
melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical
Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat
memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur
keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah
bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan
sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan
hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf.
Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat
menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan
keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan
yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang
memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini
menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi
keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya,
indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia
sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran
kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations
Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan
untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya
indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia.
Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya
manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses
yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia.
Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan
diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup
manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi
dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara
otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam
hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam
pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan,
dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini
dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada
saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3)
pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity.
Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang
dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills,
disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.
Pembangunan
(baik fisik dan mental) bagi masyarakat Indonesia dimana pembangunan ini tidak
menghancurkan nilai-nilai dan norma-norma yang positif dimana sesuai dengan
budaya yang luhur. Pembangunan ini harus sejalan dengan etika dan norma.
Pembangunan yang sesuai dengan budaya akan memperkuat budaya positif yang ada
dan menghilangkan budaya negatif yang tidak perlu. Pembangunan yang akan dibuat
didasarkan dengan budaya setempat. Misalnya apabila akan membuat pembangunan
pasar modern disebuah lingkungan dimana msayarakat masih memiliki budaya untuk
melakukan jual beli secara tradisional dan hanya membawa dampak negatif apabila
pembangunan tetap dilakukan, maka pembangunan pasar modern ini merupakan
pembangunan yang tidak sesuai dengan budaya setempat.
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA INDONESIA
BERDASARKAN PANCASILA : MENUJU BANGSA MANDIRI DI ERA GLOBALISASI
Oleh:
Diah Ayu Intan Sari
100910101012
Hubungan Internasional
Abstrak
Tujuan dari jurnal ini
adalah menganalisa pembangunan karakter bangsa Indonesia berdasarkan pada
pancasila untuk menjadi bangsa mandiri di era globalisasi. Argumen utama dari
jurnal ini adalah pembangunan karakter bangsa Indonesia lebih berfokus pada
peningkatan kesadaran generasi muda Indonesia akan pentingnya menjadi generasi
penerus bangsa yang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai dasar
pancasila. Pemerintah Indonesia bersama seluruh elemen masyarakat lainnya terus
berusaha untuk membangun karakter bangsa Indonesia terutama bagi generasi muda
agar Indonesia menjadi bangsa mandiri di era globalisasi. Jurnal ini akan
membuktikan hipotesis bahwa pembangunan karakter bangsa Indonesia berdasarkan
pancasila bertujuan untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri
sesuai dengan cita-cita pancasila. Pembangunan karakter bangsa Indonesia menuju
bangsa yang mandiri dalam menghadapi era globalisasi tersebut berfokus pada
penanaman nilai-nilai pancasila terhadap generasi muda penerus bangsa yang
secara aktif dilakukan oleh seluruh komponen bangsa bekerjasama dengan
pemerintah.
I.
Pendahulan
Fenomena globalisasi
merupakan dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh terhadap
perkembangan proses perubahan peradaban manusia. Globalisasi juga membawa dampak pada semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Selain itu, globalisasi memungkinkan terjadinya perubahan lingkungan strategis
yang berdampak luas terhadap eksistensi dan kelangsungan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dari aspek internal, kondisi objektif bangsa Indonesia sejak
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara dengan bangsa
yang dibangun di atas keragaman dan perbedaan, yaitu perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya,
bahasa dan lain-lain. Keragaman dan perdedaan tersebut
apabila dikelola dengan baik, maka keragaman itu akan menimbulkan keindahan dan harmoni dalam
berbangsa dan bernegara, tetapi
apabila keragaman
dan perbedaan tersebut tidak dapat
dikelola dengan
baik maka akan berpotensi
menimbulkan perselisihan dan sengketa yang dapat menyebabkan perpecahan atau bahkan disintegrasi bangsa Indonesia.
Bila ditinjau dari aspek eksternal, globalisasi menyebabkan pertemuan antar budaya (cultur encounter) bagi seluruh
bangsa di dunia, termasuk bagi bangsa Indonesia. Sehingga, globalisasi tersebut berdampak pada terjadinya perubahan sosial (social
change) secara
besar-besaran pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perubahan sosial yang terjadi tersebut belum tentu “kongruen” dengan kemajuan sosial (social progress) suatu
bangsa. Sehingga
bangsa Indonesia juga harus memiliki antisipasi untuk mengatasi dampak dari
perubahan sosial yang tidak kongruen dengan bangsa Indonesia yang disebabkan
oleh globalisasi yaitu dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila.
Pancasila sebagai sebuah
ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia,
semestinya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi landasan
nilai dan prinsip yang terus mengalir bagi setiap generasi. Namun dalam
perjalanannya, pembangunan karakter bangsa Indonesia yang telah dilaksanakan
sejak lama sering mengalami hambatan-hambatan dengan adanya sejumlah kasus yang
melibatkan kehidupan antar umat beragama sekaligus masih banyaknya kekerasan
atas nama golongan dan kelompok tertentu di Indonesia.[1]
Terlepas dari masalah tersebut, penulis melihat bahwa pancasila masih memiliki
relavansi dan kesaktian sebagai landasan pembangunan karakter bangsa Indonesia
untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa mandiri di era globalisasi.
Penulis menggunakan
globalisasi sebagai acuan untuk mengkaji pembangunan karakter bangsa terutama
bagi generasi muda Indonesia menuju pada kemandirian bangsa dengan berlandaskan
pada pancasila untuk menghadapi derasnya arus globalisasi. Dalam proses membangun karakter suatu bangsa, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah
pendidikan baik itu secara formal maupun non formal sehingga pengaruh negatif
dari globalisasi dapat dikurangi terutama bagi generasi
muda sebagai generasi penerus bangsa yang menentukan masa depan. Generasi muda
sekaligus sebagai generasi yang paling rentan terkena dampak negatif dari globalisasi sehingga peran
pendidikan karakter bangsa serta pembangunan karakter bangsa dengan
berlandaskan pancasila menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menjadikan
bangsa Indonesia mandiri di era globalisasi.
II.
Rumusan Masalah
Masalah yang akan penulis
bahas dalam jurnal ini adalah: Bagaimanakah membangun karakter bangsa Indonesia
menuju bangsa yang mandiri di era globalisasi dengan berlandaskan pada
pancasila?
III.
Kerangka Analisis
Pada awal 1960-an sosiologi
pembangunan berkembang pesat dan sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ahli
sosiologi klasik seperti Marx Weber dan Durkheim. Sosiologi pembangunan juga
membawa dampak pada lahirnya dimensi-dimensi baru dalam konsep pembangunan. Pembangunan
adalah suatu bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui
berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila telah
mencantumkan tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia. Kesejahteraan
masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di
dunia ini termasuk juga bangsa Indonesia.
Penulis menggunakan
pendekatan sosiologi pembangunan untuk menganalisa pembangunan karakter bangsa
Indonesia yang berfokus pada pembangunan karakter generasi muda Indonesia
dengan berlandaskan pada nilai-nilai dasar pancasila. Sosiologi pembangunan
adalah suatu cara untuk menggerakkan masyarakat supaya mendukung pembangunan
dan masyarakat itu sendiri sebagai tenaga pembangunan, sekaligus sebagai dampak
dari pembangunan yang dilaksanakan.[2]
Dalam teori sosilogi,
pembangunan karakter bangsa merupakan
salah satu unsur penting karena dengan karakter yang bagus maka bangsa tersebut
akan tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang besar dan kuat.[3] Hal
tersebut juga dilaksanakan oleh bangsa Indonesia dalam pembangunan karakter
generasi muda bangsa Indonesia menuju pada kemandirian di era globalisasi yang
bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan kuat.
IV.
Pembahasan
Setiap bangsa yang
melaksanakan pembangunan selalu menginginkan perubahan yang mengarah pada
kemajuan bangsanya. Dan keberhasilan pembangunan tersebut tidak akan terlaksana
tanpa adanya semangat juang dari seluruh komponen bangsa untuk maju
bersama-sama. Seperti misalnya semangat perubahan Cina dan India yang dapat
sukses membangun negaranya berdasarkan pada pembangunan nasional yang kuat.
Cina dengan reformasi ekonomi gaya Deng Xiaoping, India dengan perpaduan serasi
antara agama dengan kasta serta meritrokasi. Semangat juang tersebut seharusnya
ditiru oleh bangsa Indonesia dengan pembangun karakter bangsa yang berdasarkan
pada Pancasila.[4]
Pembangunan karakter suatu
bangsa tidak cukup dalam esensi pembangunan fisik saja tetapi dibutuhkan suatu
orientasi yang lebih kuat yaitu suatu landasan dasar atau pondasi pembangunan
karakter bangsa tersebut. Sehingga esensi fisik dari pembangunan berawal pada
internalisasi nilai-nilai untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau
sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai
oleh semangat peningkatan tata nilai sosio-kemasyarakatan dan budaya. Dalam hal
ini Indonesia memiliki landasan pancasila sebagai dasar untuk melakukan
pembangunan karakter bangsa Indonesia.
Pembinaan Karakter Bangsa
Ketika suatu bangsa mulai membangun,
maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut
seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya.[5]
Maksud dari penyataan
diatas adalah pembangunan yang dilakukan oleh suatu bangsa seringkali
membutuhkan pengorbanan yang sangat besar termasuk mengorbankan keluarga atau
bahkan kebersamaan dalam keluarga. Bukti nyata yang dapat kita lihat terutama
berada di negara - negara industri maju, dimana fenomena hilangnya kohesivitas
keluarga terlihat sangat jelas sejalan dengan semakin meningkatnya modernisasi
di negara-negara maju tersebut.
Pembangunan yang baik tentu
tidak harus mengorbankan keluarga atau bahkan bangsanya sendiri. Sehingga dalam
melaksanakan pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa dibutuhkan
pemahaman yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu
bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter bangsanya agar
menjadi lebih baik pula dengan berlandaskan pada suatu nilai.
Aspek lain yang tidak kalah
penting untuk diperhitungkan dalam melakukan pembinaan karakter bangsa adalah
pengaruh dari kemajuan kapasitas berpikir manusia itu sendiri yang pada umumnya
diartikulasikan dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu
teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi tersebut
secara radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari
berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas
bangsa (globalisasi).[6]
Dan salah satu unsur yang ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia
adalah daya saing atau competitiveness. Pentingnya kemampuan daya saing
bagi suatu bangsa untuk dapat menjadi bangsa yang mandiri di era globalisasi
tersebut sehingga dibutuhkan suatu pembinaan karakter bangsa termasuk juga bagi
bangsa Indonesia.
Menurut Michael Porter
(1999), dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A
Nation), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki
suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya. Keunggulan yang dimaksud
dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan. Keunggulan tersebut
dapat diartikan sebagai keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan
militer dan lain-lain. Sedangkan, daya saing pada esensinya dapat diartikan
sebagai sebuah rantai dari suatu nilai proses yang dapat dikendalikan dengan
proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning. Sehingga, arti
dan makna pembinaan karakter bangsa di era globalisasi yang sarat dengan daya
saing adalah menyangkut tiga hal pokok yaitu:[7]
1.
Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas
pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan pembelajaran agar
semakin meningkat daya saingnya di era globalisasi.
2.
Pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar kapasitas pengetahuan yang
terbangun dapat meningkatkan daya saing suatu bangsa, dengan kondisi dimana
daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif atau kemajuan
bersama bagi bangsa Indonesia.
3.
Pemaknaan dari karakter positif bangsa seharusnya diarahkan untuk mencapai dua
hal pokok di atas.
Sebenarnya bangsa Indonesia
telah memiliki karakter positif bangsa yang seharusnya terus
ditumbuh-kembangkan untuk menjadi bangsa yang mandiri di era globalisasi ini.
Karakter positif yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut antara lain
adalah karakter pejuang yang juga telah diakui oleh masyarakat internasional
karena Indonesia mendaparkan kemerdekaannya melalui perjuangan tumpah darah
bangsa Indonesia. selain itu, bangsa Indonesia juga memiliki karakter pemberani
dan sejumlah karakter positif lainnya yang harus ditumbuh-kembangkan sebagai
bekal untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan mandiri di
era globalisasi. Seluruh karakter positif yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia tersebut harus dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing untuk
menghadapi globalisasi. Sehingga pembinaan karakter positif bangsa dibutuhkan
untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dalam era globalisasi.
Namun disisi lain, bangsa
Indonesia masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bangsa
bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing bangsa
Indonesia, sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era
globalisasi saat ini. Meskipun demikian, pembinaan karakter bangsa Indonesia
terus dilaksanakan secara terus-menerus demi terciptanya generasi muda penerus
bangsa yang memiliki mental saing kuat dalam menghadapi globalisasi. Pembinaan
karakter bangsa Indonesia juga dilandasi oleh nilai-nilai dasar pancasila yang
akan penulis kaji dalam pembahasan berikutnya.
Pancasila sebagai Landasan Pembangunan
Pancasila sebagai landasan
pembangunan berarti nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar,
kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis terhadap pengakuan
dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan
kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia termasuk dalam
melaksanakan pembangunan karakter bangsa. Nilai-nilai dasar Pancasila
dikembangkan atas dasar hakikat manusia.
Sedangkan Pembangunan
nasional Indonesia diarahkan pada upaya peningkattan harkat dan martabat
manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan.
Sehingga, pembangunan nasional bangsa Indonesia dapat dimaknai sebagai upaya
peningkatan harkat dan martabat manusia secara total atau menyeluruh
berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam pancasila.
Dalam melaksanakan
pembangunan sosial berdasarkan pancasila maka pembangunan sosial tersebut harus
bertujuan untuk mengembangkan harkat dan martabat manusia secara total. Oleh
karena itu, pembangunan yang berdasarkan pancasila harus dilaksanakan di
berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan
dengan berlandaskan pada pancasila tersebut meliputi bidang politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Penulis akan dijelaskan mengenai
pancasila sebagai landasan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia
sesuai dengan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan
berikutnya.
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Politik Indonesia
Pembangunan politik yang
berdasarkan pada pancasila harus dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa
Indonesia dan meningkatkan harkat dan martabat manusia tersebut adalah dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga, sistem politik Indonesia harus
mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat yang sesuai dengan pancasila
yaitu sistem politik demokrasi (kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat). Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan.
Sebagai konsekuensi logis
dari sistem politik demokrasi yang berlandaskan pada moral pancasila maka
perilaku politik, baik perilaku politik warga negara maupun penyelenggara
negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku
politik yang santun dan bermoral.
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Sistem dan pembangunan
ekonomi yang sesuai dengan pancasila yaitu berlandaskan pada nilai moral dari
pancasila itu sendiri. Secara khusus, sistem ekonomi pancasila harus didasari
oleh moralitas ketuhanan dan kemanusiaan. Sistem ekonomi yang mendasarkan pada
moralitas dan kemanusiaan (humanistis) akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan.
Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik sebagai makhluk individu, sosial, makhluk pribadi
maupun makhluk Tuhan adalah sistem ekonomi pancasila. Sistem ekonomi pancasila
harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang
berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi bangsa Indonesia harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Sosial Budaya
Pembangunan sosial budaya
harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia
yang berbudaya dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik,
tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya.
Berdasarkan sila persatuan
Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan
terhadap nilai sosial dan budaya-budaya di seluruh Indonesia menuju pada
tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia. Dengan kata lain,
pembangunan sosial budaya berdasarkan pada pancasila tidak menciptakan
kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Pertahanan Keamanan Indonesia
Sistem pertahanan dan
keamanan sesuai pancasila adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa
untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Sistem pembangunan pertahanan
dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang
bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala
ancaman.
Penyelenggaraan sistem
pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga
negara, serta keyakinan pada kekuatan bangsa sendiri. Sistem ini pada dasarnya
sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat memiliki
hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara sangat sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangun Kemandirian Bangsa
“ The core of any army is its soldiers,
no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent
on its soldiers.”
-Douglas MacArthur, General, US Army,
1945-.[8]
Penggalan
kalimat di atas memberikan esensi pada peran Sumber Daya Manusia sebagai unsur
yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu.
Penggalan kalimat tersebut ikut menekankan pentingnya faktor manusia atau SDM
sebagai komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga.
Dalam kasus pembangunan karakter bangsa Indonesia, Sumber Daya Manusia terutama
generasi muda Indonesia juga merupakan komponen penting bagi keberhasilan
pembangunan karakter bangsa itu sendiri dengan mengngimplementasikan rantai
nilai dari pancasila.
Sumber Daya Manusia (SDM)
merupakan suatu hal yang sangat krusial, sekaligus potensi bangsa yang paling
strategis yang harus dimobilisir dan dikembangkan. Ralph S. Larsen (2004), CEO
dari Johnson & Johnson mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu
organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap Sumber Daya Manusia yang
dimilikinya.
Permasalahan utama bagi
pembangunan karakter bangsa Indonesia adalah bagaimana mendorong agar
pengembangan sumber daya manusia tersebut dapat menghasilkan suatu pencapaian
yaitu tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Era globalisasi menuntut
adanya parameter daya saing sebagai satu hal penting untuk menjamin suatu
kemandirian bangsa. Sehingga, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas
daya saing juga menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan
acuan dalam setiap proses pembangunan sesuai dengan rantai nilai dalam
pancasila.
Sejalan dengan hal
tersebut, maka unsur pokok pembangunan kemandirian bangsa terfokus pada tiga
aspek penting yaitu:[9]
1.
Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya yang terus terbarukan
untuk melakukan pembangunan bangsa yang berkesinambungan.
2.
Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia tersebut, sebagai jaminan dari
kemandirian bangsa yang berkesinambungan.
3.
Pemahaman mengenai pentingnya mencetak mentalitas daya saing yang berdasarkan
pada suatu rantai nilai (pancasila) dengan tatanan dan urutan tertentu.
Sehingga keberhasilan pembangunannya tergantung dari tingkat pemenuhan kriteria
dan persyaratan tersebut.
Ketiga
aspek pembangunan kemandirian bangsa tersebut tentu membutuhkan suatu agents
yang dapat mengimplementasikan hal tersebut diatas. Dan agents itu
adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Generasi muda yang
umumnya masih berusia produktif diharapkan dapat memiliki kemampuan yang
tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan
menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change sesuai dengan
cita-cita pembangunan berdasarkan pada pancasila.
Peran Generasi Muda dalam Pembangunan
Bangsa Mandiri
Pembentukan karakter
generasi muda bangsa merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa dan
bahkan menentukan nasib bangsa itu di masa depan termasuk juga Indonesia. Namun
pada kenyataannya, di era globalisasi yang telah menempatkan generasi muda
Indonesia pada derasnya arus informasi yang semakin bebas, sejalan dengan
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sebagai akibat dari
globalisasi.
Akibat dari globalisasi
tersebut, nilai-nilai asing secara disadari maupun tidak disadari telah memberi
pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda Indonesia.
Sehingga upaya strategis
yang harus dilakukan oleh generasi muda Indonesia untuk menghadapi globalisasi
adalah dengan melakukan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang
diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap
segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa.
Berikut 3 peran penting generasi muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan
revitalisasi kebangsaan:[10]
1.
Generasi muda sebagai pembangun-kembali karakter bangsa (character builder).
Di era globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter
positif bangsa seperti misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa
yang positif sehingga pembangunan kemandirian bangsa sesuai pancasila dapat
tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman globalisasi.
2.
Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler).
Pembangunan kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan
pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk
mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler.
Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk
menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa
Indonesia yang positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri.
3.
Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan
dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat
ketahanan bangsa Indonesia. Character engineer menuntut generasi muda
untuk terus melakukan pembelajaran. Pengembangan dan pembangunan karakter
positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang
sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang dan
patriotism yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi dapat
dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Esensinya adalah peran genarasi
muda dalam pemberdayaan karakter tersebut.
Generasi muda Indonesia
memiliki tugas yang berat untuk dapat melaksanakan ketiga peran tersebut secara
simultan dan interaktif. Tetapi hal tersebut bukan suatu hal yang tidak mungkin
sebab generasi muda mendapatkan dukungan dan bantuan dari pemerintah dan
seluruh komponen bangsa lainnya untuk mrngaktualisasikan peran tersebut di era
globalisasi ini.
Penutup
Demarkasi atau garis
pembatas yang tegas untuk menghadapi dampak globalisasi adalah daya saing
bangsa (national competitiveness) yang kuat untuk menjadi bangsa yang
mandiri dengan berlandaskan pada pancasila. Pembangunan berdasarkan pancasila
yang dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui pembangunan di bidang ekonomi,
politik, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan dimaksudkan untuk meningkatkan
daya saing bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Namun untuk mencapai
daya saing yang kuat tersebut dibutuhkan upaya besar dan peran aktif seluruh
komponen bangsa Indonesia beserta pemerintah.
Salah satu komponen yang
berperan penting dalam upaya besar tersebut adalah pembinaan karakter generasi
muda bangsa Indonesia sesuai dengan pancasila, khususnya karakter positif
bangsa yang harus terus ditumbuh-kembangkan untuk memperkuat kemampuan adaptif
dari daya saing bangsa sehingga dapat menjadi bangsa yang mandiri di era
globalisasi.
Dalam
upaya untuk mengaktualisasikan kemandirian tersebut, maka dituntut peran
penting dari generasi muda Indonesia sebagai character enabler, character
builders dan character engineer. Meskipun untuk menjalankan ketiga
peran tersebut, generasi muda masih membutuhkan dukungan serta bantuan dari
seluruh elemen bangsa termasuk pemerintah, namun esensi utama dari pembangunan
karakter bangsa Indonesia menuju bangsa mandiri adalah pentingnya peran
generasi muda sebagai komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan
proses transformasi karakter dan tata nilai pancasila di era globalisasi.[11]
Kebijjakan
Nasional Pembangunan Budaya dan Karakter Bangsa
KEBIJAKAN
NASIONAL
PEMBANGUNAN
BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia yang harus menjiwai semua bidang
pembangunan. Salah satu bidang pembangunan nasional
yang sangat penting dan
menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
adalah pembangunan karakter bangsa.
Ada beberapa alasan mendasar yang melatari pentingnya pembangunan karakter
bangsa, baik secara filosofis, ideologis, normatif, historis maupun
sosiokultural.
Secara filosofis, pembangunan karakter
bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya
bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis. Secara
ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan ideologi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan
karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika
inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada
zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural,
pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa
yang multikultural.
Pembangunan karakter bangsa
merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendiri bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku
bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan
kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang holistik sebagai bangsa.
Hal itu sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan
gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia.
Pembangunan nasional yang selama ini
dilaksanakan telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama,
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan
prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun, di
samping banyak kemajuan yang telah dicapai ternyata masih banyak masalah dan
tantangan yang belum sepenuhnya terselesaikan, termasuk kondisi karakter bangsa
yang akhir-akhir ini mengalami pergeseran.
Pembangunan karakter bangsa yang sudah
diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana dengan
optimal. Hal itu tecermin dari kesenjangan
sosial-ekonomi-politik yang masih besar, kerusakan lingkungan yang terjadi di
berbagai di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum,
pergaulan bebas dan pornografi yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan
dan kerusuhan, korupsi yang dan merambah pada
semua sektor kehidupan masyarakat. Saat ini banyak
dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa yang buruk dan
tidak santun, dan ketidaktaataan berlalu lintas. Masyarakat Indonesia
yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat dalam
menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan
pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong mulai cenderung
berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan
berperilaku tidak jujur. Semua itu menegaskan bahwa
terjadi ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada
(1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi
dan ideologi bangsa, (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam
mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, (3) bergesernya nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap
nilai-nilai budaya bangsa, (5) ancaman disintegrasi bangsa, dan (6) melemahnya
kemandirian bangsa.
Memperhatikan situasi dan kondisi
karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut, pemerintah mengambil inisiatif
untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa
seharusnya menjadi arus utama pembangunan nasional. Artinya, setiap upaya
pembangunan harus selalu dipikirkan keterkaitan dan dampaknya terhadap
pengembangan karaker. Hal itu tecermin dari misi pembangunan nasional yang
memosisikan pendidikan karakter sebagai misi
pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional,
sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005 – 2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu
terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan
bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia
dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.
Pembangunan karakter bangsa memiliki
urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Sangat luas karena
terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan bangsa
dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang
hingga saat ini sedang dalam proses “menjadi”. Dalam hal ini dapat juga
disebutkan bahwa (1) karakter merupakan hal sangat
esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan
hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai “kemudi” dan
kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; (3) karakter tidak datang
dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang
bermartabat. Selanjutnya, pembangunan karakter bangsa akan mengerucut
pada tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri
bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia
dan bangsa yang bermartabat.
Pembangunan karakter bangsa harus
diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional dalam rangka
memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa sebagai
upaya untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa dalam naungan NKRI. Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan melalui
pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga; satuan
pendidikan; pemerintah; masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut
usia, media massa, pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik,
organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat; kelompok strategis seperti
elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, agamawan, tokoh adat,
serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembangunan karakter dapat dilakukan
melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama
dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta
pendekatan multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi.
Dalam rangka meningkatkan pembangunan
karakter yang berhasil guna, diperlukan upaya-upaya nyata antara lain
penyusunan desain pembangunan karakter secara nasional, penyusunan rencana aksi
nasional secara terpadu, pencanangan pembangunan karakter bangsa oleh Presiden
Republik Indonesia sebagai tonggak dimulainya revitalisasi pembangunan karakter
bangsa, serta implementasi pembangunan karakter oleh semua komponen bangsa dan
aktualisasi nilai-nilai karakter secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
B.
Fungsi,Tujuan,
dan Tema
1.
Fungsi
a.
Fungsi Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pembangunan karakter bangsa berfungsi
membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai
dengan falsafah hidup Pancasila.
b.
Fungsi Perbaikan dan Penguatan
Pembangunan karakter bangsa berfungsi
memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan
pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan
potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri,
dan sejahtera.
c.
Fungsi Penyaring
Pembangunan karakter bangsa berfungsi
memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Ketiga fungsi tersebut dilakukan
melalui (1) Pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, (2)
Pengukuhan nilai dan norma konstitusional UUD 45, (3) Penguatan komitmen
kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) Penguatan nilai-nilai
keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhinneka
Tunggal Ika, serta (5) Penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk
keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam
konteks global.
2.
Tujuan
Pembangunan karakter bangsa bertujuan
untuk membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan
masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Tema
Pembangunan Karakter Bangsa merupakan
suatu gerakan nasional dengan tema membangun generasi Indonesia yang jujur,
cerdas, tangguh, dan peduli.
C.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup
sasaran pembangunan karakter bangsa meliputi:
1.
Lingkup Keluarga
Keluarga merupakan wahana pembelajaran
dan pembiasaan karakter yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa lain
dalam keluarga terhadap anak sebagai anggota keluarga sehingga diharapkan dapat
terwujud keluarga berkarakter mulia yang tecermin dalam perilaku keseharian.
Proses itu dapat dilakukan melalui komunitas keluarga dan partisipasi keluarga
dalam pengelolaan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dan utama di mana orang tua bertindak sebagai pemeran
utama dan panutan bagi anak. Proses itu dapat dilakukan dalam bentuk
pendidikan, pengasuhan, pembiasaan, dan keteladanan. Pendidikan karakter dalam
lingkup keluarga dapat juga dilakukan kepada komunitas calon orang tua dengan
penyertaan pengetahuan dan keterampilan, khususnya dalam pengasuhan dan
pembimbingan anak.
2.
Lingkup Satuan Pendidikan
Satuan pendidikan merupakan wahana
pembinaan dan pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan (a)
pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya
satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler,
serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan di lingkungan satuan pendidikan.
Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan
usia dini sampai pendidikan tinggi.
Salah satu kunci keberhasilan program
pengembangan karakter pada satuan pendidikan adalah keteladanan dari para pendidik
dan tenaga kependidikan. Keteladanan bukan sekadar sebagai contoh bagi peserta
didik, melainkan juga sebagai penguat moral bagi peserta didik dalam bersikap
dan berperilaku. Oleh karena itu, penerapan keteladanan di lingkungan satuan
pendidikan menjadi prasyarat dalam pengembangan karakter peserta didik.
3.
Lingkup Pemerintahan
Pemerintahan merupakan wahana
pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan penyelenggara negara, elite
pemerintah, dan elite politik. Unsur pemerintahan merupakan komponen yang
sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparatur negara
sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan
yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan karakter pada tataran informal,
formal, dan nonformal. Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan dalam
pelaksanaan pembangunan. Kebijakan pemerintah dalam berbagai seginya (termasuk
kebijakan dalam bidang penyiaran atau media massa) harus mengacu pada
pengarusutamaan pembangunan karakter bangsa.
4.
Lingkup Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil merupakan wahana
pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan tokoh dan pemimpin
masyarakat serta berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi
sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai karakter dapat diinternalisasi
menjadi perilaku dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Lingkup Masyarakat Politik
Masyarakat politik merupakan wahana
yang melibatkan warga negara dalam penyaluran aspirasi dalam politik.
Masyarakat politik merupakan suara representatif dari segenap elite politik dan
simpatisannya. Masyarakat politik memiliki nilai strategis dalam pembangunan
karakter bangsa karena semua partai politik memiliki dasar yang mengarah pada
terwujudnya upaya demokratisasi yang bermartabat.
6.
Lingkup Dunia Usaha dan Industri
Dunia usaha dan industri merupakan
wahana interaksi para pelaku sektor riil yang menopang bidang perekonomian
nasional. Kemandirian perekonomian nasional sangat bergantung pada kekuatan
karakter para pelaku usaha dan industri yang di antaranya dicerminkan oleh
menguatnya daya saing, meningkatnya lapangan kerja, dan kebanggaan terhadap
produk bangsa sendiri.
7.
Lingkup Media Massa
Media massa merupakan sebuah fungsi dan
sistem yang memberi pengaruh sangat signifikan terhadap publik, khususnya
terkait dengan pembentukan nilai-nilai kehidupan, sikap, perilaku, dan
kepribadian atau jati diri bangsa. Media massa, baik elektronik maupun cetak
memiliki fungsi edukatif atau pun nonedukatif bergantung dari muatan pesan
informasi yang disampaikannya. Fungsi dan peran media massa dirasa makin
penting dalam era globalisasi saat ini seiring dengan kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi. Berbagai informasi yang berasal dari berbagai sumber,
baik dari dalam maupun luar negeri dengan mudah dapat diakses secara langsung
oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, informasi yang bertentangan dengan
nilai-nilai budaya bangsa akan membawa dampak negatif terhadap upaya
pembentukan karakter. Pada gilirannya, hal ini akan dapat mengancam jati diri
bangsa. Atas dasar ini, sudah seharusnya media massa selalu memberikan
perhatian dan kepedulian dalam setiap pemberitaan dan penyiaran informasi agar
secara bertanggung jawab memasukkan pesan-pesan edukatif terkait dengan
substansi pembangunan karakter bangsa.
D.
Pengertian
Karakter, Karakter Bangsa, dan Pembangunan Karakter Bangsa
1. Karakter
Karakter adalah nilai-nilai yang
khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan
berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil
olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau
sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang
yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam
menghadapi kesulitan dan tantangan.
2. Karakter
Bangsa
Karakter bangsa adalah kualitas
perilaku kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran,
pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai
hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau
sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif
kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman,
rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.
3. Pembangunan
Karakter Bangsa
Pembangunan
Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan
ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk
bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks
berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Pembangunan
karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan
dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh
komponen bangsa dan negara.
E.
Alur
Pikir
Alur pikir pembangunan karakter bangsa
dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1: Bagan Alur Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa
BAB
II
KERANGKA
DASAR PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
A.
Konsensus
Dasar Pembangunan Nasional
1.
Pancasila
Pancasila merupakan dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat
fundamental. Selain bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan
perundang-undangan berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber
dari segala sumber hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila
merupakan dasar filosofis dan sebagai perilaku kehidupan. Artinya,
Pancasila merupakan falsafah negara dan pandangan/cara hidup bagi bangsa
Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
untuk mencapai cita-cita nasional. Sebagai dasar negara dan sebagai
pandangan hidup, Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan
dipedomani oleh seluruh warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih dari itu, nilai-nilai
Pancasila sepatutnya menjadi karakter masyarakat Indonesia sehingga Pancasila
menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia.
Oleh karena kedudukan dan fungsinya
yang sangat fundamental bagi negara dan bangsa Indonesia, maka dalam
pembangunan karakter bangsa, Pancasila merupakan landasan utama. Sebagai landasan,
Pancasila merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan
karakter bangsa. Dalam konteks yang bersifat subtansial, pembangunan karakter
bangsa memiliki makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter
Pancasila. Berkarakter Pancasila berarti manusia dan bangsa Indonesia memiliki
ciri dan watak religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan
kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental ini menjadi sumber nilai luhur
yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa.
2.
Undang-Undang
Dasar 1945
Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila
tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus menjadi acuan dalam
pembangunan karakter bangsa adalah norma konstitusional UUD 1945. Nilai-nilai
universal yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus terus dipertahankan
menjadi norma konstitusional bagi negara Republik Indonesia.
Keluhuran nilai yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 memancarkan tekad dan komitmen bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan
pembukaan itu dan bahkan tidak akan mengubahnya. Paling tidak ada empat
kandungan isi dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi alasan untuk tidak
mengubahnya. Pertama, di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma dasar
universal bagi berdiri tegaknya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam
alinea pertama secara eksplisit dinyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan itu dengan
tegas menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dan oleh karena
itu, tidak boleh lagi ada penjajahan di muka bumi. Implikasi dari norma ini
adalah berdirinya negara merdeka dan berdaulat merupakan
sebuah keniscayaan. Alasan kedua adalah
di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma yang terkait dengan tujuan negara
atau tujuan nasional yang merupakan cita-cita pendiri bangsa atas berdirinya
NKRI. Tujuan negara itu meliputi empat butir, yaitu (1) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan
kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Cita-cita itu sangat luhur dan tidak akan lekang
oleh waktu. Alasan ketiga, Pembukaan UUD 1945 mengatur ketatanegaran Indonesia
khususnya tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Alasan keempat adalah
karena nilainya yang sangat tinggi bagi bangsa dan negara Republik Indonesia,
sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat rumusan dasar negara
yaitu Pancasila.
Selain pembukaan, dalam Batang Tubuh
UUD 1945 terdapat norma-norma konstitusional yang mengatur sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, pengaturan hak asasi manusia (HAM)
di Indonesia, identitas negara, dan pengaturan tentang perubahan UUD 1945 yang
semuanya itu perlu dipahami dan dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, dalam pengembangan karakter bangsa, norma-norma konstitusional UUD
1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan untuk kukuh berdirinya negara
Republik Indonesia.
3.
Bhinneka
Tunggal Ika
Landasan ketiga yang mesti
menjadi perhatian semua pihak dalam pembangunan karakter bangsa adalah semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu
bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu dalam ikatan
sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah dan kesamaan
cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan “makmur
dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional UUD
1945.
Keberagaman suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) merupakan suatu keniscayaan dan tidak bisa dipungkiri oleh
bangsa Indonesia. Akan tetapi, keberagaman itu harus dipandang sebagai
kekayaan khasanah sosiokultural, kekayaan yang bersifat kodrati dan alamiah
sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa bukan untuk dipertentangkan, apalagi
dipertantangkan (diadu antara satu dengan lainnya) sehingga terpecah-belah.
Oleh karena itu, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika harus dapat menjadi penyemangat bagi terwujudnya persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia.
4.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan
dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Karakter yang dibangun pada manusia dan bangsa
Indonesia adalah karakter yang memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap
NKRI, bukan karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi
menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air (patriotisme) perlu dikembangkan dalam
pembangunan karakter bangsa. Pengembangan sikap demokratis dan menjunjung
tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter harus diletakkan dalam
bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme), bukan
untuk memecah belah bangsa dan NKRI. Oleh karena itu, landasan keempat yang
harus menjadi pijakan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen
terhadap NKRI.
B.
Lingkungan
Strategis
1. Lingkungan
Global
Globalisasi dalam banyak
hal memiliki kesamaan dengan internasionalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran dan batas-batas suatu negara yang disebabkan adanya
peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di
seluruh dunia melalui berbagai bentuk interaksi. Globalisasi juga dapat memacu
pertukaran arus manusia, barang, dan informasi tanpa batas. Hal itu dapat
menimbulkan dampak terhadap penyebarluasan pengaruh budaya dan nilai-nilai
termasuk ideologi dan agama dalam suatu bangsa yang sulit dikendalikan. Pada
gilirannya hal ini akan dapat mengancam jatidiri bangsa.
Berdasarkan indikasi
tersebut, globalisasi dapat membawa perubahan terhadap pola berpikir dan
bertindak masyarakat serta bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan
generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar
yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu,
diperlukan upaya dan strategi yang tepat dan sesuai agar masyarakat Indonesia
dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi muda
tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi telekomunikasi telah memungkinkan manusia
melakukan komunikasi global, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Perkembangan
yang terjadi di negara lain dalam waktu yang singkat dapat diketahui. Hal ini
banyak dipergunakan negara maju untuk mengembangkan pasar modal yang
memungkinkan mereka melakukan investasi di manapun dengan leluasa tanpa harus
mempertimbangkan batas-batas suatu negara. Di samping itu, perkembangan iptek
juga ikut mengalirkan berbagai informasi yang tidak sesuai dengan budaya
masyarakat, tetapi sangat mudah untuk ditiru sehingga terjadilah perilaku yang
tidak sejalan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
Kepesatan bidang teknologi informasi
dan komunikasi telah membawa perubahan besar di berbagai sektor kehidupan
manusia dan berdampak pada pergeseran nilai dan perilaku kehidupan
bermasyarakat. Arus pertukaran dan persebaran informasi yang cepat melalui
dunia maya (internet) serta pemberitaan media yang bebas dan cenderung tidak
tersaring dengan baik telah membawa dampak terhadap perilaku hidup seseorang.
Salah satu dampak nyata dalam konteks kehidupan bermasyarakat adalah
bergesernya orientasi nilai yang diyakini seseorang dan cara pandangnya
terhadap keberhasilan hidup. Orientasi nilai idealis yang mengedepankan nilai
akhlak, etika, moral, budi pekerti, dan harga diri seringkali tampak tergeser.
Kecenderungan orientasi nilai dalam kehidupan kini bergeser menjadi hedonis
yang berorientasi kepada materi dan lebih bersifat duniawi. Keberhasilan
seseorang dalam kehidupan diukur berdasarkan berapa banyak harta, berapa tinggi
kekuasaan, dan apa jabatan yang diembannya. Seringkali orang lupa diri dan
berlomba-lomba untuk mencari dan mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan
jabatan setinggi-tingginya melalui jalan pintas yang tidak lagi mengindahkan
cara-cara memperolehnya.
Globalisasi dalam bidang ekonomi
ditandai dengan adanya perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian kerja sama
ekonomi telah diluncurkan, seperti kerja sama ekonomi Asia Pasifik
(APEC), perdagangan bebas ASEAN (AFTA),
kesepatakan perdagangan antara negara-negara ASEAN dan China (ACFTA), dan
sebagainya yang pada dasarnya menuntut adanya penyesuaian kepentingan suatu
negara dengan kepentingan negara lain yang lebih luas. Perjanjian tersebut
memaksa suatu negara membuka diri sebagai pangsa pasar dalam proses
perdagangan. Hal ini secara tidak langsung menjadi kendala untuk beberapa
negara di dalam mengembangkan sektor produksinya karena masuknya produk dari
teknologi yang lebih canggih dengan harga yang sangat bersaing.
Dari kenyataan ini terlihat bahwa pada
akhirnya beberapa negara akan mengalami kekalahan dalam persaingan dan
kemenangan ada pada negara lain yang telah menguasai modal dan ipteks. Beberapa
negara pada umumnya hanya memiliki sumber daya alam yang belum mampu diolah
sendiri dan/atau sumber daya manusianya banyak, tetapi rendah kualitasnya.
Kondisi ini kelihatannya masih dialami Indonesia yang kaya akan sumber daya
alam, namun relatif belum mampu mengolah lebih jauh untuk peningkatan nilai
jualnya.
Apabila kondisi tersebut diperhatikan
dengan baik, telah terjadi aliran bahan baku ke luar negeri dengan harga murah
dan masuknya produk berteknologi dengan harga mahal. Hal ini tidak perlu
terjadi, apabila bangsa ini mengembangkan sumber
daya manusia melalui sistem pendidikan yang direncanakan dengan baik dan
konsisten.
Di samping itu, kekuatan ekonomi
internasional sebagai mesin keuangan suatu negara sering dipergunakan sebagai
alat untuk memaksakan kehendak terhadap beberapa negara yang masih tergantung
pada modal dan pinjaman luar negeri. Negara yang memang mengharapkan
mengucurnya pinjaman, akhirnya harus mau menuruti aturan yang dibuat oleh
negara donor.
Perdagangan narkoba merupakan fenomena
dunia yang sampai saat ini masih sangat sulit untuk ditanggulangi. Hal ini
karena jaringannya telah meliputi seluruh dunia dan menggunakan teknologi yang
semakin canggih. Perdagangan gelap narkoba di samping menghasilkan keuntungan
ekonomi yang besar, juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Apapun
latar belakangnya, narkoba akan mengancam masa depan suatu negara karena
konsumen utamanya generasi muda. Apabila pemerintah Indonesia tidak bertindak
tegas untuk memerangi perdagangan narkoba tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
masa depan negara ini akan semakin tidak menentu.
Berdasarkan indikasi tersebut,
globalisasi dapat membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak
masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda
yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak
sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan
upaya dan strategi yang tepat dan sesuai agar masyarakat Indonesia dapat tetap
menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi muda tidak
kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
2. Lingkungan
Regional
Perkembangan
regional dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan perkembangan global
yang mendorong tumbuh-kembangnya kesadaran dan komitmen regional, seperti
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Kesadaran dan komitmen
tersebut mendorong terjadinya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di kawasan tersebut. Perkembangan regional juga
dikaitkan dengan kesamaan karakteristik historis, geopolitik, pertumbuhan
ekonomi, dan kemajuan komunikasi. Interkasi yang diperkuat dengan penyebaran
informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika telah memperkual
kesadaran regional tersebut.
Pada lingkungan
regional, pengaruh globalisasi juga membawa dampak terhadap terkikisnya budaya
lokal di zona negara-negara Asia Tenggara. Dampak tersebut berwujud adanya
ekspansi budaya dari negara-negara maju yang menguasai teknologi informasi.
Meskipun telah dilaksanakan upaya pencegahan melalui program kerja sama
kebudayaan, namun melalui teknologi infomasi yang dikembangkan, pengaruh negara
lain dapat saja masuk. Produk-produk budaya disebarluaskan melalui berbagai
teknologi media yang akhirnya membentuk perilaku baru, kebudayaan baru, dan
kemungkinan jati diri baru. Hal ini tentunya merupakan ancaman bagi pembinaan
sikap, perilaku, dan jati diri sebagai suatu bangsa.
Perkembangan
regional Asia atau lebih khusus ASEAN dapat membawa perubahan terhadap pola
berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan
strategi yang tepat dan sesuai agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga
nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi muda tetap memiliki
kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
3. Lingkungan
Nasional
Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2005 sebanyak 219 juta lebih menjadi potensi yang dapat
diandalkan, apabila kualitas kemampuannya dapat ditingkatkan dengan baik,
sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional. Sumber daya manusia yang
berkualitas menjadi modal dasar perkembangan suatu negara. Dalam kondisi inilah
sebenarnya, makin terlihat pentingnya sistem pendidikan yang baik dan konsisten
bagi kemajuan suatu bangsa. Apabila jumlah penduduk yang besar tersebut tidak
dibina dan dikembangkan dengan baik, hal itu akan menjadi beban anggaran
negara.
Perkembangan
politik di dalam negeri dalam era reformasi telah menunjukkan arah terbentuknya
demokrasi yang baik. Selain itu telah direalisasikan adanya kebijakan
desentralisasi kewenangan melalui kebijakan otonomi daerah. Namun, sampai saat
ini, pemahaman dan implementasi konsep demokrasi dan otonomi serta pentingnya
peran pemimpin nasional masih belum memadai. Sifat kedaerahan yang kental dapat
mengganggu proses demokrasi dan bahkan mengganggu persatuan nasional.
Dorongan untuk
mewujudkan supremasi hukum di negara hukum ini cukup kuat, namun masih
memerlukan kerja keras untuk menjadi lebih baik. Proses penegakan hukum sampai
dengan saat ini masih sangat belum berjalan seperti yang diharapkan. Masih
cukup banyak kasus-kasus hukum yang terlaksana sebagaimana mestinya, belum
memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga berdampak pada
menurunnya tingkat kepercayaan lembaga peradilan, timbul gejala
masyarakat untuk melaksanakan proses peradilan jalanan atau sering disebut
dengan main hakim sendiri.
Keragaman budaya,
bahasa, agama, dan etnis merupakan potensi kekayaan bangsa Indonesia, yang
dapat dikembangkan untuk menarik wisatawan luar negeri. Potensi tersebut juga
didukung oleh potensi alam yang relatif indah, sehingga dapat mendatangkan
devisa bagi negara melalui sektor pariwisata budaya atau alam. Namun potensi
tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.
Keamanan nasional
merupakan bagian pokok dalam upaya untuk mewujudkan stabilitas nasional, dan
selalu dipertanyakan oleh para investor setiap akan mengembangkan usahanya di
Indonesia. Keamanan nasional selalu menjadi pertanyaan pertama dari investor
luar negeri sebelum mereka menanamkan modalnya di Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan kebijakan Nasional yang jelas dan tegas dalam kaitannya dengan
keamanan nasional, agar aparat keamanan dan sistemnya mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Harus diakui bahwa
banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia sejak lebih dari enam puluh
tahun merdeka. Pembangunan fisik dimulai dari zaman orde lama, orde baru, orde
reformasi hingga pasca reformasi terasa sangat pesat, termasuk pembangunan
infrastruktur pendukung pembangunan yang mencapai tingkat kemajuan cukup
berarti. Misalnya, jaringan listrik, jaringan komunikasi, jalan raya, berbagai
sumber energi, serta prasarana dan sarana pendukung lainnya. Kemajuan fisik
yang terlihat kasat mata adalah banyaknya gedung bertingkat di kota-kota besar
di Indonesia yang mengindikasikan kemajuan bangsa Indonesia dalam bidang
pembangunan. Selain itu, kemajuan penting yang dicapai dalam tata pemerintahan
adalah diluncurkannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah pada tahun 2001 yang
memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota untuk
membangun daerah dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya.
Kemajuan di bidang
fisik harus diimbangi dengan pembangunan nonfisik, termasuk membangun karakter
dan jati diri bangsa agar menjadi bangsa yang kukuh dan memiliki pendirian yang
teguh. Sejak zaman sebelum merdeka hingga zaman pasca reformasi saat ini
perhatian terhadap pendidikan dan pengembangan karakter terus mendapat
perhatian tinggi. Pada awal kemerdekaan pembangunan pendidikan menekankan
pentingnya jati diri bangsa sebagai salah satu tema pokok pembangunan karakter
dan pekerti bangsa. Pada zaman Orde Lama, Nation
and Character Building merupakan pembangunan karakter dan pekerti bangsa.
Pada zaman Orde Baru, pembangunan karakter bangsa dilakukan melalui mekanisme
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada zaman Reformasi,
sejumlah elemen kemasyarakatan menaruh perhatian terhadap pembangunan karakter
bangsa yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan.
C. Permasalahan Bangsa Saat
Ini
1. Disorientasi
dan belum Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi
Bangsa
Pancasila sebagai
kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber dari budaya
Indonesia telah menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ideologi negara
dan sebagai dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup mengandung makna
bahwa hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh moral
dan etika yang dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan kepribadian manusia
Indonesia yang proporsional baik dalam hubungan manusia dengan yang maha
pencipta, dan hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan antara
manusia dengan lingkungannya. Namun dalam kehidupan masyarakat prinsip tersebut
tampak belum terlaksana dengan baik. Kekerasan (domestik maupun nasional) dan
hempasan globalisasi sampai kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih
belum dapat diatasi.
Masalah tersebut
muncul karena telah terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai
Pancasila yang diakui kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai sumber
karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup
perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola
pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya
bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah
Indonesia.
2. Keterbatasan
Perangkat Kebijakan Terpadu dalam Mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila
Substansi hukum,
baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sudah tertuang secara implisit
maupun eksplisit dalam produk-produk hukum yang ada. Substansi hukum mengarah
pada pemenuhan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, terutama dalam
pemenuhan rasa keadilan di depan hukum. Namun demikian berbagai kebijakan dan
produk hukum tersebut masih belum sepenuhnya dapat mengakomodasi
kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila sebagai landasan dalam
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya, maka penanaman
nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan sarana membangun karakter bangsa,
meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta menumbuhkembangkan etika kehidupan
berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia belum optimal. Oleh karena itu,
pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua lapisan masyarakat Indonesia
perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.
3. Bergesernya
Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pembangunan
nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang
mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat
dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak
dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai
budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan,
sopan santun, kejujuran, rasa malu dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin
memudar. Perilaku korupsi masih banyak terjadi, identitas
ke-"kami"-an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas
ke-"kita"-an, kepentingan kelompok, dan golongan seakan masih menjadi
prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan dan dijadikan sebagai ruang
pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan kekerasan masih saja terjadi
di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak penyelesaian masalah yang
cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi demontrasi mahasiswa dan
masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan, merusak lingkungan,
bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya dijunjung
dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran
nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi
kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa,
kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum,
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat.
4. Memudarnya
Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di
bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya
pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya
global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga
penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika
berdampak tehadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut
manyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif
menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin
memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih
menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian,
bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya
penghargaan terhadap produk dalam negeri.
Berdasarkan
indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir
dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan
generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar
yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu,
diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap
menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan
kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
5. Ancaman
Disintegrasi Bangsa
Ancaman dan
gangguan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah
sangat terkait dengan posisi geografis Indonesia, kekayaan alam yang melimpah,
serta belum tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama pemahaman masalah
multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan separatis dan konflik
horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan antardaerah,
primordialisme yang tak terkendali, dan dampak negatif implementasi otonomi
daerah cenderung mengarah kepada terjadinya berbagai permasalahan di daerah.
6. Melemahnya
Kemandirian Bangsa
Kemampuan bangsa
yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya
saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan
globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa
tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas
dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian
aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya,
pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan
kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap
ketergantungan masyarakat dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap
bangsa lain. Konsekuensinya bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang
memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak jarang menerima kehendak negara
donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga
tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan produk asing sebagai
primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa
Indonesia dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia
internasional.
D. Konsep
Jati Diri dan Esensi Karakter Bangsa
Jati diri
merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang
selama mata hati manusia bersih, sehat, dan tidak tertutup. Jati diri yang
dipengaruhi lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter
akan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, tugas
kita adalah menyiapkan lingkungan yang dapat mempengaruhi jati diri menjadi
karakter yang baik, sehingga perilaku yang dihasilkan juga baik.
Karakter pribadi-pribadi akan berakumulasi menjadi
karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan
Negara Republik Indonesia, diperlukan karakter yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan
berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karakter yang
berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke
lima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1.
Bangsa
yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai
karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter
Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain hormat dan
bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak
memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
2.
Bangsa
yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sikap dan perilaku menjunjung tinggi
kemanusian yang adil dan beradab diwujudkan dalam perilaku hormat menghormati
antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang
tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan
kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang
lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati.
3.
Bangsa
yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan
persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tecermin dalam sikap menempatkan
persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan
pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menunjung
tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.
Bangsa
yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Sikap dan perilaku demokratis yang
dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara
Indonesia. Karakter kerakyatan
seseorang tecermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan
negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah
untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad
baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan
akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil
keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Bangsa
yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan
Komitmen dan sikap untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin antara lain
dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban;
hormat terhadap hak-hak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap
pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka
bekerja keras; menghargai karya orang lain.
E. Karakter
yang Diharapkan
Untuk mencapai karakter bangsa yang
diharapkan sebagaimana tersebut di atas, diperlukan individu-individu yang
memiliki karakter. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan karakter bangsa
diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk membangun karakter individu (warga
negara). Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan
empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkenaan
dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan
menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan
penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang
tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan.
Karakter individu yang dijiwai oleh
sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.
Karakter
yang bersumber dari olah hati, antara
lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil,
tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko,
pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik;
2.
Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis,
kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif;
3.
Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan
sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif,
determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih;
4.
Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan,
saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis,
peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air
(patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja
keras, dan beretos kerja.
Olah hati, olah pikir, olah raga, serta
olah rasa dan karsa sebenarnya saling terkait satu sama lainnya. Oleh sebab
itu, banyak aspek karakter yang dapat dijelaskan sebagai hasil dari beberapa
proses.
BAB
III
ARAH
SERTA TAHAPAN DAN PRIORITAS
PEMBANGUNAN
KARAKTER BANGSA TAHUN 2010—2025
A. Arah dan Sasaran
Pembangunan karakter bangsa diarahkan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan
nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun
2005—2025, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang maju, mandiri, dan
adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil
makmur dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi tersebut,
pembangunan nasional jangka panjang diarahkan untuk mengemban misi
sebagai berikut.
1.
Mewujudkan masyarakat Indonesia yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan berkeadaban;
2.
Mewujudkan bangsa yang berdaya saing
untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera;
3.
Mewujudkan Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum, dan berkeadilan;
4.
Mewujudkan rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya
keutuhan wilayah NKRI dan kedaulatan negara dari ancaman, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri;
5.
Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan;
6.
Mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari;
7.
Mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;
8.
Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Pembangunan karakter bangsa yang
diemban pada misi pertama mengarahkan pada terwujudnya masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila. Hal ini mengandung arti memperkuat jati diri dan karakter bangsa
melalui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa; mematuhi aturan hukum; memelihara kerukunan internal dan
antarumat beragama; melaksanakan interaksi antarbudaya; mengembangkan modal
sosial; menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; dan memiliki kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral,
dan etika pembangunan bangsa.
Secara eksplisit, keberhasilan pembangunan
karakter bangsa ditandai dengan tercapainya sasaran sebagai berikut.
1.
Terwujudnya karakter bangsa yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila
dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Makin mantapnya budaya bangsa yang
tecermin dalam meningkatnya harkat dan martabat manusia Indonesia, serta
menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa.
B. Tahapan dan Prioritas
Untuk mencapai misi, pembangunan
karakter bangsa jangka panjang 2010—2025 membutuhkan tahapan dan skala
prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan pentingnya
permasalahan yang hendak diselesaikan tanpa mengabaikan permasalahan lainnya.
Oleh karena itu, skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda, namun semua itu
harus berkesinambungan dari periode ke periode berikutnya dalam rangka
mewujudkan sasaran pokok pembangunan karakter yang ditetapkan. Tahapan dan
skala prioritas pembangunan karakter dapat disusun sebagai berikut.
1. Tahap I dan Prioritas 2010 – 2014
Tahap ini merupakan fase konsolidasi
dan implementasi dalam rangka (1) penyadaran pentingnya pembangunan karakter,
peningkatan komitmen terhadap kebangsaan Indonesia, serta peningkatan etika
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) penyusunan
perangkat kebijakan yang terpadu dan memberdayakan seluruh subjek yang terkait
agar dapat melaksanakan pembangunan karakter bangsa secara efektif.
Pada tahap I ini, implementasi
pembangunan karakter bangsa diarahkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang menyadari dan meyakini kembali Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup
bangsa. Para pimpinan pada tataran suprastruktur dan infrastruktur di
birokrasi dan penyelenggara negara yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan
yudikatif sebagai pemeran utama harus mampu memberikan contoh keteladanan
berperilaku yang berkarakter. Jajaran penyelenggara negara perlu menetapkan
bahwa tanggung jawab membangun karakter bangsa adalah tanggung jawab pemerintah
bersama masyarakat. Keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat dapat
dijadikan lingkungan awal pembelajaran karakter. Satuan pendidikan sebagai
kepanjangan keluarga melanjutkan pembelajaran karakter melalui pendekatan yang
menekankan keteladanan, pembimbingan, pembiasaan, dan penguatan melalui
kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Masyarakat pada
hakikatnya merupakan lingkungan yang memberikan kontribusi proses pembelajaran
karakter bagi warga negara maupun kelompok yang saling berinteraksi. Media
massa, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh seni, dan yang
lainnya harus mampu dan mau memberikan informasi dan kontribusi yang positif
dan edukatif bagi penanaman nilai-nilai karakter. Evaluasi dan monitoring atas
implementasi tahap I dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Hasil evaluasi dan minitoring tahap I bermanfaat
untuk umpan balik dan pemantapan persiapan implementasi tahap II.
2. Tahap II dan Prioritas 2015 – 2019
Tahap II merupakan fase pemantapan
strategi dan implementasi. Prioritas pada tahap ini adalah melakukan pemantapan
strategi dan implementasi pembangunan karakter. Prioritas tersebut berbentuk
(1) pengukuhan nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; (2) pengukuhan pelaksanaan pembangunan karakter bangsa. Pada tahap
ini dimantapkan hasil-hasil penyadaran mengenai pembangunan karakter bangsa
serta implementasinya sehingga menjadi perilaku nyata secara perorangan
maupun kolektif. Kesadaran dan pemahaman akan nilai-nilai baik karakter bangsa
akan semakin kukuh jika didesain melalui perilaku konkret secara personal dan
antarpersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Strategi
dan implementasi pembangunan karakter dimantapkan melalui kegiatan nyata yang
dilakukan oleh keluarga, komunitas, atau masyarakat dengan cara dan bentuk yang
sesuai dengan budaya lokal dan nasional, serta budaya global yang diadaptasi
melalui proses akulturasi. Hasil tahap ini adalah terbentuknya masyarakat yang
menjunjung etika dan berkemampuan tinggi dalam memanifestasikan nilai-nilai
luhur budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi dan monitoring atas
implementasi tahap II dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Hasil evaluasi dan minitoring tahap II
bermanfaat untuk umpan balik dan pemantapan persiapan implementasi tahap III.
3. Tahap III dan Prioritas 2020 – 2025
Tahap III merupakan fase pengembangan
berkelanjutan dari hasil yang telah dicapai pada tahap I dan II. Pengembangan
dilakukan dengan upaya memaksimalkan faktor-faktor pendukung keberhasilan dan
meminimalkan faktor penyebab kegagalan melalui proses monitoring dan evaluasi
secara berkelanjutan. Keberhasilan gerakan penyadaran pengembangan karakter
bangsa serta pemantapan strategi dan pengembangan implementasi merupakan modal
sosial yang sangat besar untuk melakukan langkah-langkah dalam tataran makro
secara nasional. Oleh karena itu, tahap III mengarah pada prioritas peningkatan
ketahanan nasional bangsa Indonesia dengan memupuk semangat persatuan dan
kesatuan, toleransi antarumat beragama, antarsuku bangsa, antarras, antaradat,
dan menjunjung tinggi kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender.
Akhirnya akan timbul kesadaran kolektif bahwa perbedaan itu merupakan
sebuah anugerah dan ke-bhineka-an itu merupakan kekuatan ketahanan nasional
yang perlu dikukuhkan secara berkelanjutan dalam menjaga keutuhan NKRI.
Ketahanan nasional
diupayakan dengan cara melakukan proses pengembangan karakter bangsa untuk
menangkal dan meminimalkan sumber-sumber konflik bangsa.
Pada gilirannya, ketahanan nasional dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan akan sangat mudah tercipta jika
nilai-nilai karakter bangsa dapat terinternalisasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hasil pada tahap III ini mengarah pada
terwujudnya bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi
Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
BAB IV
STRATEGI PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
A. Strategi Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Sosialisasi
Sosialisasi dimaknai sebagai usaha
sadar dan terencana untuk membangkitkan kesadaran dan sikap positif terhadap
pembangunan karakter bangsa guna mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia,
berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Kunci utama
pembentukan karakter dan bangsa adalah budaya yang lahir dari kebiasaan dan
disosialisasikan berulang-ulang. Sosialisasi sebagai salah satu strategi
pembangunan karakter bangsa dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat
atau kelompok masyarakat tentang kondisi negara dan bangsa, terutama yang
terkait dengan karakter bangsa. Dalam sosialisasi, akan terjadi proses
penanaman, transfer nilai, dan pembakuan kebaikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Secara umum, sosialisasi diartikan sebagai proses
penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu
atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak langsung. Di
samping itu, sosialisasi juga bermakna interaksi manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja, tidak terbatas pada
bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk ekspresi
seni dan teknologi. Fungsi sosialisasi dalam hal ini adalah untuk
menginformasikan, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi.
Manusia pada hakikatnya memiliki daya cipta, rasa dan karsa
dalam kehidupannya. Untuk menjaga eksistensi dan identitas jatidiri, manusia
dengan daya cipta rasa dan karsa mampu menghasilkan karya baik yang berdimensi
materiil maupun non materiil (spiritual). Dimensi materiil
mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu yang
bersifat kebendaan. Dimensi spiritual mengandung cipta dan rasa yang
menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Manusia berusaha mendapatkan
ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah-kaidah
melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Hal itu semuanya
merupakan kebudayaan.
Kebudayaan sebenarnya dimiliki oleh
setiap masyarakat. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat, berkembang
pula pola-pola perilaku baru yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai
normatif kebudayaan setempat sehingga menjadi pembiasaan. Padahal dapat saja
nilai-nilai baru tersebut bertentangan dengan nilai luhur yang telah ada dan
akibatnya justru membawa arah kebudayaan itu kepada kehancuran, bahkan mampu
menghilangkan karakter dan jati diri bangsa.
Pada tahap inilah diperlukan
rambu-rambu atau aturan terhadap unsur-unsur normatif kebudayaan, yakni
penilaian apa yang seharusnya dan
kepercayaan agar tidak terjadi pembiasaan-pembiasaan terhadap tata
kelakuan yang menyimpang sehingga arah pembangunan kebudayaan menuju ke arah
yang lebih baik.
Memperhatikan hal
tersebut, proses sosialisasi terkait karakter bangsa menjadi sangat penting.
Tanpa sosialisasi, proses penyadaran akan terabaikan dan selanjutnya dapat
berujung pada hilangnya tradisi dan kebiasaan baik, yakni hilangnya nilai-nilai
sosial budaya dan lunturnya karakter dari sebuah bangsa.
Agar sosialisasi
dapat berlangsung efektif dan efisien, maka pemilihan media dan target
sasaran menjadi sangat penting. Disadari atau tidak perkembangan teknologi
informasi dengan media sebagai piranti utama, berimplikasi pada tatanan
kehidupan umat manusia dalam berbagai dimensinya, baik dalam dimensi politik,
ekonomi, sosial budaya, maupun agama. Kondisi ini patut diwaspadai sehingga
masyarakat tidak terjebak pada kemajuan teknologi informasi semata tanpa
berupaya. Dengan demikian, unsur media (cetak, elektronik, tradisional) harus
diposisikan sebagai mitra strategis dalam upaya pembangunan karakter bangsa
utamanya dalam hal sosialisasi.
Di samping unsur
media, hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penentuan
kelompok-kelompok sasaran sehingga dampak sosialisasi segera merambah pada
setiap anak bangsa, terutama generasi muda. Pada dasarnya kelompok sasaran
adalah seluruh warga negara Indonesia, yang lebih difokuskan pada generasi
muda. Adapun sasaran adalah pemerintah, dunia usaha dan industri, satuan
pendidikan, organisasi sosial kemasyarakatan/ profesi, organisasi sosial
politik, dan media massa.
B. Strategi Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan
Pendidikan karakter adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan
pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok
yang unik-baik sebagai warga negara. Hal itu diharapkan mampu memberikan
kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan merupakan tulang punggung
strategi pembentukan karakter bangsa. Strategi pembangunan karakter
bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan pendidikan, pembelajaran, dan
fasilitasi. Dalam konteks makro, penyelenggaraan pendidikan karakter
mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengendalian mutu yang melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku
kepentingan pendidikan nasional.
Peran pendidikan sangat strategis
karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi
faktor politik dan ekonomi, pendidikan juga dipengaruhi faktor sosial budaya,
khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial.
Disadari bahwa pembangunan
karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan
pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa
sangat berpengaruh pada aspek ekonomi (perdagangan global) yang mengakibatkan
berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Pada aspek
sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial
seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus
akan berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan
budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya
toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, dan itu
semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai
warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan
sebagai modal utama menghalangi virus-virus penghancur tersebut, masa depan
bangsa ini dapat diselamatkan.
Secara makro pengembangan
karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali,
dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara
lain pertimbangan (1) filosofis: Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003
beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) teoretis: teori tentang
otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosial-kultural; (3)
empiris: berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan
pendidikan unggulan, pesantren, kelompok kultural, dll.
Pada tahap implementasi
dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara
pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan
melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai
salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung
dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman
belajar yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi.
Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan
kegiatan yang terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna,
peran guru sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu
dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi dan penguatan yang
memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di
lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan
menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan
melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian
contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara
sistemik, holistik, dan dinamis.
Pelaksanaan pendidikan
karakter dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,
merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan
nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya
sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi,
kesehatan, hukum dan hak asasi manusia, serta pemuda dan olahraga juga sangat
dimungkinkan.
Pada tahap evaluasi hasil,
dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan
dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik
sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu
berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan pikiran yang
argumentatif.
Pada konteks makro, program pendidikan
karakter bangsa dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar
2: Konteks Makro Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dalam
konteks mikro, berpusat
pada satuan pendidikan secara holistik.
Satuan pendidikan merupakan sektor utama yang secara optimal memanfaatkan dan
memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi,
memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses
pendidikan karakter di satuan pendidikan. Pendidikanlah yang akan melakukan
upaya sungguh-sungguh dan senantiasa menjadi garda depan dalam upaya
pembentukan karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya. Pengembangan karakter
dibagi dalam empat pilar, yakni
kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk
pengembangan budaya satuan pendidikan; kegiatan
ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di
rumah dan masyarakat.
Pendidikan karakter dalam
kegiatan belajar-mengajar di kelas, dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
terintegrasi dalam semua mata pelajaran.
Khusus, untuk materi Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan – karena
memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap – pengembangan karakter
harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode
pendidikan karakter. Untuk kedua mata
pelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran dan juga
dampak pengiring. Sementara itu mata pelajaran lainnya, yang secara formal
memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib mengembangkan rancangan
pembelajaran pendidikan karakter yang diintegrasikan kedalam substansi/kegiatan
mata pelajaran sehingga memiliki dampak pengiring bagi berkembangnya karakter
dalam diri peserta didik.
Lingkungan satuan pendidikan
perlu dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural satuan pendidikan
memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya
terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan
perwujudan karakter yang dituju. Pola ini ditempuh dengan melakukan pembiasaan
dengan pembudayaan aspek-aspek karakter dalam kehidupan keseharian di sekolah
dengan pendidik sebagai teladan.
Dalam kegiatan ko-kurikuler
(kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada materi suatu mata
pelajaran) atau kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan satuan pendidikan yang
bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti
kegiatan Kepramukaan, Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, Liga
Pendidikan Indonesia, dll.) perlu dikembangkan proses pembiasaan dan
penguatan dalam rangka pengembangan karakter.
Kegiatan
ekstrakurikuler dapat diselenggarakan melalui kegiatan olahraga dan seni dalam
bentuk pembelajaran, pelatihan, kompetisi atau festival. Berbagai kegiatan
olahraga dan seni tersebut diorientasikan terutama untuk penanaman dan
pembentukan sikap, perilaku, dan kepribadian para pelaku olahraga atau seni
agar menjadi manusia Indonesia berkarakter. Kegiatan ekstrakurikuler yang
diselenggarakan oleh gerakan pramuka dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi
muda sebagai calon pemimpin bangsa yang memiliki watak, kepribadian, dan akhlak
mulia serta keterampilan hidup prima.
Di lingkungan keluarga dan
masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta
tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di
satuan pendidikan sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di
lingkungan masyarakat masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite
sekolah, pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang berhubungan
dengan kumpulan kegiatan sekolah dan keluarga yang bertujuan menyamakan langkah
dalam membangun karakter di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.
Program pendidikan karakter pada konteks
mikro dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 3: Konteks Mikro
Pendidikan Karakter
Dengan prinsip yang sama,
pendidikan karakter dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang
diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan, kursus
kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan singkat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun organisasi massa. Demikian pula
pendidikan karakter dapat dilakukan pada kegiatan kemasyarakatan lainnya,
seperti kegiatan karang taruna, keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau
kegiatan pelatihan penanggulangan bencana alam.
Pendidikan nonformal yang
dilaksanakan pada lingkup dunia usaha berbentuk pendidikan dan pelatihan calon
pegawai, pelatihan kewirausahaan, pelatihan kepemimpinan, dan pelatihan
keterampilan profesi. Pada lingkup masyarakat politik dilakukan bentuk pelatihan
dan kaderasisasi partai, pelatihan kepemimpinan, pelatihan etika politik dan
pembudayaan politik. Sedangkan pada lingkup media masa, pendidikan nonformal
berupa pelatihan dasar komunikasi, pelatihan kode etik jurnalistik, dan
pemahaman profesi jurnalis dan pelatihan transaksi elektronik.
Pendidikan karakter pada
kegiatan pendidikan dan latihan nonformal serta kegiatan kemasyarakatan
tersebut dapat diarahkan untuk menanamkan kepedulian sosial, jiwa patriotik,
kejujuran, dan kerukunan berkehidupan dalam masyarakat serta untuk
mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa yang memiliki watak,
kepribadian, dan akhlak mulia. Pendidikan karakter pada pendidikan nonformal
dilaksanakan dengan pendekatan holistik dan terintegrasi pada setiap aspek pekerjaan
atau kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi pembangunan
karakter bangsa melalui program pendidikan memerlukan dukungan penuh dari
pemerintah yang dalam hal ini berada di jajaran Kementerian Pendidikan
Nasional. Oleh karena itu, fasilitasi
yang perlu didukung berupa hal-hal sebagai berikut.
1.
Pengembangan kerangka dasar
dan perangkat kurikulum; inovasi pembelajaran dan pembudayaan karakter;
standardisasi perangkat dan proses penilaian; kerangka dan standardisasi media
pembelajaran yang dilakukan secara sinergis oleh pusat-pusat di lingkungan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional.
2.
Pengembangan satuan
pendidikan yang memiliki budaya kondusif bagi pembangunan karakter dalam
berbagai modus dan konteks pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi
dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait di lingkungan
Kementerian Pendidikan Nasional.
3.
Pengembangan kelembagaan
dan program pendidikan nonformal dan informal dalam rangka pendidikan
karakter melalui berbagai modus dan konteks dilakukan secara sistemik
oleh semua direktorat terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini, Nonformal dan Informal.
4.
Pengembangan dan penyegaran
kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, baik di jenjang pendidikan usia
dini, dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang relevan dengan pendidikan
karakter dalam berbagai modus dan konteks dilakukan secara sistemik oleh semua
direktorat terkait.
5.
Pengembangan karakter peserta
didik di perguruan tinggi melalui penguatan standar isi dan proses, serta
kompetensi pendidiknya untuk kelompok Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK) dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB); penelitian dan
pengembangan pendidikan karakter; pembinaan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan; pengembangan dan penguatan jaringan informasi profesional
pembangunan karakter dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat terkait.
C. Strategi Pembangunan Karakter Bangsa melalui Pemberdayaan
Pemberdayaan
merupakan salah satu strategi pembangunan karakter bangsa yang diarahkan untuk
memampukan para pemangku kepentingan dalam rangka menumbuhkembangkan
partisipasi aktif mereka dalam pembangunan karakter.
Lingkungan keluarga
merupakan wahana pendidikan karakter yang pertama dan utama. Oleh karena itu
orang tua perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga memiliki kemampuan untuk
melakukan pembinaan dan pengembangan karakter. Pemberdayaan dilingkup keluarga
dilakukan melalui: (1) penetapan regulasi yang mendorong orang tua dapat
berinteraksi dengan sekolah, dan lembaga pendidikan yang terkait pembangunan
karakter; (2) pemberian pelatihan dan penyuluhan tentang pendidikan karakter;
(3) pemberian penghargaan kepada para tokoh-tokoh atau orang tua yang telah
menunjukkan komitmennya dalam membangun karakter di lingkungan keluarga; dan
(4) peningkatan komunikasi pihak sekolah dan lembaga pendidikan terkait
dengan orang tua.
Satuan pendidikan merupakan
wahana pembinaan dan pengembangan karakter siswa yang dilakukan secara formal
di lingkungan sekolah. Adapun pemberdayaannya dapat dilakukan melalui: (a)
regulasi tentang pengintegrasian pembelajaran karakter dalam semua mata
pelajaran, (b) meningkatkan kapasitas sekolah bagai wahana pendidikan karakter
melalui pelatihan para guru; (c) penyediaan sumber-sumber belajar yang terkait
dengan upaya pengembangan karakter siswa; (d) pemberian penghargaan kepada
satuan pendidikan yang telah berhasil mengembangkan budaya karakter.
Pemerintahan merupakan
unsur utama dalam pembangunan karakter bangsa. Hal ini karena pemerintah
merupakan salah satu unsur yang memiliki kemampuan atau kelengkapan paling baik
diantara pemangku kepentingan dalam upaya membangun karakter bangsa. Untuk itu
pemberdayaan terhadap pemerintah adalah sangat strategis, yang dapat dilakukan
melalui: (1) regulasi tentang kebijakan wahana pembangunan karakter
bangsa secara terpadu; (2) peningkatan kapasitas penyelenggara pemerintahan
terkait dengan pembangunan karakter; (3) pemantapan peran pemerintah dalam
pemberian fasilitasi dalam rangka pembangunan karakter bangsa; dan (4)
pemantapan fungsi pemerintah sebagai pemberi arah untuk meneruskan
kebijakan-kebijakan pembangunan karakter bangsa yang telah diwujudkan kepada
semua jajaran agar dipahami, dihayati dan diterapkan dalam etika
berbangsa dan bernegara.
Pemberdayaan masyarakat
khususnya masyarakat sipil merupakan salah satu strategi efektif dalam
pembinaan dan pengembangan karakter. Langkah-langkah perberdayaan yang dapat
dilaksanakan antara lain: (1) regulasi tentang pentingnya penyadaran
pembangunan karakter bangsa; (2) memfasilitasi organisasi profesi, organisasi
keagamaan, organisasi pemuda, organisasi usia lanjut yang bergerak dibidang
pembangunan karakter bangsa.
Organisasi dan partai
politik merupakan wahana yang sangat potensial dalam membangun karakter bangsa,
karena di sana terhimpun masyarakat yang memiliki potensi untuk dikembangkan
secara masif dalam hal pembangunan karakter bangsa. Pemberdayaan masyarakat
politik menjadi penting dilakukan sehingga tumbuh partai politik dan organisasi
politik yang berkemampuan dan penuh percaya dalam mengembangkan karakter bangsa
terutama bagi anggotanya. Langkah-langkah pemberdayaan yang bisa dilakukan
untuk masyarakat politik, diantaranya: (1) pengembangan kesadaran budaya bangsa
melalui berbagai wacana dan media terhadap pentingnya penanaman nilai-nilai
politik demokratis berdasarkan Pancasila, penghormatan atas HAM, nilai-nilai
persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi politik; (2) regulasi
perumusan aspek-aspek politik bagi upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) sebagai prasyarat terciptanya budaya politik yang egaliter, toleran dan damai; (3)
fasilitasi upaya-upaya pengembangan wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai
pentingnya memelihara persatuan bangsa; dan (4) fasilitasi upaya politik
bagi penyempurnaan kurikulum sekolah-sekolah dengan muatan budaya lokal
berintikan nilai–nilai budaya Demokrasi, HAM dan Etika Politik.
Dunia usaha memiliki
peluang yang sangat besar untuk berperan sebagai komponen pembangun karakter
bangsa. Adapun langkah-langkah pemberdayaan dapat dilakukan untuk pemberdayaan
dunia usaha dan industri mencakup: (1) pengembangan kapasitas pembangunan
karakter bangsa pada jajaran manajemen dunia usaha; (2) iklim yang mengarah
pada penumbuhan kesadaran untuk membangun karakter bangsa di lingkungan
karyawan perusahaan; dan (3) regulasi yang dapat menumbuhkan
kemandirian dan daya saing produk perusahaan.
Media massa memiliki fungsi
yang sangat strategis dalam membentuk karakter bangsa, karena pemberitaan/
penyiarannya mengandung informasi yang dapat memberikan pengaruh positif atau
negatif terhadap publik. Langkah-langkah pengembangan yang dapat dilakukan
untuk memberdayakan media massa, antara lain: (1) regulasi tentang pentingnya
melalui media massa dalam membangun karakter; (2) pengembangan kapasitas
melalui berbagai pelatihan tentang pembangunan karakter terhadap komunitas
pers; dan (3) penghargaan kepada insan media massa yang berhasil mengembangkan
pembangunan karakter bangsa.
D. Strategi Pembangunan
Karakter Bangsa melalui Pembudayaan
Strategi
pembangunan karakter bangsa melalui pembudayaan dilakukan melalui keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat, dunia usaha, partai politik, dan media massa.
Strategi pembudayaan menyangkut pelestarian, pembiasaan, dan pemantapan
nilai-nilai baik guna meningkatkan martabat sebuah bangsa. Strategi tersebut
dapat berwujud pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah
dan hukuman.
Keluarga
merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang. Pendidikan dalam
keluarga sangat berperan dalam mengembangkan karakter, nilai-nilai
budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Dalam
konteks ini proses sosialisasi dan enkulturasi terjadi secara berkelanjutan.
Hal ini bertujuan untuk membimbing anak agar menjadi manusia yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, tangguh, mandiri, kreatif, inovatif,
beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan, dan lain sebagainya.
Peran orang tua dalam membentuk
karakter anak sangat penting. Salah satunya dengan mengajarkan cara berbahasa
dalam pergaulan sehari-hari kepada anak. Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa dikembangkan,
yaitu pembiasaan-pembiasaan lainnya sesuai lingkungan/budaya masing-masing,
misalnya: membiasakan menghargai hasil karya anak walau bagaimana pun bentuknya
dan tidak membandingkan hasil karya anak sendiri dengan anak lain atau
temannya.
Keluarga dapat berperan
sebagi fondasi dasar untuk memulai langkah-langkah pembudayaan karakter melalui
pembiasaan bersikap dan berperilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan.
Pembiasaan yang disertai dengan teladan dan diperkuat dengan penanaman
nilai-nilai yang mendasari secara bertahap akan membentuk budaya serta
mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara itu
lingkungan keluarga dapat menjadi pola penting dalam pembudayaan karakter bangsa
bagi anak dan generasi muda.
Dalam kehidupan sehari-hari
di lingkungan satuan pendidikan, perlu diterapkan totalitas pendidikan dengan
mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan hal-hal baik
melalui berbagai tugas dan kegiatan. Pada dasarnya, pembudayaan lingkungan di
satuan pendidikan dapat dilakukan melalui: 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3)
pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan. Semuanya
mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan karakter peserta didik.
Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan. Hal itu antara lain dapat
dijumpai dalam kegiatan kepramukaan yang mengandung pendidikan kesederhanaan,
kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan, dan
kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani,
penanaman sportivitas, kerja sama dan kegigihan untuk berusaha.
Langkah
pertama dalam mengaplikasikan pendidikan karakter dalam satuan pendidikan
adalah menciptkan suasana atau iklim satuan pendidikan yang berkarakter yang
akan membantu transformasi pendidik, peserta didik, dan tenaga kependidikan
menjadi warga satuan pendidikan yang berkarakter. Hal ini termasuk perwujudan
visi, misi, dan tujuan yang tepat untuk satuan pendidikan. Semua langkah dalam
model pembelajaran nilai-nilai karakter ini akan saling berkontribusi terhadap
budaya satuan pendidikan dan meningkatkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Kepribadian
seseorang dapat diperoleh melalui proses yang dialami sejak kelahiran.
Pada tahap itu, ia mulai mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku
dalam masyarakatnya dengan cara mengadakan hubungan dengan orang lain.
Nilai-nilai dan norma luhur yang telah ada, pada saatnya nanti tentu akan
mengalami gesekan-gesekan dengan nilai baru yang mau tidak mau akan dijumpai.
Pada tahap inilah maka diperlukan sebuah internalisasi nilai yang kuat yang
perlu dibangun dan dilaksanakan sejak dini agar masyarakat maupun warga negara
sebagai entitas di dalamnya mampu menyaring berbagai dampak tersebut sehingga
tidak akan kehilangan jati dirinya.
Pembudayaan
di masyarakat ini dapat dilakukan melalui keteladaan tokoh masyarakat,
pembiasaan nilai-nilai di lingkungan masyarakat, pembinaan dan pengembangan
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, penegakan aturan yang berlaku.
Pemerintah
harus menjadi teladan bagi pembudayaan karakter bangsa karena pemerintah harus
dapat menjadi contoh warganya. Pemerintahan yang baik mencerminkan masyarakat
yang baik. Masyarakat yang berkarakter mencerminkan warga negara yang
berkarakter. Pemerintah dengan demikian harus selalu di
garda depan dalam pembudayaan karakter dengan segala manifestasinya. Selain
keteladan, pembudayaan dalam lingkup pemerintah dapat dilakukan dengan pembiasaan nilai-nilai di lingkungan pemerintah, peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta penegakan aturan.
Pembudayaan
dalam lingkup masyarakat politik dapat dilakukan melalui keteladaan tokoh
politik, pembiasaan nilai-nilai di lingkungan partai politik, santun dan
beretika dalam berpolitik, peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta penegakan aturan.
Pembudayaan
di dunia usaha/dunia industri dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan sebagai
berikut: (1) informasi-informasi yang luas, aktual dan akurat agar dapat
membuka ketertutupan pandangan dan wawasan, sehingga menimbulkan gairah untuk
melakukan sesuatu yang diperlukan untuk tumbuh kemauan dan keinginan
berprestasi, (2) motivasi dan arahan yang dapat menumbuhkan semangat untuk
melaksanakan sesuatu atau beberapa tugas pekerjaan dengan adanya kepercayaan
diri yang kuat, sehingga ada gairah untuk mewujudkan suatu tujuan guna
melahirkan peningkatan produktivitas dan kemampuan diri; (3) metodologi dan
sistem kerja yang memberikan cara penyelesaian masalah dengan efektif dan
efesien, dan memberikan kemungkinan untuk memperbaiki prestasi secara
terus-menerus hingga memberikan keahlian dan profesionalitas; (4) terbukanya
kesempatan berperan, karena memiliki kemauan, prestasi, produktivitas,
kemampuan teknis, profesional, sehingga menjadi dirinya menjadi manusia
potensial, aktual dan fungsional.
Keempat
hal tersebut pada dasarnya akan mendukung peningkatan sumber daya manusia yang
mempunyai:
1. Kreativitas konseptual,
mampu mengembangkan gagasan, konsep, dan ide-ide cemerlang;
2. Kreativitas sosial, yang
dapat melakukan pendekatan dan terobosan-terobosan kemasyarakatan yang
strategis;
3. Kreativitas spiritual,
mampu mengembangkan karakter kemanusian yang bertakwa dan berkepribadian
manusiawi.
Pengembangan
dan peningkatan sumber daya manusia, akan melahirkan potensi manusia yang
kreatif, produktif, dan berkepribadian yang pada gilirannya akan membentuk
karakter yang kuat. Hal itu akan bermuara pada keteladanan para pelaku dunia
usaha/dunia industri sehingga dapat menjadi tokoh teladan yang membangun
nilai-nilai karakter, baik bagi dunia usaha/industri maupun bagi masyarakat
luas, serta mampu membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun
pembudayaan di media massa dapat dilakukan melalui berita-berita yang
mendukung pembangunan karakter bangsa, keteladaan tokoh media, pembiasaan
nilai-nilai di lingkungan media massa, pembinaan dan pengembangan hubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta penegakan aturan yang berlaku.
E. Strategi Pembangunan
Karakter Bangsa Melalui Kerjasama
Pada dasarnya, kunci akhir sebuah
strategi ada pada kerjasama dan koordinasi. Berbagai kerjasama dan kordinasi
dapat dilakukan antarwarga negara, antarkelompok, antarlembaga, antardaerah,
dan bahkan antarnegara.
Ada beberapa cara
yang dapat menjadikan kerjasama dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan
yang telah disepakati. Hal itu dapat dimulai dengan saling terbuka, saling
mengerti, dan saling menghargai. Setelah
kerjasama dapat dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah koordinasi dan
evaluasi. Bentuk koordinasi yang dapat dilakukan antara lain:
1.
koordinasi perencanaan kegiatan
pendidikan karakter secara dinamis dari jenjang pendidikan usia dini, dasar,
menengah, hingga pendidikan tinggi sesuai konteks kebutuhan dan perubahan
zaman;
2.
koordinasi dengan lembaga yang
mengembangkan karakter bangsa melalui nilai budaya dan karya budaya;
3.
koordinasi kegiatan satuan pendidikan
dengan lembaga pendidikan di alam terbuka, antara lain gerakan Pramuka, dalam
hal penerapan silabi pendidikan karakter;
4.
koordinasi lembaga,
agen, dan pemerhati
yang saling terkait dengan pendidikan dan pengembangan karakter bangsa;
5.
koordinasi secara teknikal dengan
lembaga yang mengembangkan kompetensi teknologi informasi dan komunikasi,
multimedia dalam pembuatan materi interaktif pendidikan karakter;
6.
koordinasi dengan lembaga yang
mengembangkan kompetensi jasmani (bidang olahraga) dalam perencanaan pendidikan
karakter bidang kompetensi olahraga;
7.
koordinasi dengan lembaga yang
mengembangkan kompetensi bidang psikologi dan komunikasi dalam
perencanaan model proses pembelajaran pendidikan karakter sesuai penciri
warga negara agar mampu mengadaptasikan dirinya dalam pluralitas karakter di
lingkungan global.
BAB
V
PENUTUP
Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa 2010--2025 berisi latar belakang pentingnya
pembangunan karakter bangsa; kerangka dasar pembangunan karakater bangsa; arah,
serta tahapan dan prioritas; strategi pembangunan karakter bangsa.
Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa ini dimaksudkan sebagai acuan dalam merancang,
mengembangkan, dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pembangunan
Karakter Bangsa yang menggalang partisipasi aktif keluarga; satuan pendidikan;
masyarakat; pemerintah; generasi muda; lanjut usia; media massa; pramuka;
organisasi kemasyarakatan; organisasi politik; organisasi profesi; organisasi
masyarakat pemberdayaan perempuan, lembaga swadaya masyarakat termasuk kelompok
strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, pemuka
agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.
Keberhasilan
pembangunan karakter bangsa diarahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia
sebagai bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks
berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Mengingat penting dan luasnya cakupan
pembangunan karakter bangsa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa
persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, maka diperlukan komitmen dan dukungan dari lembaga penyelenggara
negara, dunia usaha dan industri, masyarakat, media massa dan pemangku
kepentingan lainnya untuk menyusun program kerja dan mengkoordinasikan
dengan pihak terkait agar terjadi sinergi yang kokoh untuk mewujudkan Indonesia
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar