KONSEP DASAR PSH
APA YANG DIMAKSUD PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP
Laporan tahun 1972
komisi internasional melakukan pengembangan pendidikan dan dipublikasikan oleh
UNESCO dan sekarang dikenal dengan istilah “Laporan Faure” (Faure 1972) dan
memuat rekomendasi pertama untuk merancang pendidikan, proposal yang
dibuat berjudul “ Pendidikan seumur hidup”, proposal
dibuat untuk inovasi pendidikan di masa mendatang. Rekomendasi ditunjukan pada
negara maju dan negara berkembang, sekarang gagasan diterima dan menjadi sangat
terkenal di mana-mana.
Di Eropa pendidikan
seumur hidup belum di mengerti sepenuhnya lebih jahu pendidikan seumur hidup
kurang begitu terkenal dalam lingkungan pendidikan Eropa. Dalam sub bab ini, di
maksudkan adalah untuk menyajikan gagsan pemikiran dasar, dan untuk menetapakan
pengertian istilah pendidikan seumur hidup.
Eksitensi perbaikan
tidak hanya untuk meningkatkan fasilitas pendidikan orang dewasa, tidak berarti
bahwa pendidikan seumur hidup sudah tercapai. Contohnya terdapat problem bahwa
pendidikan orang dewasa sangat selektif. Mereka sudah
mendapatkan pendidikan sebelumnya dan bermaksud untuk memperoleh pendidikan
orang dewasa, dan bukan orang yang diduga betul-betul membutuhkannya. Sekarang
pendidikan orang dewasa masih dikonsepsikan sebagai rekereasi.
Pendidikan orang dewasa dinodai dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang
luks atau usaha perbaikan, bukan dijadikan bagian proses pendidikan yang
berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan seumur hidup diperlengkapai tenaga yang
bagus dan berkulitas.Bagaimanapun, tujuan pendidikan seumur hidup dapat
dipandang lebih luas dari meningkatkan produktivitas pekerja seperti yang
ditekankan pada pendidikan orang dewasa.
PERANAN TRADISIONAL
SEKOLAH
Sekolah secara tradisional
berkenaan dengan kelompok usia tertentu, biasanya antara sekitar 6 tahun sampai
18 tahun, meskipun sekarang diakui tidak ada bukti bahwa belajar lebih efisien
atau lebih diinginkan pada usia ini. Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan
pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang
memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Mahmud, 1990). Pelajar
dikonsepsikan sebagai wadah semata-mata atau stockpot pengetahuan. Tranmisi
informasi dipandang sebagai ringkasan hal-hal dasar yang diketahui oleh pelajar
dalam kehidupannya nanti. Pengetahuan biasanya tidak dengan sengaja
direncanakan agar sesuai dengan kebutuhan. Sekarang kehidupan hari demi hari
pelajar, meskipun aplikasi praktek langsung terjadi namun hanya sebagai
peristiwa keberuntungan saja. Kegunaan sesuatu yang dipelajari sekarang tidak
jelas dalam kehidupan masa dewasa mendatang. Misalnya, Anak yang menamatkan sekolah diharapkan
sanggup melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan atau
setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi pendidikan makin
besar harapannya memperoleh pekerjaan yang layak dan memiliki prestise tinggi.
Dengan ijasah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai pekerjaan
kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya (Akhirman, 2012). Salah satu efek konsepsi
tradisional peranan tidak hanya
memisahkan sekolah dengan kehidupan nyata pelajar sehari-hari, tetapi juga
belajar di sekolah terpisah dari sumber-sumber belajar lainnya seperti,
perpustakaan, museum, rumah, pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya.
PENDIDIKAN SEUMUR
HIDUP
Dasar filisofi pendidikan seumur hidup mempertanyakan konsepsi tradisional sekolah
yang telah dideskripsikan. Seperti yang telah dikemukakan oleh, Dave (1973), pertumbuhan kejiwaan, perkembangan kepribadian, pertumbuhan
sosial ekonomi dan kebudayaan, seluruhnya berlangsung terus-menerus seumur
hidup. Pendidikan seumur hidup bertumpu pada kepercayaan bahwa belajar juga terjadi seumur hidup,walaupun dengan
cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Masalah yang terakhir
telah di diskusikan secara ekstensif oleh ahli-ahli Ilmu jiwa perkembangan
seperti Bruner.
Roqib
(2009) belajar mengajar adalah peristiwa wajar yang terjadi pada manusia secara
terus-menerus dan terkadang dengan cara yang spontan. Bahkan tanpa disadari,
manuasia selalu belajar dari segala hal yang dialaminya. Oleh karena itu,
disarankan bahwa belajar harus didukung dan dibantu dari anak-anak sampai
dewasa. Pokok dalam pendidikan seumur hidup adalah seluruh individu memiliki
kesempatan yang sistematik, terorganisir untuk instruction, studi dan learning
di setiap kesempatan sepanjang hidup mereka. Semua itu bertujuan untuk
memperbaiki kemunduran pendidikan sebelumnya, untuk memperoleh ketrampilan
baru, meningkatkan keahlian mereka dan meningkatkan pengetahuan tentang dunia
yang ditempatinya.
Dalam kerangka ini
pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai pelayanan untuk membantu
pengembangan personal sepanjang hidup
dalam istilah yang lebih luas “development”.
(Lengland, 1970). Pendidikan seumur
hidup berkenaan dengan prinsip pengorganisasian yang akhirnya memungkinkan
pendidikan untuk melakukanfungsinya. Fungsinya adalah “proses perubahan yang
menuntun perkembangan individu”. (Silva, 1973, hal 41).
Pendidikan seumur hidup sebagai model pendidikan memang
tidak seluruhnya baru. Konseptualisasi pendidikan seumur hidup merupakan alat
untuk mengembangkan individu-individu yang akan belajar seumur hidup agar lebih
bernilai bagi masyarakat.
Rizki (2012).
Sama baiknya dengan penulis pendidikan pada zaman purbakala. Dewey (1916) mengemukakan pandangan lebih 60 tahun yang lalu bahwa pendidikan dan belajar adalah proses seumur hidup. Laporan terhadap pemerintah Inggris pada akhirnya perang dunia pertama (Kementerian Komite Rekonstruksi Pendidikan Orang Dewasa, 1919) secara khusus memberikan rekomendasi bahwa pendidikan harus"seumur hidup" sebagai persoalan penting nasional. Bagaimanapun juga, gagasan ini sudah muncul 60 tahun yang lalu atau lebih sejak Dewey merekomendasikan kepada pemerintah Amerika Serikat dan rekomendasi Kementerian Rekonstruksi terhadap pemerintah Inggris, namun kenyataannya sistem pendidikan yang berorientasi seumur hidup belum dikembangkan.
Sama baiknya dengan penulis pendidikan pada zaman purbakala. Dewey (1916) mengemukakan pandangan lebih 60 tahun yang lalu bahwa pendidikan dan belajar adalah proses seumur hidup. Laporan terhadap pemerintah Inggris pada akhirnya perang dunia pertama (Kementerian Komite Rekonstruksi Pendidikan Orang Dewasa, 1919) secara khusus memberikan rekomendasi bahwa pendidikan harus"seumur hidup" sebagai persoalan penting nasional. Bagaimanapun juga, gagasan ini sudah muncul 60 tahun yang lalu atau lebih sejak Dewey merekomendasikan kepada pemerintah Amerika Serikat dan rekomendasi Kementerian Rekonstruksi terhadap pemerintah Inggris, namun kenyataannya sistem pendidikan yang berorientasi seumur hidup belum dikembangkan.
MENGAPA PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP
Para penganjur
pendidikan seumur hidup mengembangkan sejumlah argumentasi yang berbeda – beda.
Mereka mengemukakan bahwa pendidikan seumur hidup akan meningkatkan persamaan
distribusi pelayanan pendidikan,memiliki implikasi ekonomi yang menyenangkan
serta esensial dalam menghadapi struktur – struktur social yang berubah dan
terdapat alas an – alas an kejuruan untuk menetapkan akan menghantarkan peningkatan
kualitas hidupnya,dll.
Keadilan
Lengrand ( 1970) misalnya, telah menunjukkan
adanya desakan social yang kuat dalam kerja sekarang yang mendorong seluruh
masyarakat dan strata setiap masyarakat agar memiliki kesempatan sepenuhnya
untuk merealisasikan potensi mereka dan persamaan jalab untuk memperoleh
keuntungan social, ekonomi, dan politik. Tekanan terhadap persamaan kesempatan
kerja bukanlah hal baru,tetapi diterapkan dengan kekuatan yang diperbarui dalam
masyarakat yang sangat maju contohnya Amerika Serikat (Coleman,1966). Lebih jauhnya
lagi,tekanan juga dirasakan di Negara yang sedang berkembang yang dinyatakan
bahwa system pendidikan tradisional yang diwarisi oleh pemerintah colonial dulu
akan membatasi perkembangan nasional untuk mencapai tingkat persamaan
internasional (Parkyn,1973).
Diakui Paulo Freire, sekolah memang merupakan alat
kontrol sosial yang
efesien bagi upaya menjaga status qua. Pelajar dididik
untuk menyesuaikan diri dengan posisi social tertentu dan melestarikan tatanan
yang sudah ada. Menurut argumentasi ini,pengetahuan diberikan di sekolah tradisional
yang tidak berubah seperti menyampaikan komodite kepada consumer (Weaver 1972) dan ketidaksamaan
yang dipertahankan oleh pengaruh control “establishment” pendidikan yang ingin
menyampaikan pengetahuan dengan cara yang cepat. Sistem pendidikan merupakan salah satu cara paling
berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi hubungan-hubungan sosial
suatu “relasi produksi” kalyanamitra (2012). Tetapi berbeda dengan
pendidikan seumur hidup yang pada prinsipnya adalah untuk meleminir peranan
sekolah sebagai alat untuk melestarikan ketidakadilan.
Pertimbangan
ekonomi
Biaya pendidikan tampaknya mendekati
titik puncak dimana masyarakat tidak mampu lagi membiayainya lebih jauh lagi.
Dimana untuk Negara – Negara sedang berkembang problem ini telah mencapai tarf
akut,sebagai contoh Negara Upper Volta. Negara tersebut telah menggunakn 18%
dari pendapatannya untuk membiayai pendidikan dan anggaran belanja ini sangat besar
dibandingkan pemasukan keseluruhan,karena hanya untuk membiayai 10% dari
penduduk usia sekolah. Sedangkan pembiayaan untuk 100% usia sekolah diperlukan dana 1,8 kali dari budget
keseluruhan nasional. Bahkan di Negara – Negara yang berteknologi maju,beberapa
system sekolah telah diancam kebangrutan (Coste 1973). Dala waktu yang sama
pila,terdapat kebutuhan yang semakin meningkat untuk memperbesar pelayanan
pendidikan,memperluas daya serap sekolah dan lebih meragamkan jenis – jenis
pendidikan. Kebijakan yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis financial
seperti mempersingkat penyelenggaraan,memperkenalkan system hutang serta
meningkatkan pendayagunaan teknologi pendidikan,dll (Cropley 1973).
Bagaimanapun juga,seluruh usaha yang
dilakukan termasuk memperbesar anggaran belanja telah gagal melaksanakan
program melek huruf semesta di Negara – negar berkembang,gagal menghapus buta
huruf di Negara maju serta gagl untuk memenuhi kebutuhan di seluruh masyarakat.
Contohnya,meskipun jumlah anak – anak yang bersekolsh di seluruh dunia
meningkat dari 325 juta menjadi 460 juta sejak tahun 1960 – 1968 dan jumlah
anak – anak usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah meningkat 17 juta
dalam periode sekarang ini (Faure 1972). Dalam situasi yang sama pula dialami
para orang dewasa. Menurut Biyin(1975),akhir – akhir ini jumlah orang dewasa
yang mengalami buta huruf meningkat melebihi 80 juta(jumlah peningkatan yang
pasti tergantung pada penggunaan definisi buta huruf). Ini sesuatu peristiwa
yang menyedihkan bahkan mengecewakan jika dilihat dalam konteks ekonomi
tersebut.Selama periode berlangsung,anak – anak yang tidak mampu bersekolah
meningkat,proporsi GNP yang digunakan untuk membiayai pendidikan meningkat dari
3,02 menjadi 4,24% (Faure,1972),serta peningkatan
ini mencerminkan usaha yang sangat besar khususnya di bagian Negara yang sedang
berkembang.
Seringakali muncul pertanyaa,apakah
kebikajakan yang telah diusulkan memilki potensi untuk menanggulangi issu –
issu ekonomi yang sekarang ini terjadi pada system pendidikan. Beberapa
alternative yang telah dikemukakan seakan – akan tidak berdaya untuk
menanggulangi issu – issu ekonomi,tetapi hanya sekedar modifiksi cara – cara
penyampaian atau pembiayaan dengan
produk yang sama dengan pendidikan tradisional. Tidak seperti pada kebijakan
yang telah disebutkan,tetapi pendidikan seumur hidup secara radikal mengandung
model baru proses pendidikan. Kebijakan seperti itu jelas memiliki implikasi
ekonomi yang sangat besar. Meskipun, Costa (1973) telah mengemukakan kesimpulan
yang memperingatkan bahwa modifikasi usia yang telah terjadi dalam system
pendidikan formal tidak memungkinkan untuk menghemat biaya pendidikan.
Sebenarnya sukar untuk mengatakan bahwa penataan kembali pendidikan tidak akan
meningkatkan pembiayaan.
Contoh satu kasus ekonomi untuk
mengadopsi system pendidikan seumur hidup telah dikemukakan oleh Zhamin dan
Konstanian (1972). Meskipun dapat,tetapi sangat sulit memperhitungkan uang
kembali ke suatu Negara yang berasal dari peningkatan kebijakan pendidikan ,mereka
berdua mengemukakan contoh nyata dengan perhitungan statistic yaitu pekerja –
pekerja yang memiliki pendidikan sangat tinggi akan menampilkan kerja yang
lebih baik dan estimasi antara tahun 1960 – 1968 “ekonomi yang kembali” ke Uni
Soviet dengan mengeluarkan satu roubel untuk membiayai pendidikan yang
menghasilkan 4 roubel GNP. Mereka melihat pembentukan system pendidikan yang
berfungsi sebagai basis untuk memperoleh ketrampilan tipe baru yang secara
ekonomi berharga untuk masyarakat. Disini juga perlu ditekankan bahwa para
pendukung system pendidikan seumur hidup tidak membela pendapatnya dengan
mengemukakan bahwa pendidikan dengan menerima pendidikan seumur hidup akan
dapat meningkatkan produktivitas pekerja serta meningkaatkan keuntungan.
Pendekatan peningakatan produktivitas dan keuntungan telah ditolak banyak
penuis seperti Vinokur (1976). Persoalan yang lebih penting adalah meningkatkan
kualitas hidup,memperbesar pemenuhan diri,melepaskan dari kebodohan serta
kemiskina dan eksploitasi. Meskipun jelas terdapat pengakuan yang semakin
meningkat,khususnya di Negara berkembang menyatakan bahwa pendidikan berperan
sebagai basis untuk ekonomi modern. Lebih jauh lagi,kemakmuran ekonomi akan
meningkatkan standar kehidupan dengan segenap keuntungan yang diperoleh karena
meningkatnya harapan untuk berumur panjang,memiliki kesehatan fisik yang lebih
baik serta kebahagiaan yang lebih baik. Pangkuan adanya hubungan antara
hubungan antara dan pertumbuhan ekonomi,kemajuan personal dan kehidupan social
yang berurutan ,serta akan memperlengkapi argumentasi ekonomi lebih jauh lagi
untuk mengadakan perubahan radikal organisasi pendidikan. Oleh karena itu
pendidikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup berhubungan
sangat intim sekali.
Faktor – factor social (peranan keluarga yang sedang
berubah)
Menurut Coleman (1972), keluarga mempunyai
fungsi sebagai sentral sumber pendidikan pada waktu silam. Dia mengemukakan
bahwa situasi ini telah berubah sehingga keluarga sedikit demi sedikit
berkurang peranannya dalam mendidik anak – anak. Ini dapat dilihat dalam bidang
moral, afektif dan pendidikan social. Serta,pengikisan peranan keluarga bisa
diramalkan sebagai hasil meningkatnya pertumbuhan teknologi, urbanisasi dan
kekomplekan hidup. Aujaleu meramalkan
“lumpuhnya nilai – nilai” adalah konsekuensi dari pengurangan peranan keluarga
sebagai salah satu factor yang mempengaruhi perkembangan anak.
Khususnya,perubahan ini memerlukan suatu jalan yang dapat menutupi gap yang
ditinggalkan oleh keluarganya. Pendidikan seumur hidup dapat memperlengkapi
kerangka organisasi yang memungkinkan pendidikan mengambil alih tugas yang
dulunya ditangani oleh keluarga. Dalam masalah tersebut harus diperhatikan
bahwa penekanan peranan pendidikan seumur hidup sebagai pembantu keluarga dan berarti
akan memperluas system pendidikan agar dapat menjangkau anak – anak awal dan
orang dewasa. Dengan harapan,pengakuan pentingnya pendidikan moral dan social
serta desakan terhadap sekolah untuk melakukan peranan pendidikan yang
dilakukan keluarga,agar memperkuat dan menghidupkan kembali pengaruh rumah
dalam proses interaksi antar beberapa factor yang mempengaruhi anak,
Faktor – factor social (peranan social yang sedang berubah)
Perangkat kedua
perubahan social berbeda dengan perubahan peranan keluarga yang telah
dibicarakan di atas,meskipun diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat
erat,contohnya perubahan peranan adolescent dalam masyarakat modern,perubahan
hubungan pekerja dengan pekerjaan dan bosnya,meningkatnya waktu luang ,dan
meningkatnya partisipasi warga terhadap kehidupan politik. Garis antara orang
dewasa dengan anak secara tradisional sangat jelas dalam kehidupan masyarakat
yang tidak maju.. Tiket maju kedunia dewasa sering ditandai dengan umur
tertentu dan beberapa upacara resmi.Serta perkembangan yang kompleks dalam
penggunaan teknologi di masyarakat maju,bagaimanapun juga ini akan menyebabkan
pentingnya perluasan konsep anak – anak. Pada mulanya,sekolah telah menciptakan
perbedaan umum antara orang dewasa dengan anak – anak. Perbedaan sekarang ini
semakin kabur. Pemuda yang kawin pada umumnya meningkat,hak – hak istimewa yang
dulunya dimiliki orang dewasa sedikit demi sedikit pindak ke anak – anak,ketika
orang dewasa semakin meningkat yang kembali kebangku sekolah. Pemuda umur 18
tahun yang sudah menikah dan bekerja sedangkan yang berumur 30 tahun sedang
menjadi pelajar. Anak – anak secara tradisional harus disekolahkan,sedangkan
orang dewasa tidak dan sekarang sangat sulit memisahkan itu,oleh karena itu
diperlukan konsep pendidikan an perluasaan rentangan usia yang ditampung dalam
pendidikan.
Dalam situasi yang
agak mirip dengan kenyataan yang diatas adalah hubungan social yang tepat
diatara pekerja yang menjadi tidak jelas. Contohnya pekerja bawahan di masa
yang akan datang barangkali harus mengadopsi peranan social sekarang ini yang
dianggap sangat tepat untuk boss. Peranan social lainnya juga berubah,seperti
dalam bidang stereotype seks. Seperti contoh berubahnya konsepsi peranan laki –
laki sebagai pencari nafkah juga bias dilakukan oleh kaum wanita karena adanya
emansipasi wanita . dengan demikian,pendidikan harus berisi elemen training
yang kuat dan memainkan peranan social yang sangat beragam agar mempermudah
individu melakukan penyesuaian terrhadap perubahan hubungan antara mereka dengan
orang lain.
Peranan teknologi
Dekat sekali hubungannya dengan
perubahan yang telah dibicarakan di atas,dan seringakali dikemukakan oleh
pendukung pendidikan seumur hidup sebagai argumentasi umum dalam rangka
menopang konsep pendidikan seumur hidup yaitu gejala perubahan teknologi yang
berlangsung dengan cepat. Pertumbuhan teknologi juga menyebabkan meningkatnya
persediaan informasi,merubah sifat – sifat pekerjaan,meningkatkan urbanisasi
dan waktu luang,keberhasilan pengobatan seperti bertambah panjangnya
usia,menurunnya kematian dan meningkatnya waktu luang serta banyaknya tersedia
kekayaan materi yang berakibat keduniawian dan materialisme menjiwai nilai –
nilai budaya dan spiritual(Suchodolskil,1976) dan berakibat pula kerenggangan
dan keasingan manusia dari manusia lainnya. Semua ini menimbulkan
ketidakpastian ketrampilan yang diperlukan dunia mendatang serta melunturkan
kekeluargaan,ketidakpastian peranan social dan hubungan internasionaldi masa
depan. Akibatnya,basis keorganisasian baru pendidikan menjadi penting dan
diperlukan dimana – mana.
Faktor – factor vocational
Masalah ini dikemukakan kembali
dalam literature pendidikan pada akhir abad sekarang ini yang menyatakan bahwa
kejuruan yang diperlukan dunia di masa mendatang secara drastis berbeda dengan
apa yang ada sekarang . Dalam konteks ini, kemampuan system pendidikan seperti
yang diorganisir sekarang digunakan untuk membekali anak – anak dengan
ketrampilan khusus yang diperlukan untuk kesuksesan pekerjaan di masa mendatang
yang secara ektrim diragukan. Ada alasan untuk menuduh bahwa salah satu
kejuruan dimasa yang akan mendatang mengalami perubahan yaitu ketrampilan
kejuruan yang cepat payu dan terjadi perubahan yang tidak hanya pada generasi
mendatang tetapi juga terjadi dalam generasi ini. Dengan demikian para pekerja
di masa mendatang perlu meninggalkan ketrampilan yang sudah lama dimiliki dan
menggantinya dengan yang baru,barangkali tidak hanya sekali pergantian,tetapi
berulang kali. Seperti yang telah dikemukakan,perubahan ini juga meliputi
hubungan antar teman sekerja,employe,dll sehingga efeknya menjadi lebih
kompleks dan meresap.
Menurut beberapa penulis tidak hanya
hubungan pekerja dengan orang yang berubah tetapi hubungan antar pekerjaan
mereka. Ilmu kedokteran umpamanya menjadi suatu aktivitas teknologi yang sangat
tinggi dan memerlukan beberapa jenis ketrampilan yang baru. Dan mungkin saja
akan muncul konsepsi baru tentang apa yang disebut kerja dan siapa yang harus
melakukannya. Meningkatnya penetrasi dunia kerja dengan system otomat
menyatakan bahwa sifat – sifat kerja itu sendiri mungkin mengalami perubahan.
Serta perubahan ini tidak hanya memerlukan ketrampilan baru tetapi mengalami
perubahan drastic dalam pemikiran mengenai jenis aktivitas apa yang disebut
kerja. Di beberapa negara maju misalnya,nilai yang diberikan terhadap pekerjaan
yang sebagai alat untuk melestarikan fisik sudah semakin menurun sekarang
ini.Dan disertai meningkatnya toleransi terhadap pengangguran yang banyak
terjadi di beberapa Negara sebagai akibat peningkatan efisiensi kerja dan usaha
pengurangan tingkat inflasi. Beberapa masyarakat telah menurunkan martabat
kerja bahkan pada tingkat memberikan jaminan pendapatan tahunan seperti yang
terlihat pada beberapa daerah di Canada tanpa memandang apakah buruh itu
bekerja atau tidak.
Jadi,pada masa mendatang,mungkin
fungsi pekerjaan bukan untuk memperoleh penghasilan,keperluan dan kemewahan.
Pekerjaan misalnya sebagai jalan untuk mengekspresikan diri,cara untuk
mengekspresikan jenis kewajiban social yang sejajar dengan adanya partisipasi
kelompok orang tua dan guru,sedangkan cara untuk meyakinkan public tentang
kejujuran/keadilan,bahkan sebagai hokum/tanda kekurangan masyarakat. Hak untuk
bekerja mungkin sebagai jalan untuk memperoleh hak – hak istimewa.Meskipun kemungkinan
diatas tersebut tamapaknya fantastis.,namun masyarakat melihat perubahan besar
dalam kepentingankerja mereka saja,peranan kerja dalam kehidupan individu,serta
nilai – nilai yang diberikan pada pekerjaan baik dimasyarakat maupun individu
bahkan perlunya bekerja. Seluruh kemungkinan ini menyatakan bahwa anak – anak
sekarang mungkin memerlukan untuk masa depan mereka suatu ketrampilan yang
berbeda sekali dengan ketrampilan kejuruan yang dipaketkan sekarang. Dengan
demikian hendaknya memperlengkapi pelajar kemampuan untuk mereaksi secara
positif terhadap perubahan baik segi meneruskan kemampuan yang secara kejuruan
yang berguna untuk masyarakat dan kemampuan untuk mempertahankan identitas
mereka dalam menghadapi jenis pekerjaan yang sangat berbeda dengan apa yang ada
sekarang ini.
Kebutuhan – kebutuhan orang dewasa
Orang dewasa sekarang ini akan
mengalami efek cepatnya perubahan dalam dalam bidamg kejuruan yang mereka
miliki. Misalnya,ancaman keusangan yang membayangi banyak pekerja.
Serta,keusangan ketrampilan yang sekarang mereka miliki dan kebutuhan untuk
memperoleh ketrampilan – ketrampilan yang baru,sama sekali tidak terbatas pada
pekerja buruh kasar. Dubin (1974) telah menunjukkan bahwa insiyur professional
sedang menghadapi masalah keusangan ketrampilan. Menurut dia separuh kehidupan
rata – rata mata pelajaran engineering yang diajarkan di Universitas Amerika
yang terus menerus menjadi menurun dan sekarang ini sisanya hanya tinggal
sedikit. Akibatnya,para insiyur yang sedang praktek di Amerika sekarang ini
telah menghadapi prospek keusangan pengetahuan jauh sebelum habis kehidupan
professional aktif mereka. Di masa mendatang,ketrampilan mereka mungkin dalam
waktu lima tahun yang akan menjadi usang,dan pada waktu mereka yang sedang
menyelesaikan suatu program. Jadi untuk orang dewasa sekarang,cepatnya
perubahan ketrampilan kejuruan bukan problem abstrak di masa mendatang tetapi
suatu yang harus dihadapi sekarang ini.
Renspons terhadap problem ini adalah
banyak Negara mengembangkan kelas – kelas untuk orang dewasa. Walaupun di
Amerika misalnya,program – program untuk melatih kembali para pekerja yang
telah menjadi usang sebagai akibat perubahan dalam industri dan mereka
dipekerjakan dengan hasil yang tidak memuaskan. Oleh karena itu,fakor
keengganan melanda sebagian besar orang – orang yang seharusnya membutuhkan
belajar yang baru,sedangkan minat terhadap belajar lanjutan ini hanya sebagian
besar terdiri dari orang – orang yang telah memperoleh pendidikan terbaik
sebelumnya. Para pekerja terlantar telah meenunjukkan bahwa perasaan kebodohan
mereka dengan keharusan kembali ke bangku sekolah dan mereka juga menolak
retrainini karena dipandang merendahkan martabat orang tua. Kenyataannya,nilai
dan sikap mereka telah menghambat kesediaan untuk ikut serta dalam belajar baru
dipandang penting untuk dunia sekarang. Problem ini juga muncul Karena dukungan
oleh konsepsi tradisional sekolah seperti yang telah digambarkan pada
pembahasan ini. Sistem penidikan hendaknya diorganisir untuk membantu belajar
pada masa dewasa di masyarakat,karena itu harus dihancurkan pandangan yang
menyatakan bahwa seseorang hanya belajar pada masa persekolahan formal antara 6
sampai 18 tahun. Jadi,secara radikal berarti perubahan pandangan mengenai kapan
seseorang harus disekolahkan dan sekolah apa. Menurut Gelpi harus memerlukan
politik pendidikan seumur hidup.
Kehidupan anak – anak awal
Para ahli mengakui bahwa masa anak-anak
awal merupakan fase perkembangan yang mempunyai karakteristik tersendiri bukan
semata-mata masa penantian untuk memasuki periode anak-anak, remaja dan dewasa.
Masa anak-anak awal merupakan basis untuk perkembangan kejiwaan selanjutnya meksipun dalam tingkat tertentu pengalaman-pengalaman yang datang belakangan dapat memodifikasi perkembangan yang pondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman sebelumnya.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat .
Konsep pendidikan seumur hidup, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar pendidikan dari zaman kezaman. Apalagi bagi umat islam, jauh sebelum orang-orang barat mengangkatnya, Islam sudah mengenal pendidikan seumur hidup, sebagai mana dinyatakan oleh hadits Nabi SAW yang berbunyi:
اطلب العلم من المهد الى اللحد
Artinya: tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia.
Masa anak-anak awal merupakan basis untuk perkembangan kejiwaan selanjutnya meksipun dalam tingkat tertentu pengalaman-pengalaman yang datang belakangan dapat memodifikasi perkembangan yang pondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman sebelumnya.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat .
Konsep pendidikan seumur hidup, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar pendidikan dari zaman kezaman. Apalagi bagi umat islam, jauh sebelum orang-orang barat mengangkatnya, Islam sudah mengenal pendidikan seumur hidup, sebagai mana dinyatakan oleh hadits Nabi SAW yang berbunyi:
اطلب العلم من المهد الى اللحد
Artinya: tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia.
Diskusi tentang apa
yang dimaksud dengan pendidikan yang dapat dijumpai dalam Worth Repot,telah
dipersiapkan atas bantuan pemerintah Propinsi Alberta Canada Worth yang
mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak anak di bawah umur 6 tahun
dan menganjurkan prinsip system formal untuk pendidikan anak – anak awal ( ia
disebut “Early Ed” ). Dia mengemukakan 3
tujuan pokok “Early Ed” yang meliputi perlengkapan stimulasi yang bias membantu
pemahaman identitas dan menciptakan pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek
yang terpenting dalam anjuran Worth untuk kepentingan masa kini,secar khusus ia
menolak pendapat tersebut yang menyatakan bahwa pendidikan anak – anak awal
berarti harus memperpanjang ke bawah system yang ada pada sekarang ini. Fungsi
utamanya bukan menyediakan persiapan pendidikan akademis. Sebaliknya,ia menganjurkan pendidikan anak
–anak awal yang digunakan sebagai fase pertama system pendidikan seumur hidup.
Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan ketrampilan yang
digunakan untuk mendayagunakan informasi dan symbol – symbol,meningkatkan
apresiasi bermacam – macam mode ekspresi diri,memelihara keinginan dan kemampuan
berpikir,menanamkan keyakinan setiap anak tentang kemampuan untuk belajar,serta
membantu perasaan harga diri . Akhirnya,akan meningkatkan kemampuan untuk hidup
dengan orang lain. Sehingga,ia akan melihat pendidikan anak – anak awl meliputi
variable yang kompleks dalam bidang kognitif,motivasi dan sosio afektif yang
jika berkembang dengan cepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan.
Dengan demikian,ia akan mengakui betapa pentingnya pendidikan yang menuju ke
usia sekolah konvensional yang digunakan sebagai salah satu fase pendidikan
seumur hidup.
PERUBAHAN KONSEPTUALISASI PENDIDIKAN
Peranan Sekolah
Meluasnya pengembangan sistem
sekolah yang ditopang oleh Negara di Eropa dan Amerika Utara, khususnya pada
fase permulaan praktis. Pekerjaan utama pendidikan berkenaan dengan belajar
ketrampilan dasar tertentu yang terus menerus mengandung nilai praktis yang
dapat diterapkan dalam kehidupan individu dan masyarakat (Lynch 1973 dan Sapta Dharma 1955). Lebih mutakhir
lagi, nilai-nilai pendidikan telah berubah kearah penekanan yang lebih besar
pada penguasaan ketrampilan dibidang social nilai-nilai estetika, kesehatan,
pribadi dan sebagainya (Silva, 1973; Coles, 1972).
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu,
latihan-latihan di sekolah dilihat oleh beragam penulis sekarang ini sebagai
proses perpindahan kedalam suatu bidang secara tradisional merupakan tugas dari
keluarga (Aujaleu, 1973; Coleman, 1972).
Walaupun terdapat hubungan nyata
antara persekolahan dengan belajar (yang akan dibicarakan lebih banyak pada bab
berikutnya), jelas bahwa belajar tidak terbatas pada periode yang dipergunakan
di sekolah atau tidak pada usia-usia sekolah. Umpamanya, amat banyak
orang-orang membicarakan masalah-masalah sosial dalam usia dewasa jauh setelah
usia sekolah tradisional selesai. Serupa dengan itu, bayi yang belum mencapai
usia sekolah dengan sukses melakukan sejumlah tugas belajar yang meliputi,
umpamanya kecakapan bahasa ibu, mengontrol sistem motorik, dan sebagainya.
Sebagian besar belajar ini hanya terjadi dalam kehidupan yang sangat awal (Murphy dan Smith, 1972). Meskipun
orang-orang Eropa dan Amerika Utara masyarakatnya sangat maju sekali, penerapan
dalam mempersiapkan fasilitas belajar sekarang ini bertumpu pada kepercayaan
bahwa usia terbaik untuk belajar antara umur 6-18 tahun, dan persekolahan pada
periode ini dapat memenuhi kebutuhan belajar formal yang diperlukannseluruh
orang-orang untuk kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, pandangan ini seringkali
diwarisi dari penguasa colonial dulu yang digunakan untuk Negara yang sedang
berkembang.
Juga tampak bahwa ketrampilan yang
secara tradisional dikembangkan di sekolah sebagian besar dalam bidang
kognitif, sedikit sekali ditekankan pada ketrampilan dalam bidang sosio
afektif, etika, moral, emosi, dan perasan, seperti yang telah dikemukakan.
Bahkan dalam bidang kognitif pun hanya ditekankan satu segi saja. Belajar,
mengenali, mengingat dan memproduksi kembali informasi lebih ditekankan
daripada menguasai metode mendapatkan informasi, ketrampilan dalam menetapkan
tujuan, teknik untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan menghubung-hubungkan
ketrampilan. Dalam waktu yang sama terlalu sedikit perhatian yang diberikan
terhadap spectrum yang luas berkenaan dengan cara-cara individu berbeda dengan
yang lainnya. Konsekuensinya, termasuk dalam standar persekolahan asumsi bahwa
rentangan sempit pengalaman-pengalaman persekolahan cukup memadai untuk
menjawab perbedaan belajar dalam segi kemampuan, kebutuhan terhadap pendidikan,
sikap emosional terhadap persekolahan, perkembangan sosial dan kognitif, dan
sebagainya. Analisi terakhir, peranan faktor-faktor yang telah disebutkan
diatas dalam belajar disekolah telah dibuat oleh Bloom (1976). Khususnya, ia
menekankan pentingnya perbedaan individu dalam variabel sosio afektif, dan
kebutuhan akan pengajaran yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu.
Keunggulan persekolahan
Persekolahan adalah pembelajaran di sekolah dengan
aksentuasi pada penguasaan materi yang diajarkan. Untuk mengetahui derajat
penguasaan, diadakan suatu sistem ujian berkala dan penguasaan yang berdasarkan
hasil yang distandardisasikan oleh ujian tadi, menentukan akses ke jenjang
pembelajaran yang lebih tinggi. Pengakuan terhadap penguasaan materi yang disebut
pula sebagai pengetahuan di jenjang pembelajaran tertentu ditandai dengan
ijazah serta gelar tertentu yang sepadan.
Dalam praksis persekolahan, materi yang dapat dikuasai anak didik dianggap sebagai “pengetahuan”. Anggapan ini menjadi sumber kelemahan persekolahan. Mengingat “pengetahuan” berarti “kekuatan” bagi pemiliknya, ada kecenderungan sekolah menjejali anak didik dengan sebanyak mungkin mata pelajaran, hingga menjadi beban yang tak sepadan dengan daya tangkap anak didik sesuai dengan usia fisiknya. Dia tidak lagi punya waktu yang cukup untuk bersantai/bermain-main yang juga merupakan suatu kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya, dia merasa jenuh, bosan, bahkan benci belajar/bersekolah.
Dalam praksis persekolahan, materi yang dapat dikuasai anak didik dianggap sebagai “pengetahuan”. Anggapan ini menjadi sumber kelemahan persekolahan. Mengingat “pengetahuan” berarti “kekuatan” bagi pemiliknya, ada kecenderungan sekolah menjejali anak didik dengan sebanyak mungkin mata pelajaran, hingga menjadi beban yang tak sepadan dengan daya tangkap anak didik sesuai dengan usia fisiknya. Dia tidak lagi punya waktu yang cukup untuk bersantai/bermain-main yang juga merupakan suatu kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya, dia merasa jenuh, bosan, bahkan benci belajar/bersekolah.
Berhubungan dengan dua assumsi
diatas, dan barangkali muncul dari assumsi ketiga, bahwa sekolah adalah arena
terpenting terjadinya proses belajar pada masa anak-anak awal dan adolescent.
Dengan perkembangan korp guru-guru professional, secara tradisional diterima
bahwa sekolah adalah tempat paling tepat untuk berlangsungnya belajar. Ini
berakibat menurun atau mengabaikan metode-metode belajar dan lokasi-lokasi
belajar yang terdapat diluar kelas. Dengan munculnya pandangan bahwa sekolah
dan guru-guru sekolahlah yang paling penting, jika tidak hanya satu-satunya agen
pendidikan dalam masyarakat modern posisi pendidikan dari sumber-sumber
lainnya, seperti museum, perpustakaan, rumah tempat kerja, dan sebagainya telah
diabaikan. Begitu juga dengan metode-metode belajar diluar sekolah diabaikan,
seperti “self-directed learning”, “inte learning” (pelajar belajar dari sumber
yang bersifat otoriter), dan yang mirip dengan pusat belajar luar sekolah.
Sebagai akibat, belajar bukan bagian dari kehidupan sesungguhnya, tetapi
sesuatu yang di lakukan di tempat istimewa dan terlepas dari jalur kehidupan.
Hal serupa, tujuan utama persekolahan menyiapkan orang-orang untuk masa depan,
belajar harus dipandang sebagai sesuatu yang relevansinya tipis sekali dengan
kehidupan nyata pelajar. Ganjaran belajar sekarang secara tradisional dipandang
terletak pada kehidupan yang semakin baik dimasa depan. Ini memisahkan belajar
di sekolah dangan kehidupan nyata yang dengan rapi diringkas dalam statemen
(Livingstone, 1943) bahwa “pemuda belajar tetapi tidak dapat berbuat; orang
dewasa harus berbuat tetapi tidak ada kesempatan untuk belajar”.
Pandangan yang bertentangan antara integrasi vertical dan
horizontal
Konsepsi pendidikan tradisional jauh
terlepas dari fakta-fakta kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, pendidikan
dipandang sebagai sesuatu yang hanya berlangsung di sekolah di bawah para
spesialis. Dalam tahun-tahun ini dua pandangan atau gagasan telah mendapat
penekanan; :integrasi horisontal” dan “integrasi vertikal”.
Argumentasi yang dikemukakan
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan latar belakang penulis, tetapi seperangkat
gagasan umum dapat dilihat. Kunci gagasan integrasi horisontal ialah bahwa
pendidikan dalam pengertian belajar disekolah harus dikoordinasikan dengan
komponen-komponen lain masyarakat yang memungkinkan terjadinya belajar. Contoh
komponen-komponen masyarakat : rumah, klub dan masyarakat, tempat kerja,
interaksi dalam kelompok sebaya, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, dikemukakan bahwa rentangan anggota
masyarakat yang amat luas, bukan suatu rentetan yang tidak berhubungan, dan
disiplin yang terpisah-pisah. Di antara beberapa pembahasan, masalah terakhir
ini mengemukakan mata pelajaran di sekolah harus saling berhubungan erat. Jadi,
integrasi horisontal pendidikan berarti jenis-jenis pengetahuan yang diperoleh
diluar sekolah tidak terpisah dari pengetahuan yang diperoleh diluar sekolah
tidak terpisah dari pengetahuan yang didapat di sekolah, proses berlangsungnya
belajar tidak dapat dibagi menjadi proses di sekolah, seluruh pengetahuan harus
dirajut terus-menerus.
Tulisan-tulisan masa kini tentang
pendidikan yang memuat kepercayaan bagaimana pendidikan harus diorganisir
secara longitudinal melampaui batas waktu yang ada di sekolah sekarang. Dasar
argumentasi ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa belajar sepanjang hidup,
dan orang-orang dapat belajar dalam seluruh tingkatan usia. Pandangan ini
memang sangat bertentangan dengan stereotype yang ada seperti “kamu tidak dapat
mengajarkan tupu muslihatbaru untuk anjing yang sudah tua” dan banyak ungkapan
dalam bidang ini, semakon meningkat pula penekanan dalam tulisan modern bahwa
belajar di setiap tingkatan sebagian dari hasil belajar di masa dating. Karena
itu dikemukakan bahwa interelasi belajar membujur melalui seluruh tingkatan
usia secara khusus harus diakui dan dimanfaatkan dalam organisasi-organisasi
pendidikan. Pandangan ini merupakan pengesahan prinsip intregasi vertikal.
Argumentasi prinsip ini telah
direview dan diringkas oleh Blakely
(1972). Ia menopang
pandangan bahwa tidak benar proses persekolahan dan pendidikan itu sama, ia
mengemukakan bahwa proporsi belajar terbanyak dalam pendidikan berlangsung
sebelum permulaan persekolahan atau berkelanjutan sesudah akhir masa
persekolahan, bahwa persekolahan hanya salah satu pendidikan yang berpengaruh
dalam kehidupan, dan dengan sendirinya persekolahan tidak mampu menyediakan
seluruh pendidikan yang diperlikan dalam kehidupan. Untuk alasan-alasan ini ia
mencela isolasi sekolah dan kepercayaan yang kuat terhadap sekolah formal
sebagai sumber utama pengalaman pendidikan. Perubahan yang paling cepat dan
abadi proses perkembangan personal terjadi sebelum persekolahan formal. Periode
kehidupan yang terlama terletak jauh sesudah akhir masa persekolahan formal.
Akhirnya pengaruh yang terkuat
terhadap p[ertumbuhan bahkan selama persekolahan formal, datang dari luar
sekolah (seperti media, teman sebaya, keluarga, masyarakat dan sebagainya).
Justru itu, diperlukanperubahan konsep hubungan antara persekolahan, belajar
dan pendidikan.
Tampak kemudian bahwa muncul konsep
baru pendidikan. Khususnya konsep ini menentang kepercayaan tradisional
terhadap keunggulan sekolah yang relatif terlepas dari kehidupan. Lebih jauh
lagi, ia mengemukakan integrasi jenis-jenis pengelolaan belajar “persekolahan”
dengan jenis-jenis pengelolaan belajar informal yang terjadi seumur hidup,
dengan atau tanpa sengaja dikelola dengan atau tanpa disertai kesadaran bahwa
belajar sedang terjadi. Akhirnya, konsepsi yang sedang berubah menekankan sifat
interaksi belajar dalam seluruh kehidupan, dan pentingnya belajar terus-menerus
dengan baik di luar waktu persekolahan konvensional, jika ingin mencapai
penyesuaian yang sukses terhadap perubahan yang cepat dalam kehidupan modern.
Pandangan yang telah dibicarakan ini terletak dalam jiwa konsep pendidikan
seumur hidup.
Daftar
Pustaka
Blakely, R.
(1972). The School and Continuing Education. (Paris UNESCO.
Cropley,
A.J. (1972). Lifelong Education: A Psychological Analysis. UNESCO.
Dave, R.H.
(1973). Foundation of Lifelong Education. Oxford: Pergamon.
Lengrand, P.
(1970). An Introduction in Lifelong Education. Paris: UNESCO.
Lynch, K. (1997). "A Profile of Mature Students
in Higher Education and An
Analysis
of Equality Issues" in Morris, R. (ed.), Mature
Murphy, C. (1973). Adult Education in Ireland : A
Report of a Committee Appointed
by the
Minister for Education, Dublin: Stationery Office.
http://unesdoc.unesco.org/images/0000/000018/001801e.pdf
diposting oleh unesco diunduh pada tanggal 6 desember 2012 pukul 08.18
Suparmin, Drs. Mamin, M.Kes. 2010. Makna Psikologis
Perkembangan Peserta Didik. Jurnal Ilmiah SPIRIT. ISSN : 1411-8319 Vol. 10. No.
2. Tahun 2010
Coleman.1972.
Review Of Education Research.
Tintabinta.worpress.com diunduh tanggal 6 desember 2012 pukul 10.06 wib
Sapta
Dharma. 1938. Experience and Education. Diposting dalam ikhsanu.blogspot.com
pada tanggal 06 desember 2012 pukul 10.46
Mahmud, M.
Dimyati. 1990. Psikologi : Suatu Pengantar. Yogyakarta : BPFE. Diposting
oleh fauzi dimuat dalam http://fauziapc.wordpress.com/2010/05/13/pendidikan-tradisional-dan-modern/ diunduh pada tanggal 2012-12-07
pukul 09.35
http://akhirman.blogspot.com/2009/10/makalah-peranan-sekolah-dalam.html ditulis oleh akhirman diunduh pada
tanggal 2012-12-07 pukul 10.07
Dr. Moh.
Roqib, M. Ag. 2009. Ilmu Pendidikan Islam
Pengembangan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. LkiS
Edgar Faure(1972) ,"Learning
To Be, The World of Educationn, Today and Tomorrow," yang diterbitkan
oleh UNESCO
Johan Amos Comenius (1671). Artikel konsep pendidikan sepanjang hayat (psh),
posted by ikhsanudin dalam ikhsanu.blogspot.com , 07-12-2012 12:25
Suchodolski(1976). Budaya dan Pendidikan. Ditejemahkan oleh
Johan Amos Comenius (1671). Artikel konsep pendidikan sepanjang hayat (psh),
posted by ikhsanudin dalam ikhsanu.blogspot.com , 07-12-2012 12:25
Suchodolski(1976). Budaya dan Pendidikan. Ditejemahkan oleh
http://blog.unsri.ac.id/riski02/pengantar-pendidikan-/pendidikan-seumur-hidup/mrdetail/14530/ diposting oleh Rizki Amalia Putri diunduh
pada tanggal 07-12-2012 pukul 13.08
Dewey, Jhon.
1916. Democracy and Education. a
http://www.averroes.or.id/opinion/persekolahan-dan-pendidikan.html
ditulis oleh By ave on26/06/2009 diunduh pada tanggal 07-12-2012 pukul 13.21
dengan sumber artikel Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne, http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8772
Report of
the Century Foundation Task Force on the Common School, Divided
We Fail,
(2002), p. 13 (citing James S. Coleman et al., Equality of Educational
Opportunity (Government
Printing Office, 1966), p. 22). Diposting dalam http://www.thebridgeresearch.nl/pdf/060515_evidence_socio_eco_diversity.pdf
Parkyn.1973. Towards
a conceptual model of life-long education. Diposting dalam http://www.amazon.com/George-W.-Parkyn/e/B001JXJLJI
Freire,
Paulo. Pedagogy of the Oppressed, alih bahasa Myra Bergman Ramos. Cet. I; London:
Sheed and Ward, 1972.
Freire,
Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, alih bahasa Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
http://e-kalyanamitra.blogspot.com/2007/03/pendidikan-dan-reproduksi-sosial-sistem.html
dipoting oleh e-kalyanamitra diunduh pada tanggal 07-12-2012 pukul 14.11
Dewey, John. (1905). The School and Society. Michigan : University of
Michigan Library.Dewey, John. (1905). The School and Society. Michigan : University of Michigan Library.
—————–. (1906). The Child and the Curriculum. Chicago : The University of Chicago Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar